Perubahan Konstitusi



Mekanisme Perubahan Konstitusi[1]
Oleh: Ziffany Firdinal (0810112196)






Pendahuluan
Konstitusi secara konsetual memiliki tiga karakter utama, pertama, konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (a constitution is a supreme law of the land), kedua, konstitusi sebagai suatu kerangka kerja suatu sistem pemerintahan (a constitution is a frame work for goverment), dan ketiga, konstitusi merupakan suatu instrumen yang memiliki legitimasi dalam membatasi kekuasaan dan kewenangan pejabat pemerintah (constitution is a letimate way to grant and limit powers of goverment officials).[2]
Pengertian dari konstitusi itu sendiri berasal dari kata latin constitutio yang berkaitan erat dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip.[3] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konstitusi merujuk pada pengertian 1segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar, dsb) dan 2undang-undang dasar suatu negara.[4] Kedua pengertian yang digambarkan tersebut merupakan pengertian konstitusi dalam artian luas dan sempit, sementara pada tulisan ini pengertian konstitusi lebih dititik beratkan dalam artian sempit, yakni konstitusi sebagai undang-undang dasar suatu negara, yang dalam hal ini adalah Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri sebuah konstitusi memiliki masa tersendiri, hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa konstitusi merupakan suatu produk kesepakatan politik, dimana berlandaskan pada kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat dibuat.[5] Karena itulah konstitusi memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan kontemporer, dimana persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dijawab karena sifatnya yang insidentil ataupun temporer yang terkadang jauh dari logika konstitusi itu sendiri.
Oleh karena itu diperlukan upaya agar konstitusi tersebut dapat tetap menjawab permasalahan ketatanegaraan kontemporer, dalam hal ini melalui mekanisme perubahan konstitusi. George Jellinek mengklasifikasikan perubahan konstitusi secara garis besar ke dalam 2 (dua) jenis cara, yakni melalui prosedur formal (verfassungsanderung), dan melalui prosedur Informal (verfassung-swandlung).[6] Melengkapi pendapat George Jellinek, C. F. Strong membagi lagi secara lebih rinci cara perubahan konstitusi dengan prosedur formal (vervassung-sanderung) tersebut kedalam 4 (empat) cara, yakni:[7]
1.      By the ordinary legislature but under certain restriction, (Perubahan melalui lembaga legislatif biasa, tetapi melalui aturan-aturan tertentu)
2.      By the people through a referendum, (Perubahan melalui referendum)
3.      By a majority for all units of a federal state,(Oleh mayoritas dari seluruh negara bagian, dalam hal ini pada negara federal)
4.      By special convention, (Oleh lembaga khusus)
Sementara itu, K. C. Wheare memiliki pendapat sendiri mengenai klasifikasi dalam perubahan konstitusi, ia membaginya ke dalam 4 (empat) jenis, yakni:[8]
1.      Some primary forces (perubahan melalui kekuatan/kekuasaan yang kuat/utama)
2.      Formal amandement (perubahan melalui jalur formal/ditentukan)[9]
3.      Judicial interpretation (penafsiran oleh hakim/lembaga yudikatif)
4.      Usage and convention (kebiasaan dan konvensi ketatanegaraan)
Perubahan Konstitusi Secara Formal
Perubahan Konstitusi secara formal dapat dimaknai sebagai perubahan yang dilakukan berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri, Hampir semua negara menetapkan aturan mengenai perubahan konstitusi dalam konstitusinya kecuali Chechnya, Finlandia, dan Swedia.[10] Terkait dengan unsur-unsur dasar yang harus ditetapkan dalam konstitusi mengenai perubahan konstitusi secara teoritik meliputi beberapa hal, yakni:[11]
1.      Usul inisiatif perubahan konstitusi
2.      Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi bagi lembaga pengubah konstitusi
3.      Pengesahan rancangan perubahan konstitusi
4.      Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi
5.      Pembahasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi
6.      Hal-hal yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau klausa khusus
7.      Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi seperti parlemen, negara bagian bersama parlemen, referendum, lembaga khusus, parlemen dan pemerintah, parlemen dan referendum, parlemen dan pemilu, pemerintah/perdana menteri, presiden, atau raja.
