Menata Ulang Fungsi Kontrol Terhadap Kelembagaan Mahkamah Konstitusi
Ini adalah makalah yang saya sampaikan di Konfrensi Mahkamah Konstitusi dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara, di The Royal Kuningan Hotel, Jakarta 19 November 2013.
Untuk file PDF, silahkan unduh disini
Oleh:
Ziffany Firdinal
Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Lantai II Dekanat
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kampus Limau Manih, Padang
Email: ziffan@pusako.or.id
Abstrak
Mahkamah Konstitusi hadir setelah perubahan ketiga UUD 1945
disahkan, lembaga negara ini bertugas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution)
terkait dengan empat wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya. Membawa
konsekuensi lembaga ini berfungsi
sebagai penafsir konstitusi (the sole
interpreter of the constitution).Dengan
tugas dan kewenangan yang begitu besar, Mahkamah Konstitusi harus mendapatkan
fungsi kontrol yang memadai, sebagai bentuk check
and balances dalam bingkai pemisahan kekuasaan bernegara. Secara yuridis,
sebelum tahun 2006, Mahkamah Konstitusi sejatinya telah memiliki fungsi kontrol
dari Komisi Yudisial, namun pasca tahun 2006, tepatnya setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang
pengujian undang-undang Komisi Yudisial, fungsi kontrol tersebut berakhir.
Menariknya, pada tahun 2010, terjadi polemik seputar dugaan suap yang diterima
oleh 2 (dua) orang hakim konstitusi. Hal ini disikapi dengan membentuk tim
investigasi oleh Mahkamah Konstitusi, dan berakhir pada Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi yang memutuskan satu orang hakim konstitusi bersalah secara
etik, dan lainnya direhabilitasi nama baiknya. Terlebih, pada tahun 2011, juga
muncul perkara pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi. Beberapa hal ini yang
melatar belakangi keharusan untuk menyelenggarakan kembali fungsi kontrol
terhadap pengawal konstitusi ini, yakni dari sisi prefentif dan represif dengan
campur tangan Komisi Yudisial, dan hal ini dapat laksanakan dengan perubahan
konstitusi. Perubahan konstitusi tersebut dapat dilakukan secara informal,
untuk menjawab kebutuhan kekinian dalam bernegara, yaitu melalui konvensi
ketatanegaraan dan penafsiran hakim (Mahkamah Konstitusi). Dengan cara Mahkamah
Konstitusi “merelakan” diri untuk diawasi oleh Komisi Yudisial, serta terhadap
Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 dikesampingkan,
tentu saja hal ini sesuai dengan konsep konstitusi yang hidup (living constitution), dimana konstitusi
haruslah mampu menjawab kebutuhan zaman, dalam hal ini mampu menata ulang
fungsi kontrol terhadap kelembagaan Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci: Checks and Balances & Pengawasan Hakim Konstitusi
“Power must never be trusted
without a check”
John
Adams (1735-1826)
Pendahuluan
Konsep demokrasi yang dicitakan ketika amandemen konstitusi
1999-2002 silam di Indonesia, justru mengarah ke Juristocracy[1].
Indonesia sebagai negara hukum menyatakan kedaulatannya di tangan rakyat,
pelaksanaannya didasari oleh undang-undang dasar.[2]
Dari konsep pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diaplikasikan menurut
undang-undang dasar (konstitusi)[3]
maka akan terdapat korelasi kuat dengan empat kewenangan dan satu kewajiban
salah satu lembaga negaranya, yakni Mahkamah Konstitusi (MK)[4]
yang menjadi penafsir konstitusi (the
sole interpreter of the constitution), secara gamblang dapat dilihat bahwa
kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut konstitusi yang hanya boleh di
intepretasikan oleh MK.
Terlepas dari perdebatan mengenai konsep kedaulatan negara
tersebut, MK dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya tersebut banyak
menelurkan terobosan-terobosan hukum yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia
dewasa ini. Sebagai contoh, legalisasi penggunaan KTP ataupun Paspor untuk
menjadi pemilih pada pemilihan umum, putusan sela atas perkara Bibit dan
Chandra terkait kasus “kriminalisasi” pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), putusan terkait kewenangan retroaktif KPK, dan lainnya. Walaupun
terkadang terdapat pula putusan yang menuai pro dan kontra ditengah masyarakat,
semisal, baru-baru ini diputus oleh Mahkamah Kostitusi, terkait pengakuan hak
keperdataan dari anak diluar perkawinan yang sah terkait pengujian UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.[5]
Hubungan fungsi dan kewenangan MK juga sangat erat dengan
keadilan sosial[6]
yang merupakan salah satu falsafi bangsa Indonesia yang tertuang pada sila
kelima Pancasila, serta pembukaan konstitusi negara ini. Karena secara
konseptual, ide keadilan sosial merupakan salah satu asas utama yang dituangkan
kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945). Sehingga peran MK sebagai the sole
interpreter of the constitution merupakan bagian tak terpisahkan dalam
tujuan filosofis menuju Indonesia yang berkeadilan sosial. Sebagai contoh,
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikatnya Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang diargumentasikan menjurus pada
“pendidikan berbiaya mahal”, serta putusan lainnya.
Secara kelembagaan, MK yang hadir pascareformasi merupakan
salah satu cabang dari kekuasaan kehakiman di Indonesia.[7]
Dalam kaitannya sebagai salah satu cabang kekuasaan negara, MK juga memiliki
peran dalam fungsi checks and balances
pada cabang kekuasaan negara lainnya. Semisal dengan DPR dan Presiden, fungsi
tersebut tercermin di dalam kewenangannya melakukan uji konstitusionalitas
suatu undang-undang. Serta dalam kewajibannya memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD NRI 1945.
