Perubahan Makna Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Ini adalah artikel saya yang dimuat di Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Edisi Desember 2013.

untuk edisi PDF, dapat diunduh disini 
Ziffany Firdinal
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Lantai II Dekanat Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kampus Limau Manih, Padang
Email: ziffan@pusako.or.id

Abstrak
Artikel ini menelaah perubahan makna terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terkait syarat pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden melalui suatu partai politik maupun gabungannya yang merupakan peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Pada ketentuan lebih lanjut, tepatnya Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diberikan tambahan syarat partai politik maupun gabunganya tersebut mendapatkan perolehan suara sah nasional minimal 20% pada pemilihan umum atau memiliki minimal 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, yang secara konseptual dikenal sebagai presidential threshold. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, ketentuan pencalonan pada tingkat undang-undang tersebut dinyatakan konstitusional, dengan catatan, bahwa terdapat beberapa pendapat berbeda dari hakim konstitusi yang mengadili uji materil norma undang-undang tersebut. Hasil kajian yang didapat adalah telah terjadi perubahan makna, dalam hal ini berbentuk penyempitan terhadap ketentuan normatif Pasal 6A ayat (2), diakibatkan oleh ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Untuk memberikan kepastian hukum terkait perubahan makna ini, diperlukan perubahan terhadap Pasal 6A ayat (2) untuk mempertegas ketentuan ambang batas pada pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dalam hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ataupun tidak.
Kata Kunci: Perubahan Konstitusi, Presidential, Pemilihan Umum

This article examines the changes in the meaning of Article 6A paragraph (2) of the Indonesian 1945 Constitution, related to the requirements for nominating Presidential and Vice Presidential candidates by a political party or an alliance of parties contesting in the parliamentary election prior to the Presidential election. Further provisions termed more precisely in Article 9 of Law No. 42 of 2008 on Presidential and Vice Presidential Election; some additional requirement that political parties or alliance of parties gain valid votes of at least 20% of total votes nationally or a minimum 25% of seats in the House of Representatives, which is conceptually known as ‘presidential threshold’. Based on the Constitutional Court Verdict No. 51-52-59/PUU-VI/2008, provisions on the candidacy at the Act level were declared constitutional with some terms, that there are some dissenting opinions among judges who adjudicated the constitutional norms during the judicial review of the Act. Examination results obtained is that there have been change in meaning, in this case,  takes a form of narrowing of meaning of the normative provisions of Article 6A paragraph (2) in a consequence to the provisions set in Article 9 of Law No. 42 of 2008. In order to provide legal certainty associated to the narrowing of this provision’s meaning, an ammendment is required to Section 6A paragraph (2) to reinforce the measures in the Presidential and Vice Presidential candidate nomination, in this case in line with the Constitutional Court verdict on judicial review of Article 9 of Law No. 42 of 2008 on Election of President and Vice-President or not.
Keyword: Change of Meaning in Constitution, Presidential, General Election

PENDAHULUAN
Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam sebuah negara (supreme law of the land),[1] secara teoritis, suatu undang-undang dasar merupakan kontrak sosial dari rakyat pada suatu negara. Sebagai sebuah kontrak sosial, konstitusi harus dijunjung tinggi sebagai landasan kebijakan negara. Indonesia sendiri telah memiliki kontrak sosial berupa Undang-Undang Dasar Negara yang apabila diperiodisasikan dapat diklasifikasikan kepada 4 (empat) periode, yakni semenjak digunakannya Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), lalu Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, dan berlaku kembalinya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun secara umum, terdapat 3 (tiga) undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia.[2]
Pada masa berlakunya UUD 1945, terjadi perubahan terkait isi dari undang-undang dasar tersebut, yakni pada Tahun 1999 hingga 2002. Perubahan mendasar tersebut berlangsung selama 4 (empat) tahapan,[3] serta menyebabkan perubahan struktur ketatanegaraan secara signifikan,[4] dengan nama resmi baru Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Termasuk pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang tertuang pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Dari sisi tekstual, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 6A ayat (2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUD NRI 1945 memberikan ruang kepada partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta pemilihan umum. Namun pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya melalui ketentuan Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa :
Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Selain melalui ketentuan Pasal 5 ayat (4) tersebut, dalam aturan peralihan di undang-undang yang sama Pasal 101, khusus untuk pemilihan umum tahun 2004, cukup dengan syarat pencalonan 3% (tiga persen) suara sah nasional, ataupun memperoleh 5% (lima persen) kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak jauh berbeda, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (undang-undang pemilu presiden) yang menjadi payung hukum baru, memberikan ketentuan yang sama, bahkan lebih besar untuk syarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden melalui Pasal 9 yang menyatakan bahwa:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ketentuan dalam undang-undang pemilu presiden tersebut, secara langsung menambah syarat pada prosedur pencalonan bagi presiden dan wakil presiden, karena pada dasarnya, jika ditinjau dari sisi ketentuan UUD NRI 1945, pencalonan cukup dilakukan oleh partai politik peserta pemilihan umum. Terlebih jika dilihat pada ketentuan yang juga mendasari hadirnya undang-undang tersebut, yakni ketentuan pada Pasal 6A ayat (5) yang menyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.” Ketentuan pengaturan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil Presiden tersebut oleh UUD NRI 1945 sebenarnya menutup kemungkinan proses legislasi menambah syarat pencalonan, khususnya pembatasan dengan syarat kemenangan dan perolehan kursi tersentu di DPR bagi partai politik maupun gabungannya dalam mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Terhadap pembatasan tersebut, kita dapat mendalaminya dengan mengacu pada perdebatan sengit ketika pembahasan Pasal 6A, fokus arah permasalahan hanya pada ketentuan ayat (3) yang mengisyaratkan mayoritas suara dari rakyat untuk memenangkan Pemilihan Presiden. Dalam risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya, dan ayat (2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang menyinggung masalah ambang batas (presidential threshold). Terlebih ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk memberikan batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI 1945.