Pengaturan mengenai perubahan konstitusi secara formal di Indonesia, semenjak berlakunya 3 (tiga) Undang-Undang Dasar (UUD), yakni UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah amandemen, adalah:
1.      Pada UUD 1945
Ketentuan mengenai perubahan terletak pada pasal 37 ayat (1) yang berbunyi “ Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis permusyawaratan Rakyat harus hadir”dan ayat (2) yang berbunyi “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir
2.      Pada UUD RIS
Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bab VI Perubahan, Ketentuan2 Peralihan dan Ketentuan2 Penutup, tepatnya pada bagian 1 Perubahan, Pasal 190 ayat (1) yang berbunyi “Dengan tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal 51, ajat kedua, maka Konstitusi ini hanja dapat diubah dengan undang-undang federal dan menjimpang dari ketentuan2nja hanja diperkenankan atas kuasa undang-undang federal; baik Dewan Perwakilan Rakjat maupun Senat tidak boleh bermupakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, djika tidak sekurang-kurangnja dua-pertiga dari djumlah anggota-sidang menghadiri rapat.”, ayat (2) yang berbunyi “Undang-undang sebagai dimaksud dalam ajat pertama, dirundingkan pula oleh Senat menurut ketentuan2 Bagian 2 Bab IV.”, ayat (3) yang bernyi “Usul undang-undang untuk mengubah Konstitusi ini atau menjimpang dari ketentuan2nja hanja dapat diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat ataupun oleh Senat dengan sekurangkurangnja dua-pertiga djumlah suara anggota jang hadir. Djika usul itu dirundingkan lagi menurut jang ditetapkan dalam pasal 132, maka Dewan Perwakilan Rakjat hanja dapat menerimanja dengan sekurang-kurangnja tiga-perempat dari djumlah suara anggota jang hadir.
Pengaturan juga tercantum pada Pasal 191 ayat (1) yang berdunyi “Dengan tidak mengurangi ketentuan2 tentang mengeluarkan dan mengumumkan undang-undang federal, maka perubahan2 dalam Konstitusi diumumkan oleh Pemerintah dengan keluhuran, menurut tjara jang akan ditentukannja.”, ayat (2) yang berbunyi “Naskah Konstitusi jang diubah itu diumumkan sekali lagi oleh Pemerintah setelah, sekadar perlu, bab2nja, bagian2 tiap2 bab dan pasal2nja diberi nomor berturut dan penundjukan2nja diubah.”, dan ayat (3) yang berbunyi “Alat2-perlengkapan berkuasa jang sudah ada dan peraturan2 serta keputusan2 jang berlaku pada saat suatu perubahan dalam Konstitusi mulai berlaku, dilandjutkan sampai diganti dengan jang lain menurut Konstitusi, ketjuali djika melandjutkannja itu berlawanan dengan ketentuan2 baru dalam Konstitusi jang tidak memerlukan peraturan undang2 atau tindakan2 pendjalankan jang lebih lanjut.
