Perubahan Makna Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ini adalah artikel saya yang dimuat di Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Edisi Desember 2013.
untuk edisi PDF, dapat diunduh disini
Ziffany Firdinal
Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Lantai II Dekanat
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kampus Limau Manih, Padang
Email:
ziffan@pusako.or.id
Abstrak
Artikel ini
menelaah perubahan makna terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terkait syarat pencalonan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden melalui suatu partai politik maupun
gabungannya yang merupakan peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum. Pada ketentuan lebih lanjut, tepatnya Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diberikan
tambahan syarat partai politik maupun gabunganya tersebut mendapatkan perolehan
suara sah nasional minimal 20% pada pemilihan umum atau memiliki minimal 25%
kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, yang secara konseptual dikenal sebagai presidential threshold. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, ketentuan pencalonan pada
tingkat undang-undang tersebut dinyatakan konstitusional, dengan catatan, bahwa
terdapat beberapa pendapat berbeda dari hakim konstitusi yang mengadili uji
materil norma undang-undang tersebut. Hasil kajian yang didapat adalah telah terjadi perubahan makna, dalam
hal ini berbentuk penyempitan terhadap ketentuan normatif Pasal 6A ayat (2),
diakibatkan oleh ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Untuk
memberikan kepastian hukum terkait perubahan makna ini, diperlukan perubahan
terhadap Pasal 6A ayat (2) untuk mempertegas ketentuan ambang batas pada
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini sejalan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi atas pengujian Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ataupun tidak.
Kata Kunci: Perubahan Konstitusi, Presidential, Pemilihan
Umum
This article examines the changes in the meaning of Article
6A paragraph (2) of the Indonesian 1945 Constitution, related to the
requirements for nominating Presidential and Vice Presidential candidates by a
political party or an alliance of parties contesting in the parliamentary
election prior to the Presidential election. Further provisions termed more
precisely in Article 9 of Law No. 42 of 2008 on Presidential and Vice
Presidential Election; some additional requirement that political parties or
alliance of parties gain valid votes of at least 20% of total votes nationally
or a minimum 25% of seats in the House of Representatives, which is
conceptually known as ‘presidential threshold’. Based on the Constitutional
Court Verdict No. 51-52-59/PUU-VI/2008, provisions on the candidacy at the Act
level were declared constitutional with some terms, that there are some
dissenting opinions among judges who adjudicated the constitutional norms
during the judicial review of the Act. Examination results obtained is that
there have been change in meaning, in this case, takes a form of narrowing of meaning of the
normative provisions of Article 6A paragraph (2) in a consequence to the
provisions set in Article 9 of Law No. 42 of 2008. In order to provide legal
certainty associated to the narrowing of this provision’s meaning, an
ammendment is required to Section 6A paragraph (2) to reinforce the measures in
the Presidential and Vice Presidential candidate nomination, in this case in
line with the Constitutional Court verdict on judicial review of Article 9 of
Law No. 42 of 2008 on Election of President and Vice-President or not.
Keyword: Change of Meaning in Constitution, Presidential,
General Election
PENDAHULUAN
Konstitusi merupakan
hukum tertinggi dalam sebuah negara (supreme
law of the land),[1] secara
teoritis, suatu undang-undang dasar merupakan kontrak sosial dari rakyat pada
suatu negara. Sebagai sebuah kontrak sosial, konstitusi harus dijunjung tinggi
sebagai landasan kebijakan negara. Indonesia sendiri telah memiliki kontrak
sosial berupa Undang-Undang Dasar Negara yang apabila diperiodisasikan dapat
diklasifikasikan kepada 4 (empat) periode, yakni semenjak digunakannya
Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), lalu Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, dan berlaku
kembalinya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun secara umum,
terdapat 3 (tiga) undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia.[2]
Pada masa berlakunya
UUD 1945, terjadi perubahan terkait isi dari undang-undang dasar tersebut,
yakni pada Tahun 1999 hingga 2002. Perubahan mendasar tersebut berlangsung
selama 4 (empat) tahapan,[3] serta
menyebabkan perubahan struktur ketatanegaraan secara signifikan,[4] dengan nama
resmi baru Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945). Termasuk pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden yang tertuang pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Dari sisi tekstual,
sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 6A ayat (2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa
UUD NRI 1945 memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilihan umum
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, dengan syarat bahwa partai
politik tersebut merupakan peserta pemilihan umum. Namun pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
tepatnya melalui ketentuan Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa :
Pasangan Calon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah
kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional
dalam Pemilu anggota DPR.
Selain melalui ketentuan Pasal 5 ayat (4) tersebut, dalam aturan peralihan
di undang-undang yang sama Pasal 101, khusus untuk pemilihan umum tahun 2004,
cukup dengan syarat pencalonan 3% (tiga persen) suara sah nasional, ataupun
memperoleh 5% (lima persen) kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak jauh
berbeda, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (undang-undang pemilu presiden) yang menjadi payung hukum baru,
memberikan ketentuan yang sama, bahkan lebih besar untuk syarat pencalonan
pasangan Presiden dan Wakil Presiden melalui Pasal 9 yang menyatakan bahwa:
Pasangan Calon diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Ketentuan dalam
undang-undang pemilu presiden tersebut, secara langsung menambah syarat pada
prosedur pencalonan bagi presiden dan wakil presiden, karena pada dasarnya,
jika ditinjau dari sisi ketentuan UUD NRI 1945, pencalonan cukup dilakukan oleh
partai politik peserta pemilihan umum. Terlebih jika dilihat pada ketentuan
yang juga mendasari hadirnya undang-undang tersebut, yakni ketentuan pada Pasal
6A ayat (5) yang menyatakan bahwa “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang.” Ketentuan pengaturan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden
dan wakil Presiden tersebut oleh UUD NRI 1945 sebenarnya menutup kemungkinan
proses legislasi menambah syarat pencalonan, khususnya pembatasan dengan syarat
kemenangan dan perolehan kursi tersentu di DPR bagi partai politik maupun
gabungannya dalam mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Terhadap pembatasan
tersebut, kita dapat mendalaminya dengan mengacu pada perdebatan sengit ketika
pembahasan Pasal 6A, fokus arah permasalahan hanya pada ketentuan ayat (3) yang
mengisyaratkan mayoritas suara dari rakyat untuk memenangkan Pemilihan
Presiden. Dalam risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya, dan ayat (2)
khususnya tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang menyinggung
masalah ambang batas (presidential threshold).