Terkait dengan ketentuan undang-undang yang merubah makna Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut, telah dilakukan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan kewenangannya, lembaga tersebut menyatakan bahwa ketentuan Pasal 9 Undang-Undang 42 Tahun 2008 tersebut konstitusional. Walaupun terdapat pendapat berbeda di dalam Majelis Hakim Konstitusi yang memutus perkara tersebut.[5]
Beberapa hal tersebutlah yang melatar belakangi ketertarikan penulis mengkaji perihal perubahan makna Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, khususnya terhadap ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam artikel ini.
PEMBAHASAN
1.      Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 (Dekrit Presiden 1959-1999)
Pada dasarnya, pengaturan pemilihan preiden dan wakil presiden pada UUD 1945 pasca dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, secara normatif konstitusi tetap sama dengan periode sebelumnya,[6] dalam hal ini dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak, pengaturan lebih lanjut terkait hal ini selanjutnya didelegasikan kedalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Sementara Republik Indonesia (TAP MPR/S).
Pada periode berlakunya UUD 1945 setelah dekrit presiden, sepat dideklarasikannya Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS, yakni melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Selanjutnya dinamika sosial politik di Indonesia yang begejolak sejak peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia, melaui gerakan G.30.S/PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia) yang menyebabkan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar).
MPR sendiri memperkuat posisi supersemar dengan mengeluarkan TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang isinya antara lain memberikan daya laku surat perintah terhadap Soeharto hingga pemilihan umum MPR terlaksana.
Selain memperkuat daya laku supersemar, MPRS juga meniadakan pemilihan wakil presiden dan memberikan mandat kepada Soeharto (pemegang supersemar) sebagai pemegang jabatan apabila presiden berhalangan, dilakukan melalui TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Pada akhirnya, MPRS mengangkat Soeharto menjadi Presiden berdasarkan TAP MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRSNomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pengaturan terhadap pemilihan presiden dan wakil presiden sendiri baru ditetapkan oleh MPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1971, melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturannya, dijelaskan secara rinci syarat personal untuk menjadi presiden dan wakil presiden, serta juga dijelaskan prosedur pencalonan presiden dan wakil presiden oleh fraksi ataupun gabungan fraksi.[7]
Setelah reformasi bergulir ditahun 1999, pasca lengsernya Soeharto (pengunduran diri) di tahun 1998, tepatnya setelah pemilihan umum tahun 1999, MPR hasil pemilu tersebut menetapkan aturan baru terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturan baru ini, terdapat 2 (dua) hal yang berubah, yakni terkait dapat dicalonkannya seorang Presiden dengan kuota minimal 70 orang anggota MPR dan ditiadakannya ketentuan “mampu bekerja sama” antara Presiden dan Wakil Presiden.[8]
2.      Latar Belakang Perumusan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketentuan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dinyatakan oleh Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 dilandasi oleh semangat reformasi yang salah satu butir tuntutannya adalah perubahan undang-udang dasar.[9] Terkait pembahasannya sendiri, ketentuan pengusulan calon (pengisian jabatan)[10] presiden dan wakil presiden, sejatinya telah dimulai semenjak periode pertama perubahan undang-undang dasar, yakni pada tahun 1999,[11] dan di periode kedua di tahun 2000,[12] namun pada kedua periode tersebut tidak tercapai kata sepakat atas usulan perubahan yang akan disahkan.