3.      Pada UUDS 1950
Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bagian I mengenai Perubahan, pada Pasal 140 ayat (1) yang berbunyi “Segala usul untuk mengubah Undang-undang Dasar ini menundjuk dengan tegas perubahan jang diusulkan. Dengan undang-undang dinjatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sebagaimana diusulkan itu, ada dasarnja.”, ayat (2) berbunyi “Usul perubahan Undang-undang Dasar, jang telah dinjatakan dengan undang-undang itu oleh Pemerintah dengan amanat Presiden disampaikan kepada suatu Badan bernama Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar, jang terdiri dari Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat Sementara dan Anggauta-anggauta Komite Nasional Pusat jang tidak mendjadi Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat Sementara. Ketua dan Wakil-Ketua Dewan Perwakilan Rakjat Sementara mendjadi Ketua dan Wakil-Ketua Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.”, ayat (3) yang berbunyi “Jang ditetapkan dalam pasal 66, 72, 74, 75, 91, 92 dan 94 berlaku demikian djuga bagi Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar., ayat (4) yang berbunyi “Pemerintah harus dengan segera mengesahkan rantjangan perubahan Undang-undang Dasar jang telah diterima oleh Madjelis Perubahan Undang-undang Dasar.”,
Pasal 141 ayat (1) yang berbunyi “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan umum tentang membentuk dan mengundangkan undang-undang, maka perubahan-perubahan dalam Undang-undang Dasar diumumkan oleh Pemerintah dengan keluhuran.”, ayat (2) yang berbunyi “Naskah Undang-undang Dasar jang diubah itu diumumkan sekali lagi oleh Pemerintah setelah, sekadar perlu, bab-babnja, bagian-bagian tiap-tiap bab dan pasal-pasalnja diberi nomor berturut dan penundjukan-penundjukkannja diubah.”, ayat (3) berbunyi “Alat-alat perlengkapan berkuasa jang sudah ada dan peraturan-peraturan serta keputusan-keputusan jang berlaku pada saat suatu perubahan dalam Undang-undang Dasar mulai berlaku, dilandjutkan sampai diganti dengan jang lain menurut Undang-undang Dasar, ketjuali djika melandjutkannja itu berlawanan dengan ketentuan-ketentuan baru dalam Undang-undang Dasar jang tidak memerlukan peraturan undang-undang atau tindakan-tindakan penglaksanaan jang lebih landjut.
4.      Pada UUD 1945 Setelah Perubahan
Ketentuan tersebut terletak pada BAB XVI mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar, tepatnya pada Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi”Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”, ayat (2) berbunyi “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.”, ayat (3) berbunyi “Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”, ayat (4) berbunyi “Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.”,  dan ayat (5) yang berbunyi “Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Berdasarkan konstruksi mengenai pengaturan (tata cara) perubahan formal yang ada pada ketiga konstitusi[12] yang berlaku tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut konsep konstitusi yang  bersifat kaku (rigid).[13] Perubahan konstitusi secara formal itu sendiri terjadi di Indonesia sebanyak satu kali perubahan dengan 4 (empat) tahapan.[14]
Pada perubahan pertama yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13  ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Passal 22 UUD 1945. Pada perubahan pertama ini konsentrasi MPR adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[15]
Perubahan kedua yang dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan kedua ini meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 mengubah dan menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945. Materi perubahan ketiga ini meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, dan ketentuan-ketantuan tentang Pemilihan Umum.
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 meliputi Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24 ayat (3), Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945. Perubahan ini melingkupi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghabusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.
Pada perubahan formal yang dilakukan pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2002 tersebut, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan, Jimly Asshidiqie sendiri menyatakan bahwa perubahan formal tersebut sampai dengan 300%, naskah konstitusi ini dapat digolongkan sebagai sebuah konstitusi baru dengan nama resmi “ Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” perubahan ini telah mengakibatkan berubahnya kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru. Konstitusi yang baru ini juga menegaskan kembali demokrasi konstitusional sebagai batu pijakan bernegara Indonesia.
