”Quo Vadis” Subsidi BBM ?

Oleh : Ziffany Firdinal
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Padang Ekspres • Rabu, 20/07/2011 11:19
Bak memakan buah simalakama, desakan mengurangi subsidi dengan menaikkan harga premium dan solar bisa menjadi bumerang, mengingat hal tersebut dapat memicu inflasi dan penolakan publik yang menanti. Namun, bila langkah tegas dan efektif tidak juga dikeluarkan oleh pemerintah, perlahan tapi pasti, konstruksi yang diidealkan oleh APBN akan runtuh karena tidak mampu mengimbangi tekanan subsidi BBM yang kian membesar.

Upaya pemerintah dalam menekan laju penggunaan serta mengefektifkan penggunaan BBM bersubsidi nyaris tidak terasa. Dari mencoba membatasi penggunaan berdasarkan jenis kendaraan roda dua dan angkutan umum, hingga menekankan pada moralitas masyarakat akan sasaran dengan seruan dan himbauan tak kunjung membuahkan hasil yang memadai.

Jika dilihat secara lebih luas, gambaran yang muncul menghasilkan tiga akar permasalahan, yakni: infrastruktur, kesadaran masyarakat, serta sanksi tegas terhadap pelanggaran hukum yang ada.
Peningkatan Infrastruktur
Tidak dapat dipungkiri, penikmat BBM nonsubsidi tidak selamanya didominasi oleh masyarakat perkotaan. Tidak tersedianya bahan bakar jenis nonsubsidi di daerah menjadi salah satu penyebab penggunaan BBM bersubsidi melonjak drastis.

Penulis sendiri merasakan hal ini. Walau berdomisili di “Kota” Padang, untuk bisa mengecap pertamax, terpaksa menempuh jarak lebih kurang 20 KM, padahal banyak SPBU yang lebih dekat jaraknya, namun tidak menyediakan bahan bakar nonsubsidi sebagai salah satu pilihan membeli.

Terlebih saat ini, ketika ber-KKN (kuliah kerja nyata) di Kabupaten Solok. Jangankan mendapatkan BBM nonsubsidi, untuk yang disubsidi saja harus antri hingga 1-2 jam. Itu pun kalau tidak sampai habis duluan, alternatifnya adalah membeli melalui pertamini (sebutan untuk pengecer premium dijalanan) dengan konsekuensi harga yang jauh lebih mahal ketimbang di SPBU.

Bila pemerintah tanggap akan masalah infrastruktur ini, seharusnya hukum adiministratif yang dimiliki dapat menjadi senjata ampuh, dalam menjawab permasalahan ini. Mewajibkan setiap SPBU baru menjual menggandeng kedua jenis BBM dalam list dagangannya, serta dalam hal perpanjangan izin bagi SPBU yang telah ada sebelumnya.

Menumbuhkan Kesadaran Masyarakat
Ketidaktahuan masyarakat akan jenis kendaraan dan bahan bakar yang dikonsumsinya merupakan salah satu penyebab BBM bersubsidi tetap menjadi pilihan utama dalam penggunaan kendaraan.

Teknologi yang dipakai dalam kendaraan terkadang tidak sesuai dengan bahan bakar yang seharusnya dikonsumsi, semisal pada kendaraan roda dua, tingkatan kompresi mesin tentu berdampak pada jenis bahan bakar yang seharusnya digunakan.

Sebagai contoh, banyak pengguna kendaraan yang tidak sadar bahwa premium sudah tidak lagi sesuai dengan tipe mesinnya. Menjadi miris ketika saya melihat pengguna mobil dan motor yang tergolong mewah mengantri premium untuk kendaraannya. Kendaraan yang lebih menunjukkan prestise justru dijalankan dengan bahan bakar untuk rakyat jelata.

Selain itu, mitos yang muncul di tengah masyarakat terkait penggunaan bahan bakar nonsubsidi bergandengan dengan yang subsidi akan merusak mesin juga menjadi salah satu hambatan, karena sebenarnya ketika bercampur, justru kadar oktan premium yang ada akan bertambah.
Pertamina sendiri pernah mengiklankan bahwa kadar oktan yang semakin tinggi akan berdampak pada pembakaran dimesin semakin sempurna sehingga efisiensi penggunaan bahan bakar akan lebih baik, namun sosialisai mengenai hal ini masih sangat minim di tengah masyarakat.

Penggunaan BBM bersubsidi juga harus didampingi dengan kesadaran moral masyarakat akan sasaran pengguna, yakni bagi masyarakat yang tergolong tidak mampu.

Upaya MUI (Majelis Ulama Indonesia) sempat sayup-sayup terdengar terkait pengharaman BBM bersubsidi, bila ditinjau secara objektif sebenarnya bisa menjadi solusi tepat guna jika infrastruktur SPBU telah memadai. Dalam hal pilihan konsumen terhadap kedua jenis bahan bakar tersedia.

Mengingat mayoritas rakyat Indonesia adalah penganut agama Islam, sehingga melalui norma agama diharapkan efektifitas penggunaan BBM bersubsidi akan tercipta, kalaupun tidak bisa di”haram”kan apa salahnya menjadi di”makruh”kan? Bahkan bila dimungkinkan organisasi agama-agama lainnya dapat mengikuti.

Mempertegas Sanksi
Meningkatnya penggunaan BBM bersubsidi juga merupakan dampak langsung dari ketidaktegasan aparat penegak hukum dalam menindak pelanggaran yang timbul, semisal  penimbunan BBM serta penggelapan bahan bakar untuk kepentingan industri, dua jenis pelanggaran inilah yang menyebabkan kelangkaan dan salah sasaran dari tujuan subsidi.

Selain dua jenis pelanggaran tersebut, indikasi kuat adanya mafia kalibrasi, khususnya untuk tera ulang SPBU harus menjadi fokus utama aparat penegak hukum, karena praktik ini luput dari perhatian publik, walaupun sejatinya telah berlangsung sejak lama.

Kerugian masyarakat amatlah besar, ketika oknum metrologi yang bekerjasama dengan pengusaha SPBU memainkan ambang batas toleransi ukuran untuk 1 (satu) liter bahan bakar hingga menimbulkan keuntungan sepihak bagi pengusaha SPBU, prilaku ini jika dilihat berdasarkan kacamata hukum pidana, termasuk kategori korupsi. Namun, amat disayangkan penegakan hukum belum sampai pada titik ini.  

Harapan besar akan langkah tegas dan tepat guna dari pemerintah dapat segera dilakukan, sehingga arah subsidi BBM jelas sasaran dan keberdayagunaannya, agar bangunan APBN yang berasal dari uang rakyat dapat terselamatkan.(*)
source:http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=670

Komentar

Postingan Populer