Salah satu
bentuk kontrol yang dilakukan oleh MK terhadap legislasi pada 27 Maret 2013
lalu.[8]
Dalam hal ini MK mengembalikan kesetaraan DPD dan DPR dan Presiden, dalam
mengajukan dan membahas undang-undang, tentu saja khusus terkait dengan daerah,
semisal otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.[9]
Berkaitan dengan fungsi checks
and balances dalam hal pengawasan antar cabang kekuasaan negara, MK secara
kelembagaan sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 diundangkan[10]
hanya memiliki pengawasan Internal. Hal ini terjadi akibat dari putusannya
terhadap Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial di 2006 silam. Bahkan pada
perkembangan terakhir, MK juga mengeluarkan putusan yang mengubah komposisi
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bertugas menjaga kode etik dan prilaku
hakim konstitusi.[11]
Dalam praktiknya, pelaksanaan pengawasan hakim konstitusi
dalam kaitan dugaan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim konstitusi, pernah
terjadi. Pada Tahun 2010 lalu, mencuat kabar bahwa telah terjadi praktik suap
pada seorang hakim konstitusi, hal ini terkuak kepermukaan publik melalui kolom
opini salah satu media cetak nasional (Kompas, 2010). Dalam menangani kasus
tersebut, MK membentuk Tim Investigasi yang notabenenya tidak terdapat aturan
baku mengenai hal ini, untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran kode etik
tersebut selama 1 (satu) bulan.[12]
Hasil penyelidikan Tim Investigasi, MK direkomendasikan agar
membentuk Panel Etik dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi untuk memeriksa
dugaan pelanggaran tersebut.[13]
Akhirnya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa hakim
konstitusi tersebut secara etik bersalah.[14]
Pada 2012 lalu, -mantan- hakim konstitusi tersebut diduga juga turut andil di
dalam kasus pemalsuan surat MK terkait Pemilu di Sulawesi Selatan. Bahkan
secara empirik, salah satu bentuk nyata tidak tepatnya penataan kontrol dan
pengawasan terhadap hakim konstitusi, yakni tertangkap tangannya Ketua Mahkamah
Konstitusi pada Awal Oktober 2013.
Dari segi
efisiensi dan kesetimbangan dalam konsep checks
and balances, maka konsep pengawasan yang hanya internal tersebut perlu
dikaji ulang untuk dicarikan bentuk baru untuk diaplikasikan kedalam praktik
ketatanegaraan. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi perlunya penataan ulang terhadap fungsi pengawasan
hakim konstitusi dalam hal ini mereposisikan Komisi Yudisial kembali dalam
kontrol kelembagaan Mahkamah Konstitusi, karena Lord Acton telah jauh hari
memperingati dengan adagiumnya “Powers
tends to corrupt, absolute powers corrupts absolutely”.
Pemisahan Kekuasaan berbalut
Checks and Balances
Teori pemisahan kekuasaan yang paling berpengaruh dalam hukum
tata negara adalah trias politika.[15]
Teori ini pada mulanya dikemukakan oleh Jhon Locke (1690). Trias politika versi
Jhon Locke menyatakan bahwa kekuasaan negara dapat dipisahkan kedalam cabang
kekuasaan legislatif sebagai pemegang tampuk kekuasaan pembentukan
undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang, dan federatif sebagai
kekuasaan untuk melakukan hubungan diplomatik.
Selang beberapa waktu, teori trias politika ini berkembang
dan disempurnakan oleh Baron de Montesquieu (1748) dengan menghilangkan
kekuasaan federatif dan menggantinya dengan kekuasaan yudikatif, hal ini juga
tidak lepas dari latar belakang Montesquieu sebagai seorang hakim.[16]
Sejarah telah menunjukkan bahwa pembagian kekuasaan yang digambarkan oleh
Montesquieu inilah yang digunakan dalam pengaplikasian bernegara.
Montesquieu menekankan memisahan kekuasaan karena apabila
salah satu cabang kekuasaan berada di satu tangan maka kebebasan hilang dan
segalanya berakhir hal ini tergambar pada pernyataanya bahwa:
When the legislative and executive
powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there
can be no liberty; because apprehensions may arise, lest the same monarch or
senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannical manner.
Again, there is no liberty, if the
judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it
joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be
exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were
it joined to the executive power, the judge might behavewith violence and
oppression.
There would be an end of everything,
were the same man or the same body whether of the nobles or of the people, to
exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the
public resolutions, and of trying the causes of individuals.[17]
Dalam perkembangan selanjut, konsep pemisahan yang diidealkan
oleh Montesquieu tersebut tidak mungkin dilaksanakan secarah utuh, karena pada
dasarnya setiap cabang kekuasaan negara saling bersinggungan di dalam melaksanakan
fungsi dan kewenangannya. Hal ini dikenal juga sebagai fungsi cheks and balances yakni mekanisme
saling mengendalikan dan mengimbangi antar cabang kekuasaan negara.[18]
Menurut Black’s Law Dictonary Eight
Edition istilah cheks and balances ini
dimaknai ”The theory of governmental
power and functions whereby each branch of government has the ability to
counter the actions of any other branch, so that no single branch can control
the entire government”.[19]
Pada awal tahun 2000, Bruce Ackerman memunculkan konsep baru
tentang pemisahan kekuasaan (New
Separation of Powers), hal tersebut tergambar dari pernyataannya bahwa :
.....Granted, the function of
representational reinforcement does not find an easy home within the standard
legislative/executive/judicial trichotomy. But so much the worse for the
trichotomy! A better understanding of the separation of powers would recognize
that agencies like the FEC -Federal Election Comission- deserve special
recognition as a distinct part of the system of checks and balances.[20]
Uraian
tersebut menggambarkan bahwa teori Montesquieu terhadap trikotomi kekuasaan
yang saling memainkan fungsi cheks and
balances sudah tidak lagi tepat jika dilihat dari sudut kompleksitas
ketatanegaraan kontemporer, komisi negara yang memiliki ciri state auxiliary bodies dan tergolong
independen kini dapat memerankan peran dalam fungsi tersebut.
Secara umum konsep New
Separation of Powers tersebut dapat mengacu pada muncul cabang kekuasaan
keempat dalam pembagian kekuasaan negara. Indonesia sendiri telah
mengaplikasikan hal ini dengan adanya lembaga negara semisal Badan Pengawas
Keuangan yang tidak dapat digolongkan kedalam satu cabang kekuasaan klasik di
teori trias politika.[21]
Ackerman juga menyatakan:
At first glance, this may seem like an
overly complicated structure. But is this first impression merely a product of
the scheme’s novelty? Af-ter all, the American system contains (at least) five
branches: House, Senate, President, Court, and independent agencies such as the
Federal Reserve Board. Complexity is compounded by the bewildering
institutional dynamics of the American federal system. The crucial question is
not complexity, but whether we Americans are separating power for the right
reason.