Perubahan Konstitusi Secara Informal
Perubahan konstitusi secara formal hanya dapat diharapkan menyelesaikan permasalahan kenegaraan yang berlatar prefentif (pencegahan), karena prosedur yang harus dilalui cukup panjang, terlebih arus politisasi yang kuat melek at pada mekanisme tersebut tidak efisien untuk memecahkan permasalahan yang lebih bersifat insidensil dan membutuhkan respon cepat. Hal inilah yang menjadi alasan perubahan konstitusi juga dapat dilakukan secara informal,[16] mengingat proses yang harus dilalui relatif lebih sederhana. Sebagaimana diuraikan diatas, perubahan konstitusi secara informal dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni:
A.    Some primary force
Perubahan konstitusi dapat terjadi apabila terdapat tekanan kuat dari suatu kekuasaan ataupun kondisi tertentu, contoh nyata dari perubahan konstitusi dengan cara ini adalah di Jepang. Ketika Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu pasca pembom-atom-an Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, pelucutan senjata dan militer menjadi syarat yang diajukan. Dari perkuliahan oleh Prof. Shimada dapat ditarik kesimpulan bahwa tekanan yang kuat dari pihak sekutulah yang mendesak perubahan (penggantian) konstitusi dilakukan. Ketika itu hak negara Jepang untuk mempersenjatai diri (membuat militer/tentara) dinyatakan dicabut dan inkonstitusional untuk dilakukan.[17]
Di Indonesia sendiri hal ini pernah terjadi pasca perjanjian Konfrensi Meja Bundar yang menghasilkan tiga buah persetujuan pokok, yakni:
1.      Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2.      Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, dan
3.      Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Dalam hal mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat, pembentukan Undang-Undang Dasarnya sendiri dikawal pada KMB ini, RUU yang akan disahkan oleh KNP (Komite Nasional Pusat) yang diakui sebagai badan perwakilan di wilayah Republik Indonesia.[18] Hal ini dapat diartikan some primary forces-lah yang menyebabkan pergantian UUD 1945 ke UUD RIS. Contoh lainnya adalah keluarnya Dekrit Presiden[19] pada tanggal 5 Juli Tahun 1959 yang menjadi landasan hukum berganti (kembali) UUDS 1950 ke UUD 1945 sebelum amandemen. Latar belakang keluarnya Dekrit ini adalah pergulatan ideologi oleh para anggota konstituante yang tidak kurun mencapai kata sepakat untuk membuat konstitusi baru pengganti UUDS 1950, bahkan cenderung menimbulkan perpecahan bangsa, Dekrit tersebut dapat “dibenarkan” akibat keadaan darurat yang timbul menyebabkan staatsnoodrecht (hukum darurat negara) dan berdasarkan pada prinsip salus populi supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum yang tertinggi).[20]
B.     Judicial interpretation
Mengutip pendapat Satjipto Raharjo, bahwa salah satu sifat yang ada pada peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan norma yang dibentuknya. Dalam hal ini beliau memandang bentuk tulisan atau litera scripta hanyalah suatu usahan untuk menyampaikan ide atau pikiran. Ide atau pikiran tersebut tentu saja tidak akan mungkin tersampaikan secara utuh dalam untaian kata-kata di dalam perundang-undangan tersebut.
Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bagi hukum itu sendiri pada khususnya “membedah” ide atai pikiran yang ingin disampaikan oleh norma tertulis pada peraturan-perundang-undangan. Selain alasan tersebut, tidak dapat kita elakkan bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar prosedur hukum, dalam hal ini pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan dalam konteks sosial ditengah masyarakat.[21]
Proses pembedahan tersebut tentu saja dilakukan oleh “dokter bedah” yang dalam hal ini adalah hakim yang secara kelembagaan merupakan organ pengadilan yang tergolong sebagai lembaga yudisial. inilah yang menjadi cikal bakal dari Judicial Interpretation (penafsiran yudisial) dan ketika dibawakan kedalam konteks perubahan undang-undang dasar, maka istilah yang digunakan adalah pernafsiran konstitusi (constitutional interpretation).
Bila menilik lebih dalam, dalam melakukan penafsiran hukum tentu memerlukan metode-metode yang sesuai. Secara umum metode-metode tersebut diklasifikasi kan kedalam 6 (enam) cara interpretasi, yakni:[22]
1.      Interpretasi Gramatikal
Interpretasi[23] ini juga dapat disebut interpretasi menurut bahasa, metide ini menekankan pentingnya bahasa dalam menentukan makna terhadap suatu objek. Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga cara penafsiran objektif, dimana cara penafsiran ini tergolong paling sederhana untuk mengetahui makna dari undang-undang dasar yang akan diinterpretasikan.
Terkait pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam metode penafsiran ini dapat dikriteriakan kedalam 3 (tiga) hal, pertama, noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya dalam kumpulan-kumpulannya, kedua, ejusdemgeneris, asas ini mengandung makna of the same class. Jadi suatu perkataan yang digunakan dalam lingkungan atau kelompok yang sama, ketiga, expressum facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan secara tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang-undangan. Misalnya, apabila di muka peraturan telah merinci tentang ‘perdagangan, tenaga terampil, pekerja atau orang lain apapun’, maka kata ‘orang lain apapun’ harus diartikan dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya itu. Ketiga hal inilah yang menjadi pendekatan dalam menafsirkan hukum.