Terlebih ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan prasyarat
pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada pembahasannya
sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk memberikan batasan
tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI 1945.
Terkait dengan ketentuan undang-undang yang merubah makna Pasal 6A ayat
(2) UUD NRI 1945 tersebut, telah dilakukan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan
kewenangannya, lembaga tersebut menyatakan bahwa ketentuan Pasal 9
Undang-Undang 42 Tahun 2008 tersebut konstitusional. Walaupun terdapat pendapat
berbeda di dalam Majelis Hakim Konstitusi yang memutus perkara tersebut.[5]
Beberapa hal tersebutlah yang melatar belakangi ketertarikan
penulis mengkaji perihal perubahan makna Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008, khususnya terhadap ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam artikel
ini.
PEMBAHASAN
1.
Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 (Dekrit Presiden 1959-1999)
Pada dasarnya, pengaturan pemilihan preiden dan wakil presiden pada UUD
1945 pasca dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, secara normatif
konstitusi tetap sama dengan periode sebelumnya,[6] dalam hal ini
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak,
pengaturan lebih lanjut terkait hal ini selanjutnya didelegasikan kedalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara Republik Indonesia (TAP
MPR/S).
Pada periode berlakunya UUD 1945 setelah dekrit presiden, sepat
dideklarasikannya Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS, yakni
melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.
Selanjutnya dinamika sosial politik di Indonesia yang begejolak sejak peristiwa
pemberontakan Partai Komunis Indonesia, melaui gerakan G.30.S/PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) yang
menyebabkan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar).
MPR sendiri memperkuat posisi supersemar dengan mengeluarkan TAP MPRS
Nomor IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang isinya antara lain memberikan daya laku
surat perintah terhadap Soeharto hingga pemilihan umum MPR terlaksana.
Selain memperkuat daya laku supersemar, MPRS juga meniadakan pemilihan wakil
presiden dan memberikan mandat kepada Soeharto (pemegang supersemar) sebagai
pemegang jabatan apabila presiden berhalangan, dilakukan melalui TAP MPRS No.
XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara
Pengangkatan Pejabat Presiden. Pada akhirnya, MPRS mengangkat Soeharto menjadi
Presiden berdasarkan TAP MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan
Pengemban Ketetapan MPRSNomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pengaturan terhadap pemilihan presiden dan wakil presiden sendiri baru
ditetapkan oleh MPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1971, melalui TAP MPR Nomor
II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pada pengaturannya, dijelaskan secara rinci syarat personal untuk
menjadi presiden dan wakil presiden, serta juga dijelaskan prosedur pencalonan
presiden dan wakil presiden oleh fraksi ataupun gabungan fraksi.[7]
Setelah reformasi bergulir ditahun 1999, pasca lengsernya
Soeharto (pengunduran diri) di tahun 1998, tepatnya setelah pemilihan umum
tahun 1999, MPR hasil pemilu tersebut menetapkan aturan baru terkait pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/1999 Tentang Tata
Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pada pengaturan baru ini, terdapat 2 (dua) hal yang berubah, yakni terkait
dapat dicalonkannya seorang Presiden dengan kuota minimal 70 orang anggota MPR
dan ditiadakannya ketentuan “mampu bekerja sama” antara Presiden dan Wakil
Presiden.[8]
2.
Latar Belakang Perumusan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketentuan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dinyatakan
oleh Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 dilandasi oleh semangat reformasi yang
salah satu butir tuntutannya adalah perubahan undang-udang dasar.[9] Terkait
pembahasannya sendiri, ketentuan pengusulan calon (pengisian jabatan)[10] presiden dan
wakil presiden, sejatinya telah dimulai semenjak periode pertama perubahan
undang-undang dasar, yakni pada tahun 1999,[11] dan di periode
kedua di tahun 2000,[12] namun pada
kedua periode tersebut tidak tercapai kata sepakat atas usulan perubahan yang
akan disahkan.
Pada tahapan ketiga perubahan undang-undang dasar-lah beberapa ketentuan
Pasal 6A diakomodir untuk disahkan, khususnya terkait ketentuan syarat untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan langsung oleh rakyat.