Bahkan
kini, pengaplikasian konsep ini dapat dilihat dengan hadinya Komisi Yudisial,
Komisi Pemilihan Umum, Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi,
dan lainnya.[22]
Apabila membicarakan pengawasan ataupun kontrol terhadap
cabang kekuasaan kehakiman, maka tidak boleh sedikitpun melanggar independensi
dari cabang kekuasaan tersebut. Hal ini menjadi relevan dikarenakan
independensi kekuasaan kehakiman sangat penting dalam menjaga rule of law yang dicitakan oleh suatu
negara, David Boies menyatakan bahwa: “Judicial
independence and judicial supremacy work together in an attempt to guarantee
that the rule of law will not be eroded by the political pressures in existence
at any particular point in time”.[23]
Dalam membicarakan independensi kelembagaan, tidak dapat
dipungkiri bahwa independensi personal juga merupakan pokok bahasan yang
mencerminkan institusionalnya. Simon Shetreet sebagaimana yang
dikutip Djohansyah bahwa Independence of Judiciary terbagi atas 4
kategori yaitu: (a) Substantive
independence (independensi dalam memutus perkara),
(b) Personal independence (jaminan masa kerja dan jabatan), (c) Internal
independence (independensi dari atasan dan jabatan), dan (d) Coollective independence (partisipasi
dalam administrasi dan penentuan budget pengadilan).[24]
Mahkamah Konstitusi dalam
Ketatanegaraan Indonesia
Sejarah telah mencatat bahwa
hadirnya Mahkamah Konstitusi merupakan imbas tidak langsung dari reformasi yang
bergulir pada tahun 1998 silam,[25]
Lembaga Negara yang bertugas mengawal konstitusi ini secara normatif hadir
ketika tahapan ketiga perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ditahun 2000, dan
kukuhkan pada 13 Agustus 2003.[26]
Bila ditelaah jauh kebelakang,
munculnya MK tidak lepas dari sejarah kekuasaan kehakiman di Amerika, dalam hal
ini kasus Marbury Vs Madison yang memunculkan konsep pengujian terhadap
konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan. Kasus ini berkaitan
dengan ditahannya surat ketetapan pengangkatan hakim perdamaian (Justice of Peace) oleh pemerintahan
Thomas Jeferson, dan William Marbury mengajukan gugatan agar Mahkamah Agung
Amerika mengeluarkan a writ of mandamus,[27] untuk memaksakan diserahkannya surat
ketetapan tersebut.
Mahkamah Agung Amerika tersebut
menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan agar
pemerintahan Jeferson mengeluarkan surat ketetapan tersebut kepada Marbury.
Bahkan Mahkamah Agungnya tersebut membatalkan ketentuan mengenai kewenangannya
mengeluarkan a writ of mandamus yang
terdapat pada Pasal 13 Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman (The Judiciary Act) 1789 yang menyatakan
“The act to establish Court “to issue
writs of madamus, in cases warranted by the principle and usages of law, to any
courts appointed, or person holding office, under the authority of United
States.” karena bertentangan dengan Konstitusi Amerika Article III section 2 yang menyatakan:
The judicial Power shall extend to all
Cases, in Law and Equity, arising under this Constitution, the Laws of the
United States, and Treaties made, or wihich shall be made, under their
Authoriyi;--to all Cases affecting Ambassadors, other public Ministers and
Consuls;--to all Cases of admiralty and maritime Juricdiction;--to
Controversies to which the United States shall be a Party;--to Controversies
between two or more States;--betwen a State and Citizens of another
State;--between Citizen of different States;--between Citizens of the same
State, or the Citizens thereof, and foreign States, Citizens or Subjects.
In all Cases affecting Ambassadors,
other public Ministers and Consuls, and those in which a State shall be Party,
the supreme Court shall have original Juricdiction. In all the other Cases
before mentioned, the Supreme Court shall have appellate Juricdiction, both as
to Law and Fact, eith such Exceptions, and under such Regulations as the
Congress shall make.
Dengan asumsi konstitusi merupakan supreme law of the land maka setiap undang-undang yang bertentangan
dengannya harus dibatalkan.[28]
Setidaknya ada 3 (tiga) alasan pokok mengapa konsep pengujian konstitusional
ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika, yakni: (a) Hakim bersumpah untuk
menjunjung tinggi konstitusi, sehingga apabila terdapat peraturan dibawahnya
yang bertentangan maka ia harus melakukan uji materi; (b) Konstitusi adalah
hukum hukum tertinggi dalam negara, sehingga harus ada pengujian atas peraturan
yang di bawahnya, agar isi dari hukum tertinggi tersebut tidak dilangkahi; dan
(c) Hakim tidak diperbolehkan menolak perkara, sehingga ketika ada permohonan
pengujian undang-undang, maka harus dilakukan.[29]
Tidak seperti di Amerika, Hans
Kelsen mengemukakan konsep peradilan konstitusi dengan ciri terpisah dari
cabang kekuasaan kehakiman (peradilan) umum. Pembentukan lembaga yang diberi
nama “Verfassungsgerichtshoft” (MK)
yang berdiri sendiri di luar dari Mahkamah Agung, tercapai ditahun 1920 di
Austria, dimana pada saat tersebut, Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga
pembaharuan konstitusi disana.[30]
Konsep peradilan konstitusi yang berdiri sendiri diluar
peradilan umum inilah yang mengilhami Indonesia menghadirkan MK. Namun bila
ditilik kembali pada saat sidang BPUPK (Badan Pekerja Usaha-Usaha Persiapan
Kemedekaan)[31]
telah ada ide mengenai lembaga pengujian konstitusional yang dalam hal ini
dicanangkan oleh Mr. Moh. Yamin “Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya,
sehingga dalam membanding undang-undang, maka balai Agung -Mahkamah Agung- inilah
yang akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syariah, dan
undang-undang dasar”.[32]
Dalam perkembangan selanjutnya, ide kewenangan pengujian
konstitusional oleh Mahkamah Agung ini ditentang oleh rekan BPUPK, Soepomo yang
menyatakan:
Kecuali itu Paduka Tuan
Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia
pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini,dan tuan Yamin harus
mengingat bahwa di Austria, Chekoslowakia, dan Jerman waktu Weimar, bukan
Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -suatu pengadilan spesifik- yang melulu
mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga-tenaga, ahli-ahli
tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan
persoalan itu.[33]
Setelah reformasi bergulir, MK hadir dengan 4 (empat)
kewenangan dan 1 (satu) kewajiban langsung dari Undang-Undang Dasar NRI 1945,
dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang berupa penyelesaian sengketa
pemilukada.[34]
Kewenangan untuk memutus sengketa ini awalnya berada pada Mahkamah Agung, namun
berpindah ke MK, akibat diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, serta hasil perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah ditahun 2008.[35]
Fungsi dan kewenangan MK tersebut sebagian besar telah
dilaksanakan, kecuali terhadap kewenangan pembubaran partai politik dan
kewajiban memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang
dasar. Berkaitan dengan fungsi utama dari MK terkait Judicial Review[36]
memainkan peran keadilan sosial di Indonesia. Hal ini dapat tergambar semisal
dalam rencana pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) melalui
Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBN-P) yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Sabtu 31 Maret
2012, lalu selang dua sehari setelahnya undang-undang ini diuji
konstitutionalitasnya melalui MK.[37]
Bentuk Pengawasan Hakim Konstitusi di Indonesia
Pengawasan personal terhadap hakim konstitusi secara garis
besar dapat dibagi kedalam dua periode, yakni sebelum adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial,[38]
serta setelah pengujian terhadap undang-undang tersebut. Karena ketika MK
memutus pengujian undang-undang tersebut ikut merubah konsep pengawasan hakim
konstitusi yang sebelumnya dimiliki oleh Komisi Yudisial.
