KESIMPULAN PEMOHON JR UU Pendidikan Tinggi
KESIMPULAN
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN
2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
NOMOR PERKARA : 111/PUU-X/2012
I.
PENDAHULUAN
Bahwa cita-cita
luhur para pendiri bangsa ini jelas termaktub dalam potongan alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa salah
satu tujuan negara ini merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya,
pendidikan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas merupakan salah satu cara
tercapainya tujuan tersebut. Karena untuk mencapai kemajuan pembagunan
nasional, faktor pendidikan merupakan suatu conditio
sine qua non.
Bahwa semangat
reformasi yang kini tertuang pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia
Tahun 1945 telah mengukuhkan pendidikan
sebagai salah satu Hak Konstitusional. Hak tersebut dikonstruksikan kedalam 2
(dua) kategori, yakni sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, melalui Pasal 28C, ayat (1) yang menyatakan
“Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.” dan
28E ayat (1), yang menyatakan “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.”
Bahwa selain
sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga
Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
(1) “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.”
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.”
(4) “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”
Bahwa berdasarkan
uraian pendahuluan diatas, para pemohon berkesimpulan bahwa Negara Republik
Indonesia berkewajiban untuk memenuhi hak mendapatkan pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi secara utuh kepada seluruh rakyatnya. Terlebih sepanjang
persidangan, penguatan argumentasi pertanggungjawaban Negara atas Hak
mendapatkan pada umumnya, serta Pendidikan Tinggi pada khususnya, dikuatkan
melalui keterangan ahli hukum tata tata negara, yakni Prof Saldi Isra dan Prof
Yusril Izha Mahendra.
II.
KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa para pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
uji materil Pasal 65 ayat (1)
sepanjang frasa “atau dengan
membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat
(1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik”
dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 5358) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karenanya dapat dikategorikan
sebagai perkara pengujian undang-undang.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Inonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap undang-undang dasar, Serta berdasarkan
ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain “menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
3. Bahwa berdasarkan uraian 1 dan 2 tersebut, para pemohon mengajukan
pengujian materil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah
Konstitusi.
III.
KEDUDUKAN
HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1. Bahwa Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pemohon pengujian
Undang-Undang adalah “pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang” yang dalam huruf (a) menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan
atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan hak konstitusional adalah “hak-hak
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
2. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi sebagaimana
tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Putusan Nomor 11/PUUV/ 2007 dan putusan-putusan selanjutnya diberikan
pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan
berlakunya suatu norma undang-undang, yakni:
i.
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
ii.
Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
iii.
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
iv.
Adanya hubungan sebab-akibat (causal
verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk
diuji;dan
v.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
3. Bahwa sebagai warga negara Indonesia serta berstatus sebagai Mahasiswa,
Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945, dalam hal ini hak memperoleh
pendidikan pada umumnya, serta pendidikan tinggi khususnya. Namun hak tersebut
terancam hilang ataupun terkikis akibat diundangkannya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, khususnya akibat hadirnya Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum”
serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan ayat (2) huruf
(c), dan Pasal 90 undang-undang a quo.
Dalam hal ini kerugian konstitusional tersebut akan dijabarkan pada bagian
pokok-pokok permohonan para pemohon;
4. Bahwa berdasarkan uraian 1-3 tersebut, para pemohon menyimpulkan bahwa
kami memiliki kedudukan hukum dalam melakukan uji materi undang-undang a quo. Dalam hal ini kami membantah Opening Statment Pemerintah atas
Permohonan ini yang menyatakan bahwa kami tidak dapat menjelaskan kerugian
konstitusional yang kami atas berlakunya undang-undang tersebut.
IV.
POKOK-POKOK
PERMOHONAN
i.
Argumentasi Inkonstitusionalitas
Pasal 65 ayat (1) Sepanjang Frasa “atau
dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4) UU Nomor 12 Tahun
2012
1. Bahwa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak
konstitusional, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 , pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa
“....Kemudian dari pada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia....”;
2.
Bahwa selain dari
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945 , ketentuan Pasal 28C, ayat (1) yang menyatakan:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Dan 28E ayat (1), yang menyatakan :
“Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.”
Serta
sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga
Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.”
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.”