Pada tahapan ketiga perubahan undang-undang dasar-lah beberapa ketentuan Pasal 6A diakomodir untuk disahkan, khususnya terkait ketentuan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan langsung oleh rakyat. Sementara terkait pemberhentian Presiden maupun Wakil Presiden dan mekanismenya, larangan Presiden untuk membubarkan serta membekukan DPR, Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya serta pemilihan Wakil Presiden, dan kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian internasional.[13]
Rumusan baru terkait dengan putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pelaksana tugas kepresidenan apabila Presiden dan Wakil Presiden berhalangan secara bersamaan, kekuasaan Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dan pembentukan dewan pertimbangan Presiden, baru berhasil disetujui MPR pada tahapan perubahan terakhir (keempat) UUD NRI 1945.[14]
Dalam pembahasan perubahan undang-undang dasar, khususnya terkait tata cata pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, tidak terlepas dari perdebatan awal, apakah sistem pemilihan yang dianut langsung atau tidak langsung,[15] selain itu, perdebatan yang muncul terkait ketentuan Pemilihan Umum Presiden dan Wakilnya diwarnai pro kontra terkait syarat personal seseorang untuk menjadi pimpinan Negara ini.[16]
Terkait prasyarat personal, secara original intent memang sengaja diberikan kewenangan pada undang-undang untuk merincinya, hal ini tergambar jelas dari perdebatan prasyarat personal calon Presiden maupun Wakilnya sebagai berikut:
Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat memberian usulan terhadap materi Pasal 6 undang-undang dasar, yakni:
Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.[17]
Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP sendiri memberikan keterangan:
….Oleh karenanya kami mengusulkan untuk Pasal 6 ini mungkin usulan hasil yang telah dirumuskan oleh BadanPekerja ini bisa kita sepakati menjadi Ayat (1). Tapi Ayat (2) perlu ada tambahan bahwa persyaratan bagi seorang Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang, karena sekarang ini pun sedang disiapkan tentang lembaga Kepresidenan, biarlah nanti itu diatur di sana yang jelas mengenai persyaratan ini[18]


Andi Najmi Fuady yang mewakili F-KB menyatakan:
Jadi konstitusi hanya mensyaratkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden itu orang Indonesia yang nanti redaksinya bisa kita sempurnakan. Kemudian ada ayat berikutnya, ‘syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam undang-undang’[19]
Selanjutnya dapat dilihat pula berdasarkan pendapat Afandi dari F-TNI/Polri:
…. Saya berpendapat bahwa untuk syarat ini ada dua hal yang penting yang satu adalah syarat status yang amat penting itu sudah disebutkan pada kewarganegaraan. Kemudian syarat yang kedua adalah syarat keadaan diri. Untuk itu maka kami berpendapat bahwa untuk Pasal 6 ini ada dua hal, satu syarat status, syarat status sebagaimana yang tertuang di dalam rancangan perubahan pada Pasal 6 oleh BP, “Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri”, ini menjadi Ayat (1) Pasal 6.
Kemudian untuk Ayat (2)-nya adalah “Syarat-syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang”, begitu saja. Alasannya sebagai berikut yang pertama seperti pemahaman kami ini bahwa untuk Pasal 6 ini adalah syarat-syarat ada dua hal tadi, syarat status, syarat keadaan diri. Kemudian syarat satu sangat penting dipisahkan tersendiri. Kemudian syarat-syarat keadaan diri secara lengkap itu diatur dengan undang-undang, agar bisa lebih teliti, lebih luwes, lengkap, utuh, terpadu.
Apabila kelak kemudian hari kemungkinan di dalam dinamika ada perubahan misalnya tentang umur tadi dengan kemajuan kita mungkin barangkali sedini mungkin orang itu dimungkinkan untuk mendapat pengalaman maturitas yang tinggi, mungkin lebih dini lagi, atau mungkin mortalitasnya makin panjang, umur makin panjang juga, usia efektif makin makmur. Ini perubahan akan lebih mudah apabila ditingkat undang- undang, bukan di Undang-Undang Dasar, akan lebih luwes….[20]
Akhirnya Rapat Paripurna ke-7 (lanjutan-2) ST MPR, 9 November 2001 yang dipimpin oleh M. Amien Rais memutuskan perubahan Pasal 6 undang-undang dasar sesuai persetusuan Komisi A MPR, yakni:
Pasal 6
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[21]
Dalam pembahasan mengenai lembaga kepresidenan, sangat jelas dipisahkan antara pengaturan terhadap syarat personal dan tata cara pemilihan[22] Presiden maupun Wakilnya. Hal ini terlihat dari rumusan Badan Pekerja MPR yang memisahkan ketentuan Pasal 6 yang mengatur syarat personal dan Pasal 6A, begitupula dengan pembahasannya di MPR. Berkaitan dengan Pasal 6A, usulan Badan Pekerja MPR ditahapan perubahan ketiga adalah sebagai berikut:
Pasal 6A
Alternatif 1 Varian 1
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.
(2) Paket calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menetapkan dua paket yang mendapat suara terbanyak
(3) Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara elektoral terbanyak
(4) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang
Alternatif 1 Varian 2
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat
(2) Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara rakyat terbanyak
(3) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang
Alternatif 2 varian 1
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak dari pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden partai pemenang satu dan dua hasil pemilihan umum yang dilselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Alternatif 2 varian 2
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden ditetapkan dalam satu paket oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum
(2) Paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden
(3) Dalam hal tidak ada paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara maka dua paket calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak dan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perdebatan yang muncul pada mulanya terkait dipilih langsung oleh rakyat dengan melibatkan MPR atau tidak. Akhirnya semua fraksi mencapai kata sepakat soal pemilihan Presiden langsung, kemudian muncul alternatif-alternatif baru terhadap pasal 6A, melalui Ketua PAH I, Jakob Tobing, membacakan hasil pembahasan mengenai pemilihan Presiden, yakni:
Alternatif 1 :
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.
(2) Paket-paket calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan seuara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di masing-masing provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, disahkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4)
Alternatif 1:
Dalam hal ini tidak ada paket calonPresiden dan dan Wakil Presiden yang terpilih sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka dua paket calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan paket yang memperolehsuara terbanyak disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Alternatif 2 :
Dalam hal ini tidak ada paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka dua paket calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh rakyat secara langsung dan paket yang memperoleh suara terbanyak disahkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Alternatif II :
Pasal 6A
(1)Presiden dan Wakil Presiden dilipih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat.
(2)Paket calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menetapkan dua paket yang mendapat suara terbanyak.
(3) Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara elektoral terbanyak.
(4) Syarat-syarat dan tatacara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dengan undang-undang.