2.      Interpretasi Teleogis atau Sosiologis
Interpretasi dalam hal ini dimaknai sebagai pemaknaan peraturan perundang-undangan  berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Fokus dari interpretasi ini adalah aktualisasi peraturan perundang-undangan yang ada.
3.      Interpretasi Sistematis atau Logis
Secara garis besar, pengertian dari interpretasi ini adalah menghubung-kan suatu undang-undang dengan undang-undang lain. Dengan kata lain mencari sistematika dan logika –original intent- suatu peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk.
4.      Interpretasi Historis
Penafsiran dengan metode ini bermaksud memaknai isi peraturan perundang-undangan melalui penelitian sejarah pembentukannya. Secara garis besar, interpretasi historis ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, pertama, menurut sejarah undang-undang  tersebut dibentuk, dimana pencarian maksud ketentuan awal pembentukan undang-undang tersebut dilihat dari pandangan subjektif para pembentuknya, kedua, menurut sejarah hukum, dimana cara ini berusaha memahami suatu undang-undang dalam konteks keseluruhan sejarah hukum yang ada.
5.      Interpretasi Komparatif atau Perbandingan
Ialah metode penafsiran yang dilakukan dengan cara membanding-kan antara beberapa aturan hukum untuk mencari kejelasan makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Perbandingan ini dilakukan dengan cara membandingkan penerapan asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang akan dikomparasikan, atau aturan hukumnya (rechtsregel), disamping membanding latar belakang atau sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
6.      Interpretasi futuristis
Ialah metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif, dimana kecenderungan bentuk interpretasi lebih menitik beratkan pada sifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang ingin dicitakan) daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku saat ini).
Sementara pada metode penafsiran[24] konstitusi, dimana praktek penafsiran ini diterapkan pada proses judisial review, khususnya di Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution (satu-satunya penafsir konstitusi), dikenal 6 (enam) macam cara, yakni:[25]
1.      Penafsiran Tekstual
Ialah penafsiran yang menekankan pada pengertian norma tertulis yang ada pada konstitusi atau undang-undang sebagaimana dipandang secara umum oleh mayoritas orang.
2.      Penafsiran Historis (atau Penafsiran Orginalism)
Penafsiran ini dapat disamakan dengan interpretasi historis sebagaimana dibahas sebelumnya yaitu untuk menelaah original intent dari pembentukan konstitusi tersebut. Penafsiran ini biasanya di-gunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur dari konstitusi itu sendiri.
3.      Penafsiran Doktrinal
Adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami aturan undang-undang  atau konstitusi melalui sistem preseden atau melalui praktik peradilan.
4.      Penafsiran Prudensial
Merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan penuh per-timbangan antara kemanfaatan yang akan ditimbulkan oleh penafsiran tersebut dengan resiko yang harus ditanggung.
5.      Penafsiran Struktural
Yaitu metode penafsiran yang dilakukan dengan cara mengaitkan aturan dalam undang-undang dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur ketatanegaraan.
6.      Penafsiran Etikal
Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip moral dan etika yang terdapat di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Pendekatannya lebih kepada falsafati, aspirasi ataupun moral yang bersumber dari konstitusi itu sendiri.
C.    Usage and convention
Usage (kebiasaan) and convention (konvensi) dapat diterima secara harafiah dalam hal menjadi salah satu sarana perubahan undang-undang dasar secara informal. Konvensi ketatanegaraan[26] memiliki posisi strategis sebagai aturan politik dalam bekerjanya konstitusi secara empiris. Namun yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah konvensi tidak dapat diberi sanksi oleh pengadilan apabila dilanggar pelaksanaanya. Tetapi posisi konvensi sebagai non-legal rules yang mengatur cara legal rules diterapkan merupakan suatu kenyataan dalam pelaksanaan di dalam praktik bernegara.