Sementara terkait pemberhentian Presiden maupun Wakil Presiden dan
mekanismenya, larangan Presiden untuk membubarkan serta membekukan DPR,
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya serta pemilihan Wakil Presiden, dan kekuasaan Presiden dalam
membuat perjanjian internasional.[13]
Rumusan baru terkait dengan putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, pelaksana tugas kepresidenan apabila Presiden dan Wakil Presiden
berhalangan secara bersamaan, kekuasaan Presiden menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dan pembentukan dewan
pertimbangan Presiden, baru berhasil disetujui MPR pada tahapan perubahan
terakhir (keempat) UUD NRI 1945.[14]
Dalam pembahasan perubahan undang-undang dasar, khususnya terkait tata
cata pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, tidak terlepas dari perdebatan
awal, apakah sistem pemilihan yang dianut langsung atau tidak langsung,[15] selain itu,
perdebatan yang muncul terkait ketentuan Pemilihan Umum Presiden dan Wakilnya
diwarnai pro kontra terkait syarat personal seseorang untuk menjadi pimpinan
Negara ini.[16]
Terkait prasyarat personal, secara original
intent memang sengaja diberikan kewenangan pada undang-undang untuk
merincinya, hal ini tergambar jelas dari perdebatan prasyarat personal calon
Presiden maupun Wakilnya sebagai berikut:
Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat memberian usulan terhadap
materi Pasal 6 undang-undang dasar, yakni:
Presiden dan Wakil
Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.[17]
Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP sendiri memberikan
keterangan:
….Oleh karenanya kami mengusulkan
untuk Pasal 6 ini mungkin usulan hasil yang telah dirumuskan oleh BadanPekerja
ini bisa kita sepakati menjadi Ayat (1). Tapi Ayat (2) perlu ada tambahan bahwa
persyaratan bagi seorang Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan
undang-undang, karena sekarang ini pun sedang disiapkan tentang lembaga
Kepresidenan, biarlah nanti itu diatur di sana yang jelas mengenai persyaratan
ini[18]
Andi Najmi Fuady yang mewakili F-KB menyatakan:
Jadi konstitusi hanya mensyaratkan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden itu orang Indonesia yang nanti redaksinya
bisa kita sempurnakan. Kemudian ada ayat berikutnya, ‘syarat-syarat dan tata
cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam undang-undang’[19]
Selanjutnya dapat
dilihat pula berdasarkan pendapat Afandi dari F-TNI/Polri:
…. Saya berpendapat bahwa untuk syarat ini ada dua hal yang
penting yang satu adalah syarat status yang amat penting itu sudah disebutkan
pada kewarganegaraan. Kemudian syarat yang kedua adalah syarat keadaan diri.
Untuk itu maka kami berpendapat bahwa untuk Pasal 6 ini ada dua hal, satu
syarat status, syarat status sebagaimana yang tertuang di dalam rancangan
perubahan pada Pasal 6 oleh BP, “Presiden dan Wakil Presiden adalah warga
negara Indonesia sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri”, ini menjadi Ayat (1) Pasal 6.
Kemudian untuk Ayat (2)-nya adalah “Syarat-syarat menjadi calon
Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang”, begitu saja.
Alasannya sebagai berikut yang pertama seperti pemahaman kami ini bahwa untuk
Pasal 6 ini adalah syarat-syarat ada dua hal tadi, syarat status, syarat
keadaan diri. Kemudian syarat satu sangat penting dipisahkan tersendiri.
Kemudian syarat-syarat keadaan diri secara lengkap itu diatur dengan
undang-undang, agar bisa lebih teliti, lebih luwes, lengkap, utuh, terpadu.
Apabila kelak kemudian hari
kemungkinan di dalam dinamika ada perubahan misalnya tentang umur tadi dengan
kemajuan kita mungkin barangkali sedini mungkin orang itu dimungkinkan untuk
mendapat pengalaman maturitas yang tinggi, mungkin lebih dini lagi, atau
mungkin mortalitasnya makin panjang, umur makin panjang juga, usia efektif
makin makmur. Ini perubahan akan lebih mudah apabila ditingkat undang- undang,
bukan di Undang-Undang Dasar, akan lebih luwes….[20]
Akhirnya Rapat Paripurna ke-7 (lanjutan-2) ST MPR, 9 November
2001 yang dipimpin oleh M. Amien Rais memutuskan perubahan Pasal 6
undang-undang dasar sesuai persetusuan Komisi A MPR, yakni:
Pasal 6
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang
warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati
negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[21]
Dalam pembahasan mengenai lembaga kepresidenan, sangat jelas dipisahkan
antara pengaturan terhadap syarat personal dan tata cara pemilihan[22] Presiden
maupun Wakilnya. Hal ini terlihat dari rumusan Badan Pekerja MPR yang
memisahkan ketentuan Pasal 6 yang mengatur syarat personal dan Pasal 6A,
begitupula dengan pembahasannya di MPR. Berkaitan dengan Pasal 6A, usulan Badan
Pekerja MPR ditahapan perubahan ketiga adalah sebagai berikut:
Pasal 6A
Alternatif 1 Varian 1
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket
secara langsung oleh rakyat.
(2) Paket calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipilih
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menetapkan dua paket yang mendapat
suara terbanyak
(3) Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila
mendapatkan suara elektoral terbanyak
(4) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden diatur dengan undang-undang
Alternatif 1 Varian 2
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket
secara langsung oleh rakyat
(2) Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila
mendapatkan suara rakyat terbanyak
(3) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden diatur dengan undang-undang
Alternatif 2 varian 1
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak dari pasangan calon Presiden dan
calon Wakil Presiden partai pemenang satu dan dua hasil pemilihan umum yang
dilselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Alternatif 2 varian 2
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditetapkan dalam
satu paket oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum
(2) Paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden
(3) Dalam hal tidak ada paket calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara maka dua paket
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum,
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak dan
ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perdebatan yang muncul pada mulanya terkait dipilih langsung oleh rakyat
dengan melibatkan MPR atau tidak. Akhirnya semua fraksi mencapai kata sepakat
soal pemilihan Presiden langsung, kemudian muncul alternatif-alternatif baru
terhadap pasal 6A, melalui Ketua PAH I, Jakob Tobing, membacakan hasil
pembahasan mengenai pemilihan Presiden, yakni:
Alternatif 1 :
Pasal 6A
(1) Presiden dan
Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.
(2) Paket-paket calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
seuara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya
dua puluh persen suara di masing-masing provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, disahkan menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
(4)
Alternatif 1:
Dalam hal ini tidak ada paket calonPresiden dan dan Wakil
Presiden yang terpilih sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka dua paket
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum,
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan paket yang memperolehsuara
terbanyak disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Alternatif 2 :
Dalam hal ini tidak ada paket calon Presiden dan Wakil
Presiden yang terpilih sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka dua paket
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum,
dipilih oleh rakyat secara langsung dan paket yang memperoleh suara terbanyak
disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Alternatif II :
Pasal 6A
(1)Presiden dan Wakil Presiden dilipih dalam satu paket
secara langsung oleh rakyat.
(2)Paket calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menetapkan dua paket yang mendapat suara
terbanyak.