Pemisahan secara tegas mengenai syarat personal (Pasal 6) dan tata cara pencalonan (Pasal 6A) juga terlihat jelas melaui pandangan Slamet Effendy Yusuf dalam membahas alternatif baru ketentuan Pasal 6A, yakni:
….Oleh karena itu, kalau kita baca naskah yang dihasilkan oleh Badan Pekerja maka Pasal 6 itu adalah terutama berkaitan dengan mengenai Presiden atau Wakil Presiden atau calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Kemudian Pasal 6A adalah mengenai Tata Cara Pemilihan Presiden atau Wakil Presiden yang tadinya adalah Ayat (2) di Pasal 6.[23]
Pembahasan lanjutan yang diadakan pada Rapat Lobi Tim Perumus Komisi A MPR, 7 November 2001, selain membahas ketentuan norma PAsal 6A, juga dibahas ketentuan Pasal 6, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C dipimpin Jakob Tobing. Dalam Rapat Lobi Tim Perumus, pembahasan sudah langsung pada narasi norma yang disepakati. Hasil pembahasan terkait ketentuan norma Pasal 6A versi Komisi A MPR, adalah sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4)
Alternatif 1 :
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden danWakil Presiden yang terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Alternatif 2 :
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Dalam perdebatan akhir pembahasan Pasal 6A, fokus arah permasalahan hanya terletak kepada pilihan alternatif 1 dan 2 terkait tidak terpenuhinya ketentuan ayat (3) yang mengisyaratkan mayoritas suara dari rakyat untuk memenangkan Pemilihan Presiden. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketentuan pengajuan paket calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik maupun gabungannya dengan syarat sebagai peserta pemilu adalah pendapat bersama MPR diwaktu tersebut. Dalam risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya, dan ayat (2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang menyinggung masalah ambang batas (presidential threshold). Terlebih ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk memberikan batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI 1945.
3.      Latar Belakang Perumusan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Secara kontekstual, perumusan ketentuan Pasal 9 undang-undang pemilu presiden tidak lepas dari bayang-bayang pengaturan terdahulu. Dimulai dari pengaturan di tingkat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS), yakni TAP MPRS Nomor XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan /Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Selanjutnya, Pengaturan terhadap Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 1971, melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturannya, dijelaskan secara rinci syarat personal untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, serta juga dijelaskan prosedur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh fraksi ataupun gabungan fraksi.[24]
Setelah reformasi bergulir ditahun 1999, tepatnya setelah pemilihan umum tahun 1999, MPR hasil pemilu tersebut menetapkan aturan baru terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturan baru ini, terdapat 2 (dua) hal yang berubah, yakni terkait dapat dicalonkannya seorang Presiden dengan kuota minimal 70 orang anggota MPR dan ditiadakannya ketentuan “mampu bekerja sama” antara Presiden dan Wakil Presiden.[25] Selanjut dibawah payung Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pertama kali melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan terakhir Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam konsideran pertimbangan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 dikarenakan perlunya pembaharuan terhadap undang-undang pemilu presiden yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003, secara yuridis dinaungi oleh ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 20, dan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila dijabarkan lebih jauh, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pemenuhan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar dalam bingkai negara hukum, ini didasari oleh ketentuan BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara, khususnya terkait syarat calon dan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik, dan dalam hal ini pengaturannya dilakukan oleh suatu undang-undang yang merupakan produk legislasi antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam undang-undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden terdahulu (23/2003), terkait syarat ambang batas (Presidential Threshold) suatu partai politik, maupun gabungan partai politik untuk dapt mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden ialah sebanyak 15 % dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, atau 20% suara sah nasional atas kemenangan partai tersebut.[26] Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan 15% jumlah kursi DPR ditingkatkan menjadi 20%, begitu juga dengan 20% suara sah nasional yang menjadi 25%.[27]
Apabila ditilik lebih jauh perihal hadirnya ketentuan ambang batas ini di dalam ketentuan undang-undang pemilu presiden 2008, tidak lepas dari keinginan untuk membatasi pencalonan Presiden dan Wakilnya berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang” dalam hal ini Pemerintah (Presiden) dan DPR secara bersama mendapatkan kewenangan konstitusional untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam konteks ini dibentuknya undang-undang nomor 42 tahun 2008.
Argumentasi hadirnya ketentuan Presidential Threshold ini didasari oleh urgensi penyaringan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki basis dukungan yang kuat dari rakyat, angka 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional merupakan kesepakatan politik yang tercapai dari berbagai fraksi di parlemen, tujuannya adalah agar dapat tercapanya fungsi pemerintahan Negara yang efektif, karena tidak dapat dimungkiri, system presidensial yang efektif mewajibkan presiden memiliki basis suara di parlemen, karena pemerintahan Negara dalam perjalannya akan bersinggungan langsng dengan Dewan Perwakilan Rakyat, ini juga memperkecil resiko terjadinya divided government (pemerintahan yang terbelah) akibat persingungan antara presiden dan parlemen yang secara legitimasi sama-sama memperoleh kekuasaan dari rakyat dalam menjalankan pemerintahan.[28]
Senada dengan DPR, pemrintah juga dalam pertimbangannya menyetujui hadirnya syarat jumlah kursi ataupun suara sah nasional suatu partai politik maupun gabungan partai politik demi menjaga efektifitas pemerintahan yang berjalan. Hal ini diargumentasikan dengan seorang Presiden dan Wakilnya yang menang mutlak namun tidak memiliki political support di DPR. Selain itu, pemerintah juga berpandangan bahwa threshold yang ada tersebut merupakan basis dukungan awal dari pasangan calon Presiden dan Wakilnya dalam mencerminkan kedaulatan rakyat yang berifat representative (DPR/Partai Politik).