Sebelum pengujian Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial, pengaturan mengenai pengawasan hakim konstitusi
dilandasi oleh ketentuan pada undang-undang tersebut. Pengawasan hakim
konstitusi dalam hal ini dilakukan apabila melanggar ataupun merendahkan
martabat dalam prilaku hakim. Lebih lanjut, hal ini mengacu pada ketentuan
pemberhentian hakim konstitusi secara tidak hormat, sebagaimana tertuang pada
pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK, yakni hakim
konstitusi diberhentikan secara tidak hormat apabila: 1) Dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih; 2) Melakukan perbuatan tercela;[39]
3) Tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5
(lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; 4) Melanggar sumpah atau
janji jabatan; 5) Dengan sengaja menghambat MK memberi putusan dalam waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) UUD NRI 1945; 6) Melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau 7) Tidak lagi memenuhi
syarat sebagai hakim konstitusi.
Ketujuh penyebab dapat diberhentikannya hakim konstitusi
secara tidak hormat tersebutlah yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial untuk
melaksanakan pengawasan disisi eksternal. Sementara disisi internal, pengawasan
hakim konstitusi langsung berada ditangan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi
sebagaimana diatur oleh Peraturan MK Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman
Prilaku Hakim.
Setelah pembacaan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut,
maka konsep baru terkait pengawasan hakim konstitusi tanpa adanya campur tangan
Komisi Yudisial-pun terwujud.[40]
Selanjutnya dalam pengawasan hakim konstitusi hanya dikenal jenis pengawasan
internal melalui saluran Panel Etik Hakim Konstitusi dan putusan akhir oleh
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Pengaturan mengenai kedudukan dan fungsi Panel Etik dan
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi didasari oeleh ketentuan pada Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik
dan Prilaku Hakim Konstitusi serta Peraturan MK Nomor 10/PMK/2006 tentang
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Berkaitan dengan kode etik dan prilaku
hakim konstitusi diilhami oleh The
Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002, yang secara garis besar
menyatakan bahwa hakim secara personal harus memenuhi kriteria etik berupa:[41]
Independensi (independence),
Ketakberpihakan (impartiality),
Integritas (integrity), Kepantasan
dan Kesopanan (propriety), Kesetaraan
(equality), Kecakapan dan Keseksamaan
(competence and diligence), serta
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan
kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode
etik hakim konstitusi beserta penerapannya.
Dalam mekanisme pengawasan internal
ini, dimulai dari laporan masyarakat pada MK terkait dugaan pelanggaran kode etik
dan prilaku hakim. Setelah menerima laporan tersebut maksimal 14 hari setelah
diterimanya laporan/pengaduan masyarakat tersebut dibentuklah Panel Etik Hakim
Konstitusi untuk selanjutnya diadakan pemeriksaan awal, kewenangan panel etik
berupa mengambil keputusan berupa perlunya pemeriksaan lanjutan dan/atau
mengambil keputusan berupa rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran
ringan kepada Mahkamah, serta dalam hal laporan atau informasi tentang adanya
pelanggaran Kode Etik tidak beralasan, Panel Etik merekomendasikan penetapan
kepada Mahkamah bahwa laporan atau informasi dimaksud tidak benar (dismissal).
Jika hasil putusan panel etik adalah dilanjutkan pemeriksaan pelanggaran kode
etik dan prilaku hakim konstitusi, maka dibentuklah Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi.
Selanjutnya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi memiliki
wewenang memberikan rekomendasi berupa penjatuhan sanksi terhadap dugaan
pelanggaran, atau pemulihan nama baik hakim terlapor. Dalam melaksanakan
wewenangnya tersebut, memiliki hak untuk mengumpulkan informasi dan bukti-bukti
terkait dengan adanya dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim,
pemanggilan terhadap hakim terlapor, pemeriksaan terhadap hakim terlapor; dan
penyampaian laporan kepada Mahkamah tentang hasil pemeriksaan terhadap hakim
terlapor.
Pada perkembangannya, konsep pengawasan hakim konstitusi,
dalam hal komposisi Majelis Hakim Konstitusi sempat diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dimana diatur bahwa komposisi Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi terdiri dari: 1 (satu) orang hakim konstitusi, 1
(satu) orang anggota Komisi Yudisial, 1 (satu) orang dari unsur Dewan
Perwakilan Rakyat, 1 (satu) orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum, dan 1 (satu) orang hakim agung.[42]
Setelah dilakukan pengujian undang-undang tersebut, komposisi
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang berasal dari unsur DPR, Pemerintah,
dan hakim agung dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat,[43]
namun patut dicatat bahwa akibat dari komposisi Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi yang dinyatakan tidak berlaku menimbulkan kekosongan hukum terhadap
komposisi tersebut.
Terlepas dari kekosongan hukum tersebut, selama periode awal
pengawasan hakim konstitusi, yakni sebelum putusan tentang pengujian
Undang-Undang Komisi Yudisial tahun 2006, tidak ada satupun kasus yang
berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim konstitusi. Namun pada
peride kedua, setelah pengujian Undang-Undang Tentang Komisi Yudisal, terjadi
dugaan pelanggaran kode etik dan prilaku hakim konstitusi, hal ini didasari
oleh sebuah tulisan opini Refly Harun yang berjudul “MK Masih Bersih?” di
harian Kompas 23 Oktober 2010.
Berawal dari
opini tersebut, MK membentuk Tim Investigasi yang dipimpin langsung oleh Refly
Harun tersebut. Refly dan MK masing-masing menunjuk 2 (dua) orang anggota tim,
akhirnya secara keseluruhan keanggotaannya adalah Refly Harun,
Bambang Widjojanto, Adnan Buyung Nasution, Bambang Harimurti, dan Saldi Isra.
Setelah melakukan investigasi, tim tersebut memberikan laporan pada MK, dalam
laporan tersebut direkomendasikan agar dibentuk panel etik dan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi.
Akhirnya panel etik dibentuk, dan
selanjutnya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi-pun ikut dibentuk. Hasil akhir
dari pemeriksaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah pemulihan nama baik
bagi Hakim Konstitusi Akil Moctar, dan terbuktinya Hakim Konstitusi Arsyad
Syanusi melanggar kode etik dan pedoman
tingkah laku hakim konstitusi, tepatnya Prinsip Ketiga "Integritas",
dan Prinsip Keempat, "Kepantasan dan Kesopanan"
Dalam
tahun 2013 ini, terdapat perbaikan terhadap pengawasan hakim konstitusi.