Contoh nyata perubahan yang terjadi terhadap norma yang terkandung di dalam undang-undang dasar tanpa perubahan formal oleh konvensi ketatanegaraan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen), yakni dengan dipraktikkannya sistem pertanggungjawaban menteri sebagaimana termuat dalam Maklumat Pemerintah tanggak 14 november 1945, padahal pertanggungjawaban pemerintah pada UUD 1945 berada pada presiden.[27]
Perbedaan mendasar antara konvensi ketatanegaraan dengan kebiasaan ketatanegaraan[28] adalah unsur pengulangan pada kebiasaan. Tidak semua konvensi merupakan pengulangan, contoh diatas merupakan sebuah konvensi yang baru pertama kali terjadi dan tidak belum terulang. Sehingga jika disilogiskan maka akan muncul kausa “setiap kebiasaan ketatanegaraan adalah konvensi ketatanegaraan” dan “tidak semua konvensi ketatanegaraan adalah kebiasaan”. Contoh dari kebiasaan ketatanegaraan yang menjadi konvensi ketatanegaraan adalah adanya pidato kenegaraan oleh preseden di DPR dan DPD.[29]
Praktik konvensi di negara-negara lain misalnya ditemukan di Inggris, di sana disyaratkan seorang menteri harus punya kedudukan sebagai anggota parlemen, dan Raja atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menjadi pemenang dalam pemilu sebagai Perdana menteri. 
Kesimpulan
Mekanisme perubahan undang-undang dasar secara garis besar dapat dikelompokan kedalam 2 (dua) jenis, pertama, dengan cara informal (verfassung-sanderung), dan kedua, dengan cara informal (verfassungswandlung). Lebih gamblang lagi, dapat diartikan bahwa perubahan konstitusi secara formal merupakan perubahan yang berdasarkan ketentuan konstitusi itu sendiri, Indonesia sendiri pernah mempraktekkannya ketika pe-rubahan Undang-Undang Dasar 1945 dikurun waktu 1999 hingga 2002.
Serta perubahan konstitusi secara informal dapat jabarkan lebih lanjut melalui 3 (tiga) cara, pertama, melalui kekuatan kekuasaan yang utama seperti yang terjadi di Jepang, pasca pernyaaan menyerah tanpa syarat kepada pihak sekutu (Amerika Serikat) dan ketika Indonesia dipaksa membuat konstitusi RIS yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, kedua, melalui penafsiran konstitusi oleh lembaga yudisial, dalam hal ini di Indonesia palaksanaannya oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketiga, melalui kebiasaan dan konvensi ketatanegaraan.
Padang, 24 Maret 2011

ZFD


[1] Sebagai tugas perkuliahan Hukum Konstitusi, kelas 3.1 tahun ajaran 2010/2011.
[2] Komisi Konstitusi, Buku I Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta,2004, hlm.17.
[3] Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi,Penerbit Buku Kompas, 2010 hlm. 3. Bandingkan dengan Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 41.
[4] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm.
[5] Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta, Rajawali Pers,2009, hlm.379, dalam bukunya ini mahfud mengutip pernyataan K.C. Wheare yaitu “A constitution is indeed the resultanct of parallelogram of forces –political, economic and social- wich operate at that time of it’s adoption”, pendapat yang sama juga diutarakan oleh beliau dalam Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pres, 2009. Hlm.153.
[6] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum tata Negara Jilid I, Jakarta, Sekertariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,2006, hlm. 144.
[7] Lihat Saldi Isra dan Feri Amsari, Perubahan Konstotusi Melalui Tafsir MK, dalam Jurnal Konstitusi PUSaKO Fak. Hukum Univ. Andalas Vol 1. No. 1, November 2008, hlm. 108.
[8] Ibid, hlm. 109.
[9]Formal amandement inilah yang oleh George Jellinek klasifikasikan sebagai verfassungsanderung (Perubahan melalui prosedur formal), sementara ketiga jenis lainnya, yakni Some primary forces, Judisial interpretation Usage and convention diketegorikan ke dalam lingkup vervassungswandlung (Perubahan secara informal).
[10] Komisi Konstitusi, Op. Cit., hlm. 23.