Pemerintah juga mendasarkan pengaturan ambang batas tersebut berdasarkan alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 yang mengamanatkan pembangunan nasional sebagai salah satu tujuan bernegara. Pada prinsipnya, pembahasan program dan anggaran yang merupakan kewenangan yang akan bersentuhan langsung dengan DPR tentunya akan lancer dengan dukungan awal minimal 20% kursi tersebut. Muara dari threshold tersebut akan mendukung terwujudnya pembangunnan yang berkesinambungan melalui system pemerintahan presidensial yang lebih efektif dan stabil.[29]
4.      Bentuk Prubahan Makna Ketentuan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam penelitian ini, permasalahan utama dalam kajian adalah adanya perubahan makna terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” jika disandingkan dengan ketentuan Pasal 9Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presidenyang menyatakan bahwa:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presidden dan Wakil Presiden.
Secara definitif, pengertian dari kata perubahan dapat ditelusuri dari kata dasarnya “ubah” Memiliki arti etimologis sebagai 1) menjadi lain (berbeda) dari semula;2) bertukar (beralih, berganti) menjadi sesuatu yang lain;3) berganti (tentang arah).[30] Sementara, ketika mendapat imbuhan pe-an (perubahan), memiliki makna sebagai,[31] hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran. sementara, kata “makna” secara etimologis memiliki pengertian sebagai 1) arti; 2) maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.[32]
Perubahan makna, dapat diartikan sebagai berubahnyapengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan, dalam hal ini norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 apabila disandingkan dengan ketentuan Pasal 9 undang-undang pemilu presiden. Dalam perubahan ini, bentuknya berupa penyempitan makna asal. Inilah yang akan dibuktikan pada pembahasan selanjutnya, yang dimulai dari tinjauan atas pendelegasian pengaturan dari undang-undang dasar kepada undang-undang terkait ketentuan norma tersebut, serta akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
a.      Pendelegasian Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
Pengaturan terkait pencalonan Presiden dan Wakil Presiden merupakan konsekuensi legal dari ketentuan undang-undang dasar, dari sisi syarat-syarat personal seseorang untuk dapat menjadi presiden ataupun wakil presiden dinaungi oleh ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945. Sementara itu, terkait tata cara pemilihannya diwajibkan oleh undang-undang dasar untuk dimaktubkan kedalam ketentuan undang-undang khusus, hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945.
Telah diklasifikasikan secara tegas oleh undang-undang dasar, bahwa ketentuan syarat personal dan syarat pengusulan calon oleh partai politik maupun gabungan partai politik adalah berbeda, namun tetap dalam bingkai pengaturan dalam suatu undang-undang. Apabila dicermati secara seksama, ketika berbicara perihal syarat personal calon presiden maupun wakil presiden, pendelegasian pengaturan berbunyi “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang” sementara itu terkait Syarat Pencalonan dinyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Dalam artian bahwa ketentuan syarat personal seseorang untuk menjadi calon Presiden maupun Wakilnya bersifat openend policy, sementara terkait pengusulan calon oleh partai politik maupun gabungan partai politik bersifat closed policy.
Hal ini akan sangat berpengaruh dalam kebijakan hukum (legal policy) yang membatasi legislator dalam membentuk undang-undang tersebut. Ketentuan Passal 6 ayat (2), utamanya melalui frasa “dengan undang-undang” membuka ruang untuk menambah syarat personal untuk menjadi Presiden maupun Wakilnya, hal ini ditunjukkan dengan tambahan kewajiban seorang calon memiliki umur minimal 40 tahun, serta pendidikan minimal SMA sederajat, dan lainnya, sebagaimana diatur oleh undang-undang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Ini terlihat dengan dikembangkan (penambahan) syarat personal untuk menjadi Presiden maupun Wakilnya, melaui ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Lain halnya dengan pengaturan tata cara pencalonan, frasa “tata cara” dan “dalam undang-undang” memiliki konsekuensi bahwa ketentuan undang-undang hanya sekedar bersifat teknis dan tertutup kemungkinan untuk menambahkan syarat lain selain yag telah ditentukan oleh UUD NRI 1945.[33] Namun berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ditambahkan syarat
….peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ketentuan tersebut tidak lagi menjadi pengaturan “teknis”, namun telah menambahkan syarat pencaloan berupa ambang batas (threshold) terhadap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
b.      Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang uji materil Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya terhadap ketentuan Pasal 9 undang-undang pemilu presiden  yang menambahkan ketentuan syarat pencalonan presiden dan wakilnya dengan ambang batas perolehan kursi di DPR sebanyak 20% atau memperoleh suara sah nasional sebanyak 25% bagi partai politik maupun gabungan partai politik. Memberikan legitimasi Presidential Threshold dalam pemilihan umum presiden.