Tepatnya melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Perubahan yang paling mencolok dari Peraturan
Mahkamah Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah
ditiadakannya prosedur pemeriksaan awal oleh panel etik, serta majelis yang
memeriksa pelanggaran etik tersebut dinamakan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi, bukan lagi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Bahkan, setelah tertangkap tangannya Ketua Mahkamah
Konstitusi, berhasil merusak pengawasan internal yang telah disusun oleh
peraturan tersebut. Karena laporan aduan masyarakat, ditujukan kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi, untuk menyikapi hal tersebut dibentuklah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam perpu ini,
ditambahkan peran Komisi Yudisial yang bersama mahkamah Konstitusi untuk
membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, serta dalam pengajuan calon hakim
konstitusi, Komisi Yudisial membentuk panel ahli untuk melakukan uji kelayakan
dan kepatutan terhadap calon hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR, Presiden
dan Mahkamah Agung.[44]
Pada perkembangan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi justru
membentuk Dewan Etik berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi. Secara yuridis, hal ini menimbulkan
kerancuan, karena secara langsung menindih pengaturan sebelumnya dalam
peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
sebelumnya.
Kontrol Terhadap Hakim Konstitusi Kedepan
Pengawasan dari segi etimologi merupakan istilah yang dapat
disandingkan dengan penilikan dan penjagaan.[45]
Pada proses pengawasan, secara umum dapat dibagi lagi ke dalam 2 (dua) bentuk,
yakni bentuk preventif (pencegahan) dan represif (penindakan). Apabila
dikaitkan kedalam konsep ideal pengawasan hakim konstitusi, maka akan meliputi
upaya pengawasan dalam artian preventif, yakni dari segi perekrutan dalam hal
seleksi dan penyaringan bakal calon hakim konstitusi yang dimiliki oleh 3
(tiga) lembaga negara,[46]
yaitu Pemerintah, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Serta dalam pengertian represif, maka hal ini bersinggungan
dengan upaya penindakan atas pelanggaran kode etik profesi hakim konstitusi,
yang kini hanya dilaksanakan oleh internal Mahkamah Kostitusi. Oleh sebab
itulah dalam konsep ideal pengawasan hakim konstitusi, dibagi kedalam dua
bentuk, yakni pengawasan dalam proses perekrutan dan dalam hal pelaksanaan
tugas dan kewajibannya.
Dari sisi preventif, maka pengawasan hakim konstitusi
melingkupi pengaturan yang berkenaan tentang syarat, masa jabatan, dan proses
perekrutan. Berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi yang
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara, sudah sangat tepat. Namun perlu juga ditambahkan syarat
non-partisan, karena fungsi dan kewenangan MK yang amat rentan bersinggungan
dengan kepentingan politis.
Terkait dengan masa jabatan, perlu diatur mekanisme yang
memastikan rotasi / pergantian hakim konstitusi yang tidak bersinggungan dengan
periodisasi politik tertentu seperti saat ini, yakni 5 (lima) tahun sekali. Hal
ini amatlah penting untuk dijaga karena cukup rentan untuk dipolitisasi,
mengingat 6 (enam) bakal calon hakim konstitusi berasal dari 2 (dua) lembaga
negara yang sarat akan kepentingan politik, yakni Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat. Karena presiden diusung oleh partai politik ataupun gabungan partai
politik, serta DPR merupakan dewan perwakilan rakyat yang diisi oleh kader
partai politik.
Untuk menekan efek politisasi yang dapat timbul dari sisi
masa jabatan tersebut, ada baiknya hakim konstitusi memiliki masa mengabdi
seumur hidup seperti hakim agung di Supreme
of Court Amerika, namun dengan syarat ketat terkait pengawasan represifnya.
Pilihan lain dari masa jabatan seumur hidup adalah tempo waktu tertentu yang
jauh dari periodisasi rezim pemerintahan, semisal 9 (sembilan) tahun ataupun
lebih.
Hal ini relevan untuk dilakukan, karena beberapa negara
penganut paham “The Kelsenian Model”
dalam hal pemisahan atap antara peradilan konstitusi dengan umum justru
memberikan masa jabatan yang jauh dari hiruk pikuk rezim politik tertentu.
Semisal, di Afrika Selatan, hakim konstitusinya mendapatkan masa jabatan selama
12 tahun, tanpa perpanjangan, dan masa pensiun hingga 70 tahun, di Korea
selatan selama 6 tahun dan dapat diperpanjang sekali lagi, dan di Lithuania
maksimum 9 tahun dengan pergantian setiap 3 tahunnya.[47]
Dalam usaha pencegahan, proses perekrutan hakim konstitusi
yang dilaksanakan oleh ketiga lembaga negara sebagaimana diuraikan di atas,
haruslah transparan dan akuntabel. Dalam hal ini diharapkan ketiga lembaga
negara tersebut juga mengikutsertakan Komisi Yudisial untuk menelusuri rekam
jejak (track record) bakal calon
hakim konstitusi, serta dalam proses seleksinya harus mencerminkan transparansi
dan aspirasi publik. Dalam hal ini, setiap bakal calon hakim konstitusi harus
diumumkan ke publik, semisal melalui media cetak ataupun elektronik, serta
diberikan akses bagi masyarakat untuk menilai figur calon tersebut.
Sementara itu, dari sisi represif terhadap pengawasan
terhadap hakim konstitusi haruslah setimbang, antara internal dan eksternal
kelembagaan, hal ini penting dijaga demi kemandirian dalam penegakan kode etik
dan prilaku hakim konstitusi yang menjadi dasar dan acuan disisi pengawasan
ini. Apabila melihat pada pelaksanaan pengawasan hakim konstitusi yang pernah
terjadi di 2010-2011 lalu, sebenarnya kita melihat suatu kejanggalan. Secara
normatif, ketentuan mengenai Tim Investigasi MK yang dibentuk untuk memeriksa
dugaan pelanggran kode etik prilaku hakim tidak ditemui dalam peraturan
manapun, baik dari sisi undang-undang ataupun peraturan internal MK.