(3) Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila
mendapatkan suara elektoral terbanyak.
(4) Syarat-syarat dan tatacara pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden diatur dengan undang-undang.
Pemisahan secara tegas mengenai syarat personal (Pasal 6) dan
tata cara pencalonan (Pasal 6A) juga terlihat jelas melaui pandangan Slamet
Effendy Yusuf dalam membahas alternatif baru ketentuan Pasal 6A, yakni:
….Oleh karena itu, kalau kita baca
naskah yang dihasilkan oleh Badan Pekerja maka Pasal 6 itu adalah terutama
berkaitan dengan mengenai Presiden atau Wakil Presiden atau calon Presiden atau
calon Wakil Presiden. Kemudian Pasal 6A adalah mengenai Tata Cara Pemilihan
Presiden atau Wakil Presiden yang tadinya adalah Ayat (2) di Pasal 6.[23]
Pembahasan lanjutan yang diadakan pada Rapat Lobi Tim Perumus Komisi A
MPR, 7 November 2001, selain membahas ketentuan norma PAsal 6A, juga dibahas
ketentuan Pasal 6, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C dipimpin Jakob Tobing.
Dalam Rapat Lobi Tim Perumus, pembahasan sudah langsung pada narasi norma yang
disepakati. Hasil pembahasan terkait ketentuan norma Pasal 6A versi Komisi A
MPR, adalah sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
(4)
Alternatif 1 :
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden danWakil Presiden
yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
Alternatif 2 :
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Dalam perdebatan akhir pembahasan Pasal 6A, fokus arah
permasalahan hanya terletak kepada pilihan alternatif 1 dan 2 terkait tidak
terpenuhinya ketentuan ayat (3) yang mengisyaratkan mayoritas suara dari rakyat
untuk memenangkan Pemilihan Presiden. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
ketentuan pengajuan paket calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik
maupun gabungannya dengan syarat sebagai peserta pemilu adalah pendapat bersama
MPR diwaktu tersebut. Dalam risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya,
dan ayat (2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang
menyinggung masalah ambang batas (presidential
threshold). Terlebih ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan
prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada
pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk memberikan
batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI 1945.
3.
Latar Belakang Perumusan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Secara kontekstual, perumusan ketentuan Pasal 9 undang-undang pemilu
presiden tidak lepas dari bayang-bayang pengaturan terdahulu. Dimulai dari
pengaturan di tingkat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP
MPRS), yakni TAP MPRS Nomor XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan /Penunjukan Wakil
Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Selanjutnya, Pengaturan
terhadap Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 1971, melalui TAP MPR Nomor
II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pada pengaturannya, dijelaskan secara rinci syarat personal untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden, serta juga dijelaskan prosedur pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden oleh fraksi ataupun gabungan fraksi.[24]
Setelah reformasi bergulir ditahun 1999, tepatnya setelah pemilihan umum
tahun 1999, MPR hasil pemilu tersebut menetapkan aturan baru terkait pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/1999 Tentang Tata
Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pada pengaturan baru ini, terdapat 2 (dua) hal yang berubah, yakni terkait
dapat dicalonkannya seorang Presiden dengan kuota minimal 70 orang anggota MPR
dan ditiadakannya ketentuan “mampu bekerja sama” antara Presiden dan Wakil
Presiden.[25]
Selanjut dibawah payung Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pengaturan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pertama kali
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, dan terakhir Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam konsideran pertimbangan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008
dikarenakan perlunya pembaharuan terhadap undang-undang pemilu presiden yang
sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003, secara yuridis
dinaungi oleh ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal
6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 20, dan Pasal 22E Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila dijabarkan lebih jauh, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu bentuk
pemenuhan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar
dalam bingkai negara hukum, ini didasari oleh ketentuan BAB III Kekuasaan
Pemerintahan Negara, khususnya terkait syarat calon dan pengusulan calon
Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik, dan dalam hal ini
pengaturannya dilakukan oleh suatu undang-undang yang merupakan produk
legislasi antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam undang-undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden terdahulu
(23/2003), terkait syarat ambang batas (Presidential
Threshold) suatu partai politik, maupun gabungan partai politik untuk dapt
mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden ialah sebanyak 15 % dari jumlah
kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, atau 20% suara sah nasional atas kemenangan
partai tersebut.[26]
Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan 15% jumlah kursi DPR ditingkatkan
menjadi 20%, begitu juga dengan 20% suara sah nasional yang menjadi 25%.[27]
Apabila ditilik lebih jauh perihal hadirnya ketentuan ambang batas ini di
dalam ketentuan undang-undang pemilu presiden 2008, tidak lepas dari keinginan
untuk membatasi pencalonan Presiden dan Wakilnya berdasarkan ketentuan Pasal 6A
ayat (5) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang” dalam hal ini Pemerintah (Presiden) dan
DPR secara bersama mendapatkan kewenangan konstitusional untuk mengatur lebih
lanjut tentang tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dalam konteks ini dibentuknya undang-undang nomor 42 tahun 2008.
Argumentasi hadirnya ketentuan Presidential
Threshold ini didasari oleh urgensi penyaringan Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden yang memiliki basis dukungan yang kuat dari rakyat, angka 20%
kursi di DPR atau 25% suara sah nasional merupakan kesepakatan politik yang
tercapai dari berbagai fraksi di parlemen, tujuannya adalah agar dapat
tercapanya fungsi pemerintahan Negara yang efektif, karena tidak dapat
dimungkiri, system presidensial yang efektif mewajibkan presiden memiliki basis
suara di parlemen, karena pemerintahan Negara dalam perjalannya akan
bersinggungan langsng dengan Dewan Perwakilan Rakyat, ini juga memperkecil
resiko terjadinya divided government
(pemerintahan yang terbelah) akibat persingungan antara presiden dan parlemen
yang secara legitimasi sama-sama memperoleh kekuasaan dari rakyat dalam
menjalankan pemerintahan.[28]
Senada dengan DPR, pemrintah juga dalam pertimbangannya menyetujui
hadirnya syarat jumlah kursi ataupun suara sah nasional suatu partai politik
maupun gabungan partai politik demi menjaga efektifitas pemerintahan yang
berjalan. Hal ini diargumentasikan dengan seorang Presiden dan Wakilnya yang
menang mutlak namun tidak memiliki political
support di DPR. Selain itu, pemerintah juga berpandangan bahwa threshold yang ada tersebut merupakan
basis dukungan awal dari pasangan calon Presiden dan Wakilnya dalam
mencerminkan kedaulatan rakyat yang berifat representative (DPR/Partai
Politik).