Dalam putusannya ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 9 undang-undang tersebut konstitusional, dalam artian membenarkan penambahan Presidential Threshold tersebut. Sebagaimana telah diuraikan dalam konteks kehadiran Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 sebelumnya, tidak seperti ketentuan Pasal 6, yang sengaja diberikan kepada undang-undang untuk memberikan pembatasan tambahan. Hadirnya ketentuan pengajuan paket calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik maupun gabungannya dengan syarat sebagai peserta pemilu adalah pendapat bersama MPR diwaktu tersebut. Tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang menyinggung masalah ambang batas (presidential threshold).
Adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 konstitusional adalah sebagai berikut:[34]
1.      Materi muatan Pasal 9 UU 42/2008 tidak benar merupakan materi muatan UUD 1945, karena merupakan satu norma konkret yang merupakan penjabaran Pasal 6A yat (2) UUD 1945. Kebijakan syarat perolehan suara 20% (dua puluh perseratus) dari kursi DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR, sebagaimana telah menjadi pendapat Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu, merupakan kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menentukan, ”Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”, dan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang menentukan, ”Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”.
2.      Mahkamah juga tidak sependapat dengan pendapat ahli Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 tidak memperkenankan pembuat undang-undang untuk menambah syarat ambang batas, karena menurut ahli tersebut, delegasi wewenang hanya menyangkut tata cara pemilihan umum. Mahkamah berpendapat tata cara sebagai prosedur Pemilihan Presiden/Wakil Presiden dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945.
3.      Syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua puluh perseratus) kursi di DPR atau 25% (dua puluh ima perseratus) suara sah nasional sebelum pemilihan umum Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan awal; sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terhadap Calon Presiden dan WakilPresiden yang kelak akan menjadi Pemerintah sejak awal pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui partai politik yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu
Namun, terhadap putusan tersebut, dari 8 (delapan) orang hakim konstitusi yang mengikuti rapat permusyawaratan hakim, terdapat 3 (tiga) hakim konstitusi yang tidak sependapat dengan putusan tersebut, dan dituangkan kedalam pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar, menurut mereka, apabila mahkamah konsisten dengan pendapatnya dalam putusan perkara-perkara sebelumnya dalam penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) yang cenderung lebih menekankan pada tafsir tekstual dan original intent, maka permohonan para pemohon tersebut akan dikabulkan, karena dengan cara penafsiran tekstual dan original intent, bahkan juga dengan penafsiran sistematik atas Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjadi sumber legitimasi Pasal 9 undang-undang pemilu presiden.
Menurut pandangan mereka, para pembentuk undang-undang dasar sejatinya mengamanahkan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu serta tidak memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk membuat kebijakan hukum (legal policy) dengan “akal-akalan” yang terkontaminasi motif politik ad hoc menentukan “presidential threshold”. Alasan penggunaan Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Tata cara pelaksanaan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” sebagai manifestasi mandat undang-undang dasar kepada pembentuk undang-undang dapat membuat syarat “threshold” tidak tepat, karena norma syarat telah diatur terlebih dahulu oleh ketentuan Pasal 6 undang-undang dasar ini.
Begitu juga dengan argumentasi bahwa presidential threshold dimaksudkan agar calon Presiden dan Wakil Presiden mempunyai basis dukungan rakyat yang kuat dan luas, terkait keterpilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang harus meraih suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemiludengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di sedikitnya setengah jumlah provinsi di Indonesia. Pemilihan Umum Presiden di Tahun 2004 membuktikan sebaliknya, dalam hal ini tidak singkronnya pemilihan Presiden dengan Pemilihan Anggota DPR dengan menangnya Calon Presiden dan Wakil Presiden dari Partai yang bukan pemenang mutlak pemilu parlemen.
Pendapat berbeda dari beberapa hakim konstitusi inilah yang membuktikan bahwa secara tafsir hukum statis (original intent dan sistematis) ketentuan ambang batas tersebut tidak sesuai dengan Pasal 6A ayat (2), namun secara kelembagaan, Mahkamah Konstitusi menyatakan presidential threshold tersebut konstitusional, karena menggunakan tafsir hukum dinamis

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah disajikan sebelumnya pada artikel ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1)      Latar belakang perumusan ketentuan pengajuan paket calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik maupun gabungannya dengan syarat sebagai peserta pemilu adalah pendapat bersama MPR ketika perubahan undang-undang dasar dilakukan, karena berdasarkan risalah sidang pembahasan Pasal 6A pada umumnya, dan ayat (2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi maupun anggota MPR yang menyinggung masalah ambang batas (presidential threshold). Ditambah dengan ketentuan ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk memberikan batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD NRI 1945 berdasarkan Pasal 6 ayat (2).
2)      Latar belakang perumusan ketentuan Presidential Threshold pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut DPR didasari oleh urgensi penyaringan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki basis dukungan yang kuat dari rakyat, angka 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional bertujuan agar dapat tercapainya fungsi pemerintahan Negara yang efektif, begitu pula dengan pemerintah, dalam pertimbangannya menyetujui hadirnya syarat jumlah kursi ataupun suara sah nasional suatu partai politik maupun gabungan partai politik demi menjaga efektifitas pemerintahan yang berjalan, selain itu juga mendasarkan pengaturan ambang batas tersebut berdasarkan alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 yang mengamanatkan pembangunan nasional sebagai salah satu tujuan bernegara. Pada prinsipnya, pembahasan program dan anggaran yang merupakan kewenangan yang akan bersentuhan langsung dengan DPR tentunya akan lancar dengan dukungan awal minimal 20% kursi tersebut. Muara dari threshold tersebut akan mendukung terwujudnya pembangunnan yang berkesinambungan melalui system pemerintahan presidensial yang lebih efektif dan stabil.