Selain dari segi legitimasi, tenggat waktu yang diberikan
kepada tim investigasi tersebut juga terlalu sempit, dengan hanya 1 (satu)
bulan masa kerja, bahkan sempat terjadi perang media antara mantan anggota tim
investigasi dengan hakim konstusi yang diduga melakukan pelanggaran etik
tersebut.[48]
Padahal seharusnya MK tidak perlu membentuk tim tersebut, justru harus langsung
melangkah pada pembentukan Panel Etik Hakim Konstitusi, dan meminta Refly
menyampaikan laporan atas dugaan pelanggaran tersebut sebagaimana diatur oleh
Peraturan MK tentang Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Karena kewenangan baru Mahkamah
Konstutusi untuk menyelesaikan sengketa pemilukada, menjadi sangat beralasanlah
kini dibutuhkan pengawasan yang lebih ekstra terhadap hakim konstitusi disisi
represif. Dari sisi represif ini, saya merasa perlu kembalinya Komisi Yudisial
dalam mengawasi MK, karena pada dasarnya komisi ini dibentuk untuk menjaga
keluhuran martabat hakim.[49]
Walaupun telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap hal
ini, namun diharapkan terobosan hukum dapat menjawab urgensi kembalinya Komisi
Yudisial mengawasi hakim konstitusi. Terlebih pada Putusan MK Nomor
49/PUU-IX/2011, dalam amar putusannya Komisi Yudisial tetap masuk kedalam
komposisi Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.[50]
Mekanisme Pelaksanaan
Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Komisi Yudisial
Dalam mengaplikasikan reposisi pengawasan sebagaimana
diutarakan sebelumnya, maka perlu dilakukan perubahan UUD NRI 1945, khususnya
ketentuan Pasal 24B mengenai Komisi Yudisial,[51]
serta harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait semisal
Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Tentang Mahmakah
Konstitusi, dan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial. Tantangan terbesar dalam
pengaplikasian konsep ini terletak pada perubahan undang-undang dasar
(Konstitusi) karena tergolong rigid dari
segi kesukaran dalam hal perubahan formal.[52]
Perubahan formal konstitusi di Indonesia tercermin dari
ketentuan Pasal 37 UUD NRI 1945, yakni melalui prosedur pengagendaan sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) oleh sekurang-kurangnya 1/3 (sepertiga)
dari jumlah anggota pada tahapan usul perubahan, dimana setiap usul perubahan
pasal-pasal diajukan secara tertulis dan ditunjuk dengan jelas bagian yang akan
dirubah beserta alasannya, untuk selanjutnya disidangkan dengan kuorum
kehadiran anggota MPR minimal 2/3 (duapertiga) dari jumlah keseluruhan anggota,
serta pada proses persetujuan harus dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima
puluh persen ditambah satu dari jumlah anggota MPR.
Ketentuan yang tergolong kompleks baik dari sisi normatif
maupun empirisnya, inilah yang menjadikan pelaksanaan konsep ideal pengawasan
hakim konstitusi sulit dilakukan dengan perubahan formal konstitusi. Hal ini
telah dicoba sebelumnya oleh Dewan Perwakilan Daerah pada tahun 2007 silam,
dimana usulan perubahan tersebut tidak berhasil dilakukan.[53]
Oleh karena itulah, saya mengusulkan agar dapat ditempuh jalur perubahan secara
informal.
Secara teoritis, George Jellinek mengklasifikasikan perubahan
konstitusi secara garis besar ke dalam 2 (dua) jenis cara, yakni melalui
prosedur formal (verfassungsanderung),
dan melalui prosedur Informal (verfassungswandlung)
(Jimly Asshidiqie, 2006 : 144). Melengkapi pendapat George Jellinek, C. F. Strong
membagi lagi secara lebih rinci cara perubahan konstitusi dengan prosedur
formal (vervassungsanderung) tersebut
kedalam 4 (empat) cara, yakni:[54]
1) By the ordinary legislature but under
certain restriction, (Perubahan melalui lembaga legislatif biasa, tetapi
melalui aturan-aturan tertentu); 2) By
the people through a referendum, (Perubahan melalui referendum); 3) By a majority
for all units of a federal state, (Oleh mayoritas dari seluruh negara
bagian, dalam hal ini pada negara federal); 4) By special convention, (Oleh lembaga khusus)
Sementara itu, K. C. Wheare memiliki pendapat sendiri
mengenai klasifikasi dalam perubahan konstitusi, ia membaginya ke dalam 4
(empat) jenis, yakni:
1) Some primary forces (perubahan melalui kekuatan/kekuasaan yang kuat);
3)
Judicial interpretation (penafsiran oleh hakim
/ lembaga yudikatif);
4) Usage and convention (kebiasaan dan konvensi ketatanegaraan)
Dari beberapa jenis cara berubahnya konstitusi, saya
mengambil beberapa mekanisme informal untuk mengaplikasikan gagasan ini, antara
lain adalah dengan konvensi ketatanegaraan dan penafsiran hakim. Melalui
konvensi ketatanegaraan, MK dapat “merelakan” diri untuk diawasi oleh Komisi
Yudisial, hal ini sudah dipenuhi dengan perpu tentang perubahan undang-udang
MK, namun diperlukan kerjasama dari DPR untuk menyetujui perpu tersebut.
Selain itu, pengaturan untuk menindaklanjuti perpu tersebut
perlu dilakukan, yakni melalui perubahan undang-undang yang terkait, yakni
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Komisi Yudisial. Selain
itu, MK juga harus memberikan tafsir konstitusional terhadap undang-undang yang
akan dibuat tersebut nantinya. Karena melalui tafsirnya, bunyi tekstual dari
konstitusi dapat berubah.[56]
Terkait Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, dapat
dikesampingkan didalam praktek selanjutnya.[57]
Hal ini amat sesuai dengan semangat konstitusi yang hidup (Maruarar Siahaan, 2008 : 79), karena semangat konstitusi yang hidup adalah
“adaptasi” terhadap perkembangan dan kebutuhan zaman kekinian, mengutip apa
yang disampaikan oleh David A. Strauss dalam bukunya The Living Constitution, “Do
we want to have a living constitution? A “living constitution” is one that
evolves, changes over time, and adapts to new circumstances, without being
formally amended.”.[58]
Jawabannya adalah “ya!”, kita butuh konstitusi yang hidup, mampu berkembang
sesuai keadaan dan kebutuhan zaman. Dalam hal ini menjawab kebutuhan akan Kontrol
Kelembagaan Mahkamah konstitusi melalui Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Komisi
Yudisial, demi mengembalikan muruah lembaga pengawal konstitusi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Buku
C F Strong, (1973), Modern Political Constitutional, ,London, Sidgwick & Jackson.
Charles
de Secondat, Baron de Montesquieu, (1748), The
Spirit of Law (Translated by Thomas Nugent 1752) ,Canada, Batoche Books Kitchener
2001.
David A. Strauss,
(2010), The Living Constitution,
Oxford, Oxford University Pers.
Feri
Amsari, (2011), Perubahan UUD 1945, Perubahan Konstitusi Negara Republik Indonesia
Melalui Keputusan Mahkamah Kostitusi. Jakarta, Rajawali Pers
Gunawan
A. Tauda, (2012), Komisi Negra
Independen, Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam
Sistem Ketatanegaraan, Yogyakarta, Genta Pers.
J. Djohansyah, (2008) Reformasi Mahkamah Agung Menuju
Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta,
Kesaint Blanc.