Pemerintah juga mendasarkan pengaturan ambang batas tersebut
berdasarkan alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 yang mengamanatkan pembangunan
nasional sebagai salah satu tujuan bernegara. Pada prinsipnya, pembahasan
program dan anggaran yang merupakan kewenangan yang akan bersentuhan langsung
dengan DPR tentunya akan lancer dengan dukungan awal minimal 20% kursi
tersebut. Muara dari threshold tersebut
akan mendukung terwujudnya pembangunnan yang berkesinambungan melalui system
pemerintahan presidensial yang lebih efektif dan stabil.[29]
4.
Bentuk Prubahan Makna Ketentuan Pasal 6A Ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam penelitian ini,
permasalahan utama dalam kajian adalah adanya perubahan makna terhadap
ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang menyatakan “Pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” jika
disandingkan dengan ketentuan Pasal 9Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presidenyang menyatakan bahwa:
Pasangan Calon diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presidden dan Wakil
Presiden.
Secara definitif, pengertian dari kata perubahan dapat ditelusuri dari
kata dasarnya “ubah” Memiliki arti etimologis sebagai 1) menjadi lain (berbeda) dari semula;2) bertukar
(beralih, berganti) menjadi sesuatu yang lain;3) berganti (tentang arah).[30] Sementara,
ketika mendapat imbuhan pe-an (perubahan), memiliki makna sebagai,[31] hal (keadaan)
berubah; peralihan; pertukaran. sementara, kata “makna” secara etimologis
memiliki pengertian sebagai 1)
arti; 2) maksud pembicara atau
penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.[32]
Perubahan makna, dapat
diartikan sebagai berubahnyapengertian yang diberikan kepada suatu bentuk
kebahasaan, dalam hal ini norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 apabila
disandingkan dengan ketentuan Pasal 9 undang-undang pemilu presiden. Dalam
perubahan ini, bentuknya berupa penyempitan makna asal. Inilah yang akan
dibuktikan pada pembahasan selanjutnya, yang dimulai dari tinjauan atas
pendelegasian pengaturan dari undang-undang dasar kepada undang-undang terkait
ketentuan norma tersebut, serta akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
a.
Pendelegasian Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden
Pengaturan terkait pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan
konsekuensi legal dari ketentuan undang-undang dasar, dari sisi syarat-syarat
personal seseorang untuk dapat menjadi presiden ataupun wakil presiden dinaungi
oleh ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945. Sementara itu, terkait tata cara
pemilihannya diwajibkan oleh undang-undang dasar untuk dimaktubkan kedalam
ketentuan undang-undang khusus, hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 6A ayat
(5) UUD NRI 1945.
Telah diklasifikasikan secara tegas oleh undang-undang dasar, bahwa
ketentuan syarat personal dan syarat pengusulan calon oleh partai politik
maupun gabungan partai politik adalah berbeda, namun tetap dalam bingkai
pengaturan dalam suatu undang-undang. Apabila dicermati secara seksama, ketika
berbicara perihal syarat personal calon presiden maupun wakil presiden,
pendelegasian pengaturan berbunyi “Syarat-syarat
untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan
undang-undang” sementara itu terkait Syarat Pencalonan dinyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Dalam artian bahwa
ketentuan syarat personal seseorang untuk menjadi calon Presiden maupun
Wakilnya bersifat openend policy,
sementara terkait pengusulan calon oleh partai politik maupun gabungan partai
politik bersifat closed policy.
Hal ini akan sangat berpengaruh dalam kebijakan hukum (legal policy) yang membatasi legislator
dalam membentuk undang-undang tersebut. Ketentuan Passal 6 ayat (2), utamanya
melalui frasa “dengan undang-undang”
membuka ruang untuk menambah syarat personal untuk menjadi Presiden maupun
Wakilnya, hal ini ditunjukkan dengan tambahan kewajiban seorang calon memiliki
umur minimal 40 tahun, serta pendidikan minimal SMA sederajat, dan lainnya,
sebagaimana diatur oleh undang-undang pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden. Ini terlihat dengan dikembangkan (penambahan) syarat personal untuk
menjadi Presiden maupun Wakilnya, melaui ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Lain halnya dengan pengaturan tata cara pencalonan, frasa “tata cara” dan “dalam undang-undang” memiliki konsekuensi bahwa ketentuan
undang-undang hanya sekedar bersifat teknis dan tertutup kemungkinan untuk
menambahkan syarat lain selain yag telah ditentukan oleh UUD NRI 1945.[33] Namun
berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ditambahkan syarat
….peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden.
Ketentuan tersebut tidak lagi menjadi pengaturan “teknis”,
namun telah menambahkan syarat pencaloan berupa ambang batas (threshold) terhadap pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden.
b.
Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang uji materil
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya terhadap ketentuan Pasal 9 undang-undang pemilu
presiden yang menambahkan ketentuan
syarat pencalonan presiden dan wakilnya dengan ambang batas perolehan kursi di
DPR sebanyak 20% atau memperoleh suara sah nasional sebanyak 25% bagi partai
politik maupun gabungan partai politik. Memberikan legitimasi Presidential Threshold dalam pemilihan
umum presiden.