3)      Telah terjadi perubahan makna, dalam hal ini berbentuk penyempitan terhadap ketentuan normatif Pasal 6A ayat (2) terkait pencalonan Presiden dan Wakilnya oleh partai politik maupun gabungannya yang merupakan peserta pemilu parlemen di periode pemilu yang sama, hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, khususnya amar yang menyatakan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tidak bertentangan dengan undang-undang dasar, karena memandang kebijakan hukum (legal policy) ambang batas pada pemilu Presiden (presidential threshold) konstitusional mengunakan tafsir hukum dinamis.

SARAN
Setelah merangkum kajian yang telah dibahas dalam kesimpulan di atas, penulis menyarankan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk segera melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini bertujuan untuk mempertegas ketentuan syarat pencalonan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, apakah menggunakan ketentuan ambang batas ataupun tidak, demi terciptanya kepastian hukum karena secara tafsir sistematis ataupun original intent ketentuan ambang batas sebagaimana diatur oleh Pasal 9 Udang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak mendapat pijakan yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Konstitusi Pers.
Fatmawati, “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Membangun Kesadaran Berkonstitusi”, Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Volume I Nomor 1, November 2010
Pusat Bahasa,2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saldi Isra, “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”,http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5, diunduh 27 Januari 2013.
Peraturan Perundang-undangan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan Mprs Nomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1983 tentang referendum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Referendum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


[1] Lihat Fatmawati, “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Membangun Kesadaran Berkonstitusi”, Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Volume I Nomor 1, November 2010, h.92.
[2] Tiga Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah UUD 1945 sebelum perubahan, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah perubahan. Walaupun secara substansi UUD 1945 dapat dikatakan baru, namun tetap merupakan perubahan UUD 1945 yang asli berdasarkan lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga secara formal terdapat tiga (tiga) Undang-Undang Dasar yang pernah dan masih berlaku di Indonesia. Naskah resmi UUD NRI 1945 itu sendiri menurut Jimly Asshidiqie ada lima, yakni :
1.     Naskah UUD 1945 yang diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959
2.     Lampiran 1 berupa naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang disahkan pada tahun 1999
3.     Lampiran 2 berupa naskah Perubahan Kedua UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2000
4.     Lampiran 3 berupa naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2001
5.     Lampiran 4 berupa naskah Perubahan Keempat UUD 1945 yang disahkan pada tahun 2002.
Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007, h. 98.
[3] Penulis sependapat dengan Mahfud MD yang menyatakan bahwa UUD 1945 diubah secara formal sebanyak 1 (satu) kali, dimana terdapat 4 (empat) tahapan dalam proses perubahan tersebut. Hal ini didasari pada ke empat sidang MPR tidak ada satupun yang saling tumpang tindih dalam melakukan perubahannya, melainkan secara bertahap. Lebih lanjut pada : Moh Mahfud MD, “Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945”, Pada Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan UUD Republik Indonesia 1945 yang diselengarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 21 November 2007. h. 6.
[4] Dari sistem division of powers menjadi separations of powers, serta memunculkan lembaga baru semisal MK dan KY, menghapus DPA, serta perubahan signifikan lainnya terkait pembatasan kekuasaan (semisal presiden hanya boleh diangkat maksimal dua kali).
[5] Lihat bagian pendapat berbeda (disenting opinion) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, oleh 3 (tiga) hakim konstitusi, yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mocthar.
[6] Hal ini mengacu pada ketentuan Passal 6 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak” namun mengingat pada Praktek sebelum Konstitusi Republik Indonesia Serikat berlaku, hal ini tidak dapat dilakukan, karena MPR belum terbentuk, dan pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden hanya melalui rapat pengesahan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, selain itu, praktek ketatanegaraan dari Presidensial menjadi Parlementer berdasarkan Maklumat Nomor X Wakil Presiden Republik Indonesia.
[7] Terkait syarat personal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 1 TAP MPR Nomor II/MPR/1973 ialah orang Indonesia asli dan harus memenuhi syarat antara lain : a. Warga Negara Indonesia; b. Telah berusia 40 tahun; c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum; d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; e. Setia kepada Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945; f. Bersedia menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis; g. Berwibawa; h. Jujur; i. Cakap; j. Adil; k. Dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam majelis; l. Tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA dan Undang -Undang Dasar 1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang lainnya; m. Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun; n. Tidak terganggu jiwa/ingatannya.
Sementara itu, terkait syarat pencalonan, diatur oleh ketentuan Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Calon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Dalam hal ini apabila calon hanya satu, maka MPR langsung mengesahkannya sebagai Presiden melalui Rapat Paripurna (Pasal 13 ayat (2)). Salah satu poin yang menjadi catatan adalah ketentuan yang mengharuskan pemilihan dilakukan secara tertutup apabila terdapat lebih dari 1 (satu) calon Presiden, Terkait Wakil Presiden, prosedur pemilihannya sama dengan Presiden, namun ditambahkan syarat mampu bekerjasama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 2 ayat (1) aturan ini.
[8] Saldi Isra, “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5, diunduh 27 Januari 2013.