Jimly
Asshiddiqie, (2007), Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.
Jimly Asshidiqie,
(2008), Menuju Negara Hukum Demokratis,
Jakarta, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah
Konstitusi, (2008), Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negarta Republik Indonesia tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI Kekuasaan
Kehakiman,Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi.
Moh. Mahfud MD, (2001) Dasar
& Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Yogyakarta, Rineka Cipta.
Moh. Mahfud MD,
(2010), Perdebatan Hukum Tata Negara
Pascaamandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers.
Ran Hirsch, (2004), Towards Juristocracy: The Origins and
Consequences of the New Constitutionalism, Harvard, Harvard University Pers.
Saldi Isra, (2010), Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers.
Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji, (2006) Penelitian Hukum
Normatif Suatu Laporan Penelitian
& Makalah
Laporan Penelitian Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, (2011), Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berfikir Tekstual ke Hukum Progresif),
Jurnal
Bruce Ackerman, (2000), New
Separation of Powers, Volume 113 Harvard Law Review.633-729.
Fatmawati, (2010), Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Membangun
Kesadaran Berkonstitusi, dalam Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum
Tata Negara Universitas Indonesia,
Volume I Nomor 1, November 2010
R.M.
A.B. Kusuma, (2011) Sengketa Antara
Lembaga Negara dalam Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Volume II No. 1, Juni 2011
David Boies, (2006), Judicial Independence and the Rule of Law, Journal of Law &
Policy, Vol. 22:57
Saldi
Isra dan Feri Amsari, (2008), Perubahan
Konstitusi Melalui Tafsir MK, dalam Jurnal Konstitusi PUSaKO Fak. Hukum
Univ. Andalas Vol 1. No. 1, November 2008.
[1] Ran Hirsch, Towards Juristocracy: The Origins and
Consequences of the New Constitutionalism(Harvard: Harvard University Pers,
2004)
[2] Ini merupakan penjabaran dari Pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[3] Konstitusi dalam hal ini dimaknai sebagai Undang-Undang Dasar sebuah
Negara, yakni secara sempit diluar makna konstitusi dalam artian luas yang di
dalamnya juga terdapat konvensi dan kebiasaan ketatanegaraan.
[4] Empat wewenang yang dimiliki adalah: mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya dibrikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Serta MK wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar
[5] Lihat
“Anak diluar Nikah diakui Hukum” pada
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/18/18330579/Anak.Luar.Nikah.Diakui.Hukum,
serta “Putuskan Nasib Anak di Luar Nikah,
MUI: MK Seperti Tuhan” pada
http://news.detik.com/read/2012/03/20/182016/1872568/10/putuskan-nasib-anak-di-luar-nikah-mui-mk-seperti-tuhan,
diakses pada 8 April 2012.
[6] J. Djohansyah,Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi
Kekuasaan Kehakiman (Jakarta: Kesaint Blanc,2008), hlm. 75-81
[7] Rumusan Pasal 24 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah MK”.
[8] Putusan Nomor
92/PUU-X/2012 Atas Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
[9] Lihat Ketentuan pada
Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[10] Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, ditetapkan dan
diundangkan Pada tanggal 17 Oktober 2013
[11] Pada perkara pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK.
[12] Antara
News “Mahfud Tunjuk Refly Ketua Tim Investigasi MK” pada :
http://www.antaranews.com/berita/230644/mahfud-tunjuk-refly-ketua-tim-investigasi-mk,
diakses pada 8 April 2012
[13] Harian Kompas, 3 Januari
2011, berita “Dibentuk, Majelis
Kehormatan MK”
[14] Berita:
“Suap MK, Akil Direhabilitasi &
Arsyad Ditegur, Majelis Kehormatan
Hakim MK tidak menemukan bukti suap kepada hakim konstitusi”, dalam
http://nasional.vivanews.com/news/read/204149-mkh--akil-direhabilitasi--arsyad-ditegur,
diakses pada 8 April 2012.
[15] Moh. Mahfud MD, Dasar
& Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi, (Yogyakarta: Rineka
Cipta, 2001), hlm 73. [15] Mahfud MD, (2001), Dasar & Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, Edisi Revisi, Yogyakarta, Rineka Cipta, hlm 73.
[16] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model
Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hlm 75.
[17] Charles de Secondat,
Baron de Montesquieu, The Spirit of Law
(1748), (Translated by Thomas Nugent 1752), (Canada: Batoche Books Kitchener,
2001), hlm. 183-184.
[18] Jimly Asshidiqie,
Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer,2007). Hlm 169, lihat juga Djohansyah, Op Cit, hlm. 107. Serta Gunawan A. Tauda, Komisi Negra Independen, Eksistensi
Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan,
(Yogyakarta: Genta Pers, 2012), hlm. 43.
[19] Brian A Garner, Black’s Law Dictonary Edisi 8,(West
Publising Company, 2004) hlm. 713
[20] Bruce Ackerman, New Separation of Powers, (Harvard:Volume 113 Harvard Law
Review.633-729, 2000), hlm. 714
[21] BPK semenjak dikukuhkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebelum maupun
setelah perubahan tidak dapat dimasukkan ke dalam satupun cabang kekuasaan yang
dikemukakan oleh Montesqieu, bahkan cenderung berdiri sendiri menjalankan tugas
serta fungsi kewenangannya.
[22] Op. Cit, Gunawan... hlm. 97-127
[23] David Boies, Judicial Independence and the Rule of Law, (Journal of Law & Policy, Vol. 22:57, 2006), hlm. 58.
[24] Op, Cit, Djohansyah... hlm. 137.
[25] Gerakan Reformasi
mengajukan 4 tuntutan, yakni (a) Amandemen UUD 1945, (b) Berantas praktek
Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (c) Cabut paket 5 UU Politik yang dipandang
menghambat perkembangan demokrasi, dan (d) Cabut Dwifungsi ABRI, sehingga dapat
disimpulkan bahwa amandemen (perubahan) UUD 1945 merupakan salah satu karya
langsung reformasi 1998.
[26] Pengundangan
Undang-undang tentang MK (UU No. 24 Tahun 2003), sebelumnya kewenangan dan
fungsi lembaga negara ini dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan Pasal III
ketentuan pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan “Mahmakah
Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelumnya
dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
[27] Black Law Dictonary 8
Edition, mandamus adalah “A writ issued
by a superior court to compel a lower court or a government officer to perform
mandatory or purely ministerial duties correctly” Hlm. 3048-3049, ketentuan
mengenai kewenangan Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan a writ of madamus didasari oleh Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (The Judiciary Act) 1789.
[28] Lebih
lanjut dapat dilihat pada buku Feri Amsari, Perubahan UUD 1945, Perubahan
Konstitusi Negara Republik Indonesia Melalui Keputusan Mahkamah Kostitusi, (Jakarta:
Rajawali Pers,2011), hlm. 50-58.