Dalam putusannya ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 9
undang-undang tersebut konstitusional, dalam artian membenarkan penambahan Presidential Threshold tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan dalam konteks kehadiran Pasal 6A ayat (2) UUD NRI
1945 sebelumnya, tidak seperti ketentuan Pasal 6, yang sengaja diberikan kepada
undang-undang untuk memberikan pembatasan tambahan. Hadirnya ketentuan
pengajuan paket calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik maupun
gabungannya dengan syarat sebagai peserta pemilu adalah pendapat bersama MPR
diwaktu tersebut. Tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang
menyinggung masalah ambang batas (presidential
threshold).
Adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 konstitusional adalah sebagai berikut:[34]
1.
Materi
muatan Pasal 9 UU 42/2008 tidak benar merupakan materi muatan UUD 1945, karena
merupakan satu norma konkret yang merupakan penjabaran Pasal 6A yat (2) UUD
1945. Kebijakan syarat perolehan suara 20% (dua puluh perseratus) dari kursi
DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) perolehan suara sah nasional dalam
Pemilu DPR, sebagaimana telah menjadi pendapat Mahkamah dalam putusan-putusan
terdahulu, merupakan kebijakan hukum (legal
policy) yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945
yang menentukan, ”Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
lebih lanjut diatur dalam undang-undang”, dan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang
menentukan, ”Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang”.
2.
Mahkamah
juga tidak sependapat dengan pendapat ahli Philipus M. Hadjon yang menyatakan
bahwa Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 tidak memperkenankan pembuat undang-undang
untuk menambah syarat ambang batas, karena menurut ahli tersebut, delegasi
wewenang hanya menyangkut tata cara pemilihan umum. Mahkamah berpendapat tata
cara sebagai prosedur Pemilihan Presiden/Wakil Presiden dikaitkan dengan Pasal
22E ayat (6) UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam
pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD
1945.
3.
Syarat
dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua
puluh perseratus) kursi di DPR atau 25% (dua puluh ima perseratus) suara sah
nasional sebelum pemilihan umum Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan
awal; sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, terhadap Calon Presiden dan WakilPresiden yang
kelak akan menjadi Pemerintah sejak awal pencalonannya telah didukung oleh
rakyat melalui partai politik yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui
Pemilu
Namun, terhadap putusan tersebut, dari 8 (delapan) orang hakim konstitusi
yang mengikuti rapat permusyawaratan hakim, terdapat 3 (tiga) hakim konstitusi
yang tidak sependapat dengan putusan tersebut, dan dituangkan kedalam pendapat
berbeda (dissenting opinion), yaitu
Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar, menurut mereka,
apabila mahkamah konsisten dengan pendapatnya dalam putusan perkara-perkara
sebelumnya dalam penafsiran konstitusi (constitutional
interpretation) yang cenderung lebih menekankan pada tafsir tekstual dan original intent, maka permohonan para
pemohon tersebut akan dikabulkan, karena dengan cara penafsiran tekstual dan original intent, bahkan juga dengan
penafsiran sistematik atas Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI
1945 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 9 undang-undang pemilu presiden.
Menurut pandangan mereka, para pembentuk undang-undang dasar sejatinya
mengamanahkan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu serta tidak memberi peluang
bagi pembentuk undang-undang untuk membuat kebijakan hukum (legal policy) dengan “akal-akalan” yang
terkontaminasi motif politik ad hoc
menentukan “presidential threshold”. Alasan
penggunaan Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Tata cara pelaksanaan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang” sebagai manifestasi mandat undang-undang dasar kepada
pembentuk undang-undang dapat membuat syarat “threshold” tidak tepat, karena norma syarat telah diatur terlebih
dahulu oleh ketentuan Pasal 6 undang-undang dasar ini.
Begitu juga dengan argumentasi bahwa presidential
threshold dimaksudkan agar calon Presiden dan Wakil Presiden mempunyai
basis dukungan rakyat yang kuat dan luas, terkait keterpilihan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang harus meraih suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemiludengan sedikitnya 20% (dua puluh persen)
suara di setiap provinsi yang tersebar di sedikitnya setengah jumlah provinsi
di Indonesia. Pemilihan Umum Presiden di Tahun 2004 membuktikan sebaliknya,
dalam hal ini tidak singkronnya pemilihan Presiden dengan Pemilihan Anggota DPR
dengan menangnya Calon Presiden dan Wakil Presiden dari Partai yang bukan pemenang
mutlak pemilu parlemen.
Pendapat berbeda dari beberapa hakim konstitusi inilah yang membuktikan
bahwa secara tafsir hukum statis (original
intent dan sistematis) ketentuan ambang batas tersebut tidak sesuai dengan
Pasal 6A ayat (2), namun secara kelembagaan, Mahkamah Konstitusi menyatakan presidential threshold tersebut
konstitusional, karena menggunakan tafsir hukum dinamis
Berdasarkan uraian yang telah disajikan sebelumnya pada artikel ini,
kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1)
Latar
belakang perumusan ketentuan pengajuan paket calon Presiden dan Wakil Presiden
oleh partai politik maupun gabungannya dengan syarat sebagai peserta pemilu
adalah pendapat bersama MPR ketika perubahan undang-undang dasar dilakukan,
karena berdasarkan risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya, dan ayat
(2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang menyinggung
masalah ambang batas (presidential
threshold). Ditambah dengan ketentuan ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci
rapat penambahan prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal
yang pada pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk
memberikan batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI
1945 berdasarkan Pasal 6 ayat (2).
2)
Latar
belakang perumusan ketentuan Presidential
Threshold pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut DPR didasari oleh urgensi penyaringan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki basis dukungan yang
kuat dari rakyat, angka 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional bertujuan
agar dapat tercapainya fungsi pemerintahan Negara yang efektif, begitu pula
dengan pemerintah, dalam pertimbangannya menyetujui hadirnya syarat jumlah
kursi ataupun suara sah nasional suatu partai politik maupun gabungan partai
politik demi menjaga efektifitas pemerintahan yang berjalan, selain itu juga
mendasarkan pengaturan ambang batas tersebut berdasarkan alinea IV Pembukaan
UUD NRI 1945 yang mengamanatkan pembangunan nasional sebagai salah satu tujuan
bernegara. Pada prinsipnya, pembahasan program dan anggaran yang merupakan
kewenangan yang akan bersentuhan langsung dengan DPR tentunya akan lancar
dengan dukungan awal minimal 20% kursi tersebut. Muara dari threshold tersebut akan mendukung
terwujudnya pembangunnan yang berkesinambungan melalui system pemerintahan
presidensial yang lebih efektif dan stabil.