[11] Ibid., hlm. 24.
[12] Tiga Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah UUD 1945 sebelum perubahan, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah perubahan. Walaupun secara substansi UUD 1945 dapat dikatakan baru, namun tetap merupakan perubahan UUD 1945 yang asli berdasarkan lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga secara formal terdapat tiga (tiga) Undang-Undang Dasar yang pernah dan masih berlaku di Indonesia. Naskah resmi UUD 1945 itu sendiri menurut Jimly Asshidiqie ada lima, yakni :
1. Naskah UUD 1945 yang diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959;
2. Lampiran 1 berupa naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang disahkan pada tahun 1999;
3. Lampiran 2 berupa naskah Perubahan Kedua UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2000;
4. Lampiran 3 berupa naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001;
5. Lampiran 4 berupa naskah Perubahan Keempat UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2002. Lihat Pokok-Pokok Hukum Tata Negara....,Op.,Cit. hlm. 98.
[13] Indikator suatu naskah konstitusi dapat dikategorikan luwes (flexible) atau kaku (rigid) adalah (i) apakah terhadap naskah konstitusi tersebut dimungkinkan delakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman, penulis berpendapat, konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan perubahan dan tergolong tidak mudah untuk diubah, dengan syarat usul 1/3 dan persetujuan 50% + 1 anggota MPR yang dianut. 
[14] Penulis sependapat dengan Mahfud MD yang menyatakan bahwa UUD 1945 diubah secara formal sebanyak 1 (satu) kali, dimana terdapat 4 (empat) tahapan dalam proses perubahan tersebut. Hal ini didasari pada ke empat sidang MPR tidak ada satupun yang saling tumpang tindih dalam melakukan perubahannya, melainkan secara bertahap. Bisa dilihat juga pada perubahan UUD 1945 yang dibahas di esai ini.
[15] Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis,BIP, 2009, hlm. 172.
[16] Lihat catatan kaki ke 9.
[17] Salah satu pasal di dalam Konstitusi Jepang mengatur mengenai hal ini (dinyatakan oleh Prof. Shimada pada salah satu sesi perkuliahan Hukum Konstitusi).
[18] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok.....Op. Cit., hlm. 83-84., lihat juga Moh Mahfud MD, Politik..... Op. Cit, hlm. 133-136.
[19] Dari segi konstitusionalitasnya, dekrit presiden tidak memiliki legitimasi namun dapat dibenarkan sebagai hukum darurat negara, serta (menurut pendapat Mahfud MD) merupakan pelaksanaan asas (Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi).
[20] Jimly Asshidiqie, Loc. Cit, hlm. 90.
[21] Philippe Nonet & Philip Selznick, Jakarta, HUMA, Hukum Responsif, hlm. 59.
[22] Sekjen dan Kepaniteraan MK dan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 69-76.
[23] Pusat Bahasa, Op. Cit., hlm. 535, interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran.
[24] Ibid, hlm, 1373, berasal dari kata tafsir, yang berarti 1keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an agar maksudnya mudah dipahami 2keterangan; penjelasan. Ketika kata tafsir diberikan imbuhan pe-an, maka bermakna proses, cara, perbuatan menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas; 
[25] Hukum Acara MK... Op. Cit., hlm. 74-77.
[26] Merupakan istilah yang lebih tepat digunakan untuk mengartikan kata convention, lihat catatan kaki ke 133 Jimly Asshidiqie, Pengantar Hukum Tata Negara,Rajawali Pers,2009, hlm. 204. 
[27] Ibid., hlm.205; lihat juga Moh Mahfud MD, Politik Hukum... Op. Cit., hlm.40.
[28] Penulis juga berpendapat bahwa kata kebiasaan ketatanegaraan lebih tepat mengartikan usage.
[29] Pidato Kenegaraan biasanya dilaksanakan di DPR pada tanggal 16 Agustus setiap tahunnya, sementara bersama dengan DPD baru pertama kali dilaksanakan pada 2010 silam, dan dinilai akan menjadi kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan yang baru.

Komentar

Postingan Populer