[29] Fatmawati,
Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Membangun Kesadaran Berkonstitusi, (Jakarta: Jurnal
Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Volume I Nomor 1, November 2010), hlm.91-92
[30] Lihat
Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jendral
Mahkamah Konstitusi,2008), hlm. 333-334.
[31] Dalam pencarian
literatur yang penulis lakukan, ada dua peristilahan yang digunakan untuk Dokuritsu Junbi Coosakai ada dua, versi pertama adalah BPUPKI (Badan Pekerja
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan kedua BPUPK (Badan Pekerja Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dan
dalam hal ini penulis sepakat dengan penggunaan BPUPK, lihat Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan..., Op
Cit, hlm 28. Bandingkan C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, (1997), Hukum Tata Negara Republik Indonesia 1, Jakarta,
Rineka Cipta hlm. 271. Serta lihat pula R,M. A.B. Kusuma, (2011), Sengketa Antara Lembaga Negara dalam
Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Volume
II No. 1, Juni 2011, catatan kaki ke 2, hlm. 9.
[32] Op. Cit, Feri Amsari...,
hlm. 234.
[33] Ibid, hlm. 62.
[34] Pilkada yang semula
diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah lebih
menonjolkan rezim pemilu kepala daerah ke daerah, bukanlah sebagai pemilihan
umum sebagaimana diatur selanjutnya melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007,
pengukuhan rezim pemilukada pada pemilu selanjutnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 (Perubahan UU Pemda). Lebih jauh menilik kebelakang, awal
mula bergesernya Pemilihan Kepala Daerah dari rezim Pemerintahan Daerah ke
rezim Pemilihan umum adalah implikasi dari Putusan MK No. 72-73/PUU/2004.
[35] Pasal
236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada MK paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
[36] Penulis mengasumsikan fungsi judicial
review ini sebagai yang utama pada kewenangan MK karena pada dasarnya
terbentuknya lembaga uji konstitusional ini karena proses “pengadaan” kewenangan
menguji oleh lembaga yudisial, pembahasan lebih lanjut dapat dilihat pada
bagian latar belakang hadirnya Mahmakah Konstitusi pada tinjauan pustaka
tulisan ini.
[37] Disahkan pada hari sabtu 31 Maret 2012 dan pada Senin tanggal 2 April
2012 diuji konstitusionalitasnya, lihat:
http://nasional.kompas.com/read/2012/04/04/1154587/Tak.Perlu.Galau.Hadapi.Uji.Materi.UU.APBN-P.2012,
diakses pada 4 April 2012.
[38] Kini Undang-Undang Tentang Komisi
Yudisial Nomor 22 Tahun 2004 ini telah mengalami revisi (perubahan), yakni
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011.
[39] Lebih lanjut, pada penjabaran perbuatan tercela ini termaktub pada
uraian Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang kode etik dan
pedoman prilaku hakim, serta Peraturan
Mahkamah Konsitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi.
[40] Karena Putusan Mahmakah Konstitusi bersifat deklaratoir,
yaitu menyatakan maka otomatis putusan MK langsung berlaku dan tidak perlu
dieksekusi, dalam hal ini membuat kondisi hukum baru “lepasnya” wewenang Komisi
Yudisial untuk mengawasi martabat dan prilaku hakim konstitusi.
[41] Lampiran Peraturan MK
Nomor 10/PMK/2006, Bagian Deklarasi Kode Etik dan Prilaku Hakim Konstitusi.
[42] Ketentuan Pasal Pasal
27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
[43] Lihat Amar Putusan MK
Nomor Nomor 49/PUU-IX/2011
[44] Lihat Perubahan Pasal 1
yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
[45] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,(Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.108.
[46] Ketentuan pada 24C ayat
(3) menyatakan “MK mempunyai sembilan
orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”
[47] Op. Cit, Jimly Ashiddiqie,
2008..., hlm. 336-337
[48] Berita “Arsyad: Saldi Isra Hanya Bisa Bicara”,
dalam http://nasional.kompas.com/read/20
10/12/18/19425098/Arsyad.Saldi.Isra.Hanya.Bisa.Bicara dikunjungi pada 9 April
2012
[49] Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negarta Republik Indonesia tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002, Buku VI
Kekuasaan Kehakiman,(Jakarta:Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
konstitusi,2008), hlm. 3-467.
[50] Walaupun dalam
pertimbangan Mahkamah di putusan ini MK tetap bersikukuh pada yurisprudensinya
terhadap tidak berwenangnya KY mengawasi Hakim Konstitusi, namun pada amar
putusan MK tidak menyatakan pasal 27 ayat (2) poin (a) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 inkonstitusional.
[51] Ketentuan Pasal inilah
yang menjadi dasar pertimbangan MK menyatakan Komisi Yudisial tidak berwenang
mengawasi lembaganya, lebih lanjut dapat dilihat bagian Pertimbangan MK dalam
Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 dan 49/PUU-IX/2011.
[52] Pembagian konstitusi berdasarkan sifatnya dapat
dikategorikan kedalam 2 (dua) jenis, yakni tipe rigid (kaku) dan flexible (fleksibel), lebih lanjut dapat
dilihat: Feri Amsari, Op
Cit, hlm. 17, serta C F Strong, (1973), Modern
Political Constitutional, Sidgwick & Jackson,London, hlm. 58.
[53] Lihat berita “Usulan Amendemen UUD 1945 Kandas”, 8
Agustus 2007,
http://news.detik.com/read/2007/08/08/003628/814472/10/usulan-amandemen-uud-1945-kandas?browse=frommobile,
diakses pada 8 April 2012.
[54] Lihat
Saldi Isra dan Feri Amsari, Perubahan Konstitusi Melalui Tafsir MK,
(Padang: Jurnal Konstitusi PUSaKO Fak. Hukum Univ. Andalas Vol 1. No. 1,
November 2008), hlm. 108.
[55] Formal amandement, oleh George Jellinek klasifikasikan
sebagai verfassungsanderung (Perubahan
melalui prosedur formal), sementara ketiga jenis lainnya, yakni Some primary forces, Judicial interpretation, Usage and convention,
dapat diketegorikan ke dalam lingkup vervassungswandlung (Perubahan
secara informal).
[56] Ibid, Feri Amsari, 2011
[57] Secara original, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Dasar, Putusan MK terkait pengujian konstitusional undang-undang
adalah final, tidak ada ketentuan mengikatnya. Namun di sisi undang-undang
terkait justru ditambahkan sifat mengikat (binding)
tersebut. Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.
[58] David A. Strauss,The Living
Constitution, (Oxford: Oxford University Pers,2010)
Komentar
Posting Komentar