3)
Telah
terjadi perubahan makna, dalam hal ini berbentuk penyempitan terhadap ketentuan
normatif Pasal 6A ayat (2) terkait pencalonan Presiden dan Wakilnya oleh partai
politik maupun gabungannya yang merupakan peserta pemilu parlemen di periode
pemilu yang sama, hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008, khususnya amar yang menyatakan Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan undang-undang dasar, karena
memandang kebijakan hukum (legal policy)
ambang batas pada pemilu Presiden (presidential
threshold) konstitusional mengunakan tafsir hukum dinamis.
SARAN
Setelah merangkum kajian yang telah dibahas dalam kesimpulan
di atas, penulis menyarankan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk segera
melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini bertujuan untuk mempertegas
ketentuan syarat pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, apakah
menggunakan ketentuan ambang batas ataupun tidak, demi terciptanya kepastian
hukum karena secara tafsir sistematis ataupun original intent ketentuan ambang batas sebagaimana diatur oleh
Pasal 9 Udang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden tidak mendapat pijakan yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, 2007,
Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Konstitusi Pers.
Fatmawati, “Peranan
Mahkamah Konstitusi dalam Membangun Kesadaran Berkonstitusi”, Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, Volume I Nomor 1, November 2010
Pusat Bahasa,2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saldi Isra,
“Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”,http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5,
diunduh 27 Januari 2013.
Peraturan Perundang-undangan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno
Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara
Pengangkatan Pejabat Presiden.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan Mprs Nomor IX/MPRS/1966
Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1973
Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/1999
Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1983
tentang referendum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 Tentang
Referendum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[1] Lihat Fatmawati, “Peranan
Mahkamah Konstitusi dalam Membangun Kesadaran Berkonstitusi”, Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, Volume I Nomor 1, November 2010, h.92.
[2] Tiga Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia
adalah UUD 1945 sebelum perubahan, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah
perubahan. Walaupun secara substansi UUD 1945 dapat dikatakan baru, namun tetap
merupakan perubahan UUD 1945 yang asli berdasarkan lampiran Dekrit Presiden 5
Juli 1959, sehingga secara formal terdapat tiga (tiga) Undang-Undang Dasar yang
pernah dan masih berlaku di Indonesia. Naskah resmi UUD NRI 1945 itu sendiri
menurut Jimly Asshidiqie ada lima, yakni :
1.
Naskah UUD 1945 yang
diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959
2.
Lampiran 1 berupa
naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang disahkan pada tahun 1999
3.
Lampiran 2 berupa
naskah Perubahan Kedua UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2000
4.
Lampiran 3 berupa
naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001
5.
Lampiran 4 berupa
naskah Perubahan Keempat UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2002.
Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007, h. 98.
[3] Penulis sependapat
dengan Mahfud MD yang menyatakan bahwa UUD 1945 diubah secara formal sebanyak 1
(satu) kali, dimana terdapat 4 (empat) tahapan dalam proses perubahan tersebut.
Hal ini didasari pada ke empat sidang MPR tidak ada satupun yang saling tumpang
tindih dalam melakukan perubahannya, melainkan secara bertahap. Lebih lanjut
pada : Moh Mahfud MD, “Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945”,
Pada Seminar Sehari Meninjau Kembali
Prospek dan Agenda Perubahan UUD Republik Indonesia 1945 yang diselengarakan oleh Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas
Indonesia, 21 November 2007. h. 6.
[4] Dari sistem division of powers menjadi separations of powers, serta memunculkan
lembaga baru semisal MK dan KY, menghapus DPA, serta perubahan signifikan
lainnya terkait pembatasan kekuasaan (semisal presiden hanya boleh diangkat
maksimal dua kali).
[5] Lihat bagian pendapat
berbeda (disenting opinion) Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, oleh 3 (tiga) hakim konstitusi,
yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mocthar.
[6] Hal ini mengacu pada
ketentuan Passal 6 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara yang terbanyak” namun mengingat pada Praktek sebelum
Konstitusi Republik Indonesia Serikat berlaku, hal ini tidak dapat dilakukan,
karena MPR belum terbentuk, dan pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden
hanya melalui rapat pengesahan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, selain itu, praktek ketatanegaraan dari
Presidensial menjadi Parlementer berdasarkan Maklumat Nomor X Wakil Presiden
Republik Indonesia.
[7] Terkait syarat personal
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 1 TAP MPR
Nomor II/MPR/1973 ialah orang Indonesia asli dan harus memenuhi syarat antara
lain : a. Warga Negara Indonesia; b. Telah berusia 40 tahun; c. Bukan orang
yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum; d. Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa; e. Setia kepada Cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945, PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945; f. Bersedia menjalankan Haluan
Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis dan
putusan-putusan Majelis; g. Berwibawa; h. Jujur; i. Cakap; j. Adil; k. Dukungan
dari Rakyat yang tercermin dalam majelis; l. Tidak pernah terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA dan Undang -Undang Dasar
1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang lainnya; m.
Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat
dirubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5
tahun; n. Tidak terganggu jiwa/ingatannya.
Sementara itu, terkait
syarat pencalonan, diatur oleh ketentuan Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Calon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara
tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan
Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.”