[9] Gerakan Reformasi mengajukan 4 tuntutan, yakni (a) Amandemen UUD 1945, (b) Berantas praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (c) Cabut paket 5 UU Politik yang dipandang menghambat perkembangan demokrasi, dan (d) Cabut Dwifungsi ABRI, sehingga dapat disimpulkan bahwa amandemen (perubahan) UUD 1945 merupakan salah satu karya langsung reformasi 1998.
[10] Pada risalah sidang pembentukan UUD NRI 1945, digunakan istilah ‘pengisian masa jabatan’ sebagai pokok bahasan pembentukan Pasal 6A UUD NRI 1945, lebih lanjut dapat dilihat pada : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Konstitusi Pers, 2010, h. 219
[11] Pada rapat ke-1 PAH III BP MPR, 7 Oktober 1999, Ibid, h 156
[12] Pada rapat ke-3 PAH I BP MPR, 6 Desember 1999, Ibid, h 164
[13] Terkait perubahan ketentuan Pasal Perubahan Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan (3) UUD 1945, Ibid, h 6
[14] Perubahan Pasal 6A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal Pasal 11 Ayat (1), dan Pasal 16 UUD 1945
[15] Dalam hal ini dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ataupun melalui lembaga tersendiri yang dipilih melalui pemilu khusus.
[16] Ibid, h. 165
[17] Ibid, h. 162
[18] Ibid, h. 166-168
[19] Loc Cit, h. 168
[20] Ibid, h.177-178
[21]Ibid, h. 216
[22] Dalam pembahasan di MPR, istilah yang muncul terkait tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah “Pengisian Jabatan” Ibid, h. 219
[23]Ibid h. 422
[24] Terkait syarat personal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 1 TAP MPR Nomor II/MPR/1973 ialah orang Indonesia asli dan harus memenuhi syarat antara lain : a. Warga Negara Indonesia; b. Telah berusia 40 tahun; c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum; d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; e. Setia kepada Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945; f. Bersedia menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis; g. Berwibawa; h. Jujur; i. Cakap; j. Adil; k. Dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam majelis; l. Tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang -Undang Dasar 1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang lainnya; m. Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun; n. Tidak terganggu jiwa/ingatannya.
Sementara itu, terkait syarat pencalonan, diatur oleh ketentuan Pasal 9 yang menyatakan bahwa “Calon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Dalam hal ini apabila calon hanya satu, maka MPR langsung mengesahkannya sebagai Presiden melalui Rapat Paripurna (Pasal 13 ayat (2)). Salah satu poin yang menjadi catatan adalah ketentuan yang mengharuskan pemilihan dilakukan secara tertutup apabila terdapat lebih dari 1 (satu) calon Presiden.
Terkait Wakil Presiden, prosedur pemilihannya sama dengan Presiden, namun ditambahkan syarat mampu bekerjasama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 2 ayat (1) aturan ini.
[25] Saldi Isra, “Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945”, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkembangan-pengisian-jabatan-presiden-di-bawah-undang-undang-dasar-1945&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5, diunduh 27 Januari 2013.
[26] Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
[27] Lihat Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
[28] Lihat bagian keterangan Dewan Perwakilan Rakyat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[29] Lihat bagian keterangan pemerintah, pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[30] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 1576.
[31]Ibid, h. 1577.
[32]Ibid, h. 903.
[33] Lihat keterangan Prof. Dr. Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa : Pertama adalah sisi substansial. Kedua adalah sisi teknis pendelegasian. Dari sisi substansi, kalau menambah syarat baru berupa ambang batas terhadap Pasal 6A ayat (2), perlu dicermatibahwa wewenang yangdiberikan kepada pembentuk undang-undang melalui Pasal 6A ayat (5) adalah mengatur tata cara pemilihan. Sedangkan yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) itu jelas dikatakan, sebelum pelaksanaan pemlihan umum. Dengan demikian, pembentuk undang-undang tidak berwenang untukmenambah syarat baru berupa ambang batas terhadap Pasal 6A ayat (2); Dari teknis pendelegasian wewenang, Pasal 6A ayat (5) itu diatur “di dalam” Undang-Undang. Kalau pendelegasian wewenang, hukum kita menggunakan dua istilah baku, “dengan” Undang-Undang, atau dengan huruflain, “dengan atau berdasarkan” Undang-Undang, memiliki makna berbeda. Kalau “dengan” Undang-Undang itu berarti tidak boleh diatur dengan peraturan lain. Undang-Undang tidak boleh didelegasikan. Kalau dengan rumus “dengan atau berdasarkan” Undang-Undang, berarti boleh disubdelegasikan;
Pasal 6 ayat (5) UUD 1945 itu menyatakan: “di dalam undang-undang”, bukan “dengan undang-undang”. Cobadibandingkan dengan Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan: syarat-syarat Presiden dan calon Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan menggunakan istilah baku di dalam undang-undang ini berarti tidak diberikan delegasi untuk mengatur hal-hal yang sifatnya prinsipil. Dengan demikian, ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 tidak mendelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menambah syarat baru berupa penambahan ketentuan ambang batas. Dari sisi ini, ahli mengatakan ketentuan Pasal 9 UU Pilpres inkonstitusional karena dilakukan tanpa wewenang, onbevoegd,atau ultra vires;
Lebih lanjut dapat dilihat di Keterangan Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
[34] Lebih lanjut dapat dilihat pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.

Komentar

Postingan Populer