Dalam hal ini apabila calon hanya satu, maka MPR langsung mengesahkannya
sebagai Presiden melalui Rapat Paripurna (Pasal 13 ayat (2)). Salah satu poin
yang menjadi catatan adalah ketentuan yang mengharuskan pemilihan dilakukan
secara tertutup apabila terdapat lebih dari 1 (satu) calon Presiden, Terkait
Wakil Presiden, prosedur pemilihannya sama dengan Presiden, namun ditambahkan
syarat mampu bekerjasama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 2 ayat (1) aturan
ini.
[8] Saldi Isra, “Perkembangan
Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5,
diunduh 27 Januari 2013.
[9] Gerakan Reformasi
mengajukan 4 tuntutan, yakni (a) Amandemen UUD 1945, (b) Berantas praktek
Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (c) Cabut paket 5 UU Politik yang dipandang
menghambat perkembangan demokrasi, dan (d) Cabut Dwifungsi ABRI, sehingga dapat
disimpulkan bahwa amandemen (perubahan) UUD 1945 merupakan salah satu karya
langsung reformasi 1998.
[10] Pada risalah sidang pembentukan
UUD NRI 1945, digunakan istilah ‘pengisian masa jabatan’ sebagai pokok bahasan
pembentukan Pasal 6A UUD NRI 1945, lebih lanjut dapat dilihat pada : Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta:
Konstitusi Pers, 2010, h. 219
[11] Pada rapat ke-1 PAH III
BP MPR, 7 Oktober 1999, Ibid, h 156
[12] Pada rapat ke-3 PAH I BP
MPR, 6 Desember 1999, Ibid, h 164
[13] Terkait perubahan
ketentuan Pasal Perubahan Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C,
Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan (3) UUD 1945, Ibid, h 6
[14] Perubahan Pasal 6A Ayat
(4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal Pasal 11 Ayat (1), dan Pasal 16 UUD 1945
[15] Dalam hal ini dipilih
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ataupun melalui lembaga tersendiri yang
dipilih melalui pemilu khusus.
[16] Ibid, h. 165
[22] Dalam pembahasan di MPR,
istilah yang muncul terkait tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
adalah “Pengisian Jabatan” Ibid, h.
219
[24] Terkait syarat personal
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 1 TAP MPR
Nomor II/MPR/1973 ialah orang Indonesia asli dan harus memenuhi syarat antara
lain : a. Warga Negara Indonesia; b. Telah berusia 40 tahun; c. Bukan orang
yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum; d. Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa; e. Setia kepada Cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945, PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945; f. Bersedia menjalankan Haluan
Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis dan
putusan-putusan Majelis; g. Berwibawa; h. Jujur; i. Cakap; j. Adil; k. Dukungan
dari Rakyat yang tercermin dalam majelis; l. Tidak pernah terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang -Undang Dasar
1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang lainnya; m.
Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat
dirubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5
tahun; n. Tidak terganggu jiwa/ingatannya.
Sementara itu, terkait
syarat pencalonan, diatur oleh ketentuan Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Calon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara
tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan
Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.”
Dalam hal ini apabila calon hanya satu, maka MPR langsung mengesahkannya
sebagai Presiden melalui Rapat Paripurna (Pasal 13 ayat (2)). Salah satu poin
yang menjadi catatan adalah ketentuan yang mengharuskan pemilihan dilakukan
secara tertutup apabila terdapat lebih dari 1 (satu) calon Presiden.
Terkait Wakil Presiden,
prosedur pemilihannya sama dengan Presiden, namun ditambahkan syarat mampu
bekerjasama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 2 ayat (1) aturan ini.
[25] Saldi Isra, “Perkembangan
Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5,
diunduh 27 Januari 2013.
[26] Pasal 5 Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.
[27] Lihat Ketentuan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.
[28] Lihat bagian keterangan
Dewan Perwakilan Rakyat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
terkait pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
[29] Lihat bagian keterangan
pemerintah, pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 terkait
pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[30] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 1576.
[33] Lihat keterangan Prof.
Dr. Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa : Pertama adalah sisi substansial. Kedua adalah sisi teknis pendelegasian. Dari sisi substansi, kalau
menambah syarat baru berupa ambang batas terhadap Pasal 6A ayat (2), perlu
dicermatibahwa wewenang yangdiberikan kepada pembentuk undang-undang melalui
Pasal 6A ayat (5) adalah mengatur tata cara pemilihan. Sedangkan yang diatur
dalam Pasal 6A ayat (2) itu jelas dikatakan, sebelum pelaksanaan pemlihan umum.
Dengan demikian, pembentuk undang-undang tidak berwenang untukmenambah syarat
baru berupa ambang batas terhadap Pasal 6A ayat (2); Dari teknis pendelegasian
wewenang, Pasal 6A ayat (5) itu diatur “di dalam” Undang-Undang. Kalau
pendelegasian wewenang, hukum kita menggunakan dua istilah baku, “dengan”
Undang-Undang, atau dengan huruflain, “dengan atau berdasarkan” Undang-Undang,
memiliki makna berbeda. Kalau “dengan” Undang-Undang itu berarti tidak boleh
diatur dengan peraturan lain. Undang-Undang tidak boleh didelegasikan. Kalau
dengan rumus “dengan atau berdasarkan” Undang-Undang, berarti boleh
disubdelegasikan;
Pasal 6 ayat (5) UUD 1945
itu menyatakan: “di dalam undang-undang”, bukan “dengan undang-undang”.
Cobadibandingkan dengan Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan: syarat-syarat
Presiden dan calon Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Dengan menggunakan istilah baku di dalam undang-undang ini berarti tidak
diberikan delegasi untuk mengatur hal-hal yang sifatnya prinsipil. Dengan
demikian, ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 tidak mendelegasikan kepada
pembentuk Undang-Undang untuk menambah syarat baru berupa penambahan ketentuan
ambang batas. Dari sisi ini, ahli mengatakan ketentuan Pasal 9 UU Pilpres
inkonstitusional karena dilakukan tanpa wewenang, onbevoegd,atau ultra vires;
Lebih lanjut dapat
dilihat di Keterangan Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
[34] Lebih lanjut dapat
dilihat pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
Komentar
Posting Komentar