(4) “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”
3. Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan
oleh Perguruan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan hak konstitusional tersebut oleh negara, dalam hal ini oleh Pemerintah
c.q Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional;
4. Bahwa Perguruan Tinggi Negeri sejatinya merupakan milik publik, namun, ketika
berstatus badan hukum, maka nilai yang muncul adalah privatisasi yang jauh dari
marwahnyamemenuhi kepentingan umum, dalam hal ini memenuhi hak atas pendidikan
tinggi;
5. Bahwa frasa “atau dengan
membentuk PTN badan hukum” pada ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang secara utuh
menyatakan “Penyelenggaraan otonomi
perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara
selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan
tinggi bermutu.” Telah membuka ruang untuk suatu Perguruan Tinggi Negeri
memiliki status badan hukum;
6. Bahwa ruang hadirnya Perguruan Tinggi Negeri yang berbadan hukum
tersebut telah nyata ditutup oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. dengan amar putusan konstitusional bersyarat
atas ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) yang konstitusional
sepanjang frasa“badan hukum pendidikan”
dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu;
7. Bahwa antara frasa “atau dengan
membentuk PTN badan hukum” pada ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Inonesia Tahun 1945 , serta ditiadakannya syarat kondisional
konstitusional pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009 terkait ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara nyata frasa tersebut
inkonstitusional menurut para pemohon;
8. Bahwa ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang
Pendidikan tinggi ayat (3) yang menyatakan
“PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki : a.
kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. tata
kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; c. unit yang melaksanakan
fungsi akuntabilitas dan transparansi;d. hak mengelola dana secara mandiri,
transparan, dan akuntabel; e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri
dosen dan tenaga kependidikan; f. wewenang mendirikan badan usaha dan
mengembangkan dana abadi; dan g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan
menutup Program Studi.”
Serta ayat (4)
yang menyatakan: “Pemerintah memberikan
penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan
tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.” merupakan penjelasan lebih lanjut
dari frasa “atau dengan membentuk PTN
badan hukum” pada ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang secara nyata
inkonstitusional, maka secara mutatis mutandisayat (3) dan (4) juga inkonstitusional.
9. Bahwa, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, khususnya pada bagian
‘mendengarkan’ keterangan ahli, berdasarkan uraian kedua ahli dari pemohon,
menyatakan bahwa konstruksi badan hukum
sebagaimana dimaksud oleh undang-undang a
quo dapat disejajarkan dengan model BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dengan
penyertaan pendanaan oleh Negara yang bersumber dari APBN sebagai kekayaan
negara yang dipisahkan. Model tersebut sangat jelas tidak tepat jika
diberlakukan pada perguruan tinggi. Sebagaimana diuraikan, kemungkinan pembebanan
biaya pendidikan kepada mahasiswa membesar amatlah terbuka lebar, terlebih jika
melihat realita biaya operasional yang mahal dari pendidikan tinggi itu
sendiri.
10. Bahwa otonomi yang sangat diperlukan oleh perguruan tinggi adalah
otonomi dibidang akademik. Kebebasan dalam ‘mengolah’ ilmu pengetahuan
merupakan kebutuhan pokok. Sementara itu, otonomi dibidang non-akademik
(pengelolaan organisasi, pendanaan, dsb) juga dibutuhkan sebagai supporting dalam memajukan keilmuan
dikampus, namun menjadi catatan khusus, ketika hal ini dimaknai dengan perlu
diberlakukannya status badan hukum.
Permasalahan
otonomi dibidang non-akademik akan menguras konsentrasi universitas negeri,
contoh kecilnya untuk ‘mencari’ pendanaan tambahan dengan kemampuan investasi
yang dimiliki, menurut pandangan para pemohon, otonomi non-akademik dalam
bidang pengelolaan organisasi, pendanaan, dan sebagainya tersebut tidak perlu
diberikan dengan melekatkan status badan
hukum, melalui regulasi (Peraturan Perundang Undang-Undangan)
‘spesial’ terhadap managemen universitas negeri dengan fleksibilitas pengunaan
keuangan dan organisasi kepegawaian
(mengangkat dosen, kariyawan, peneliti) sudah cukup menunjang otonomi
non-akademik yang diperlukan.
Kekhawatiran
kami, jika status badan hukum melekat
pada Perguruan Tinggi Negeri, tentu juga membuka kemungkinan pailit-nya
institusi pendidikan ini, nasib mahasiswa, dosen, kariawan, dan segenap civitas
akademik akan terlunta-lunta. Jika dianalogikan, ‘untuk membunuh seekor nyamuk, tidak perlu bom atom, karena bom atom
tentu akan memusnahkan sekitarnya’ dalam artian, tidak perlu status ‘badan
hukum’ yang dilekatkan ke Perguruan Tinggi Negeri untuk memberikan otonomi
akademik maupun non-akademik, cukup regulasi khusus yang memainkan peran dalam pemberian otonomi
tersebut, karena efek status ‘badan hukum’ dapat memberikan mudarat pada
Perguruan Tinggi Negeri itu sendiri.
11. Bahwa berdasarkan uraian 1 sampai dengan 10 tersebut, serta setelah
menelaah kembali keterangan Pemerintah maupun
Dewan Perwakilan Rakyat, para pemohon kembali berkesimpulan bahwa
ketentuan pada Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4)
undang-undang a quo inkonstitusional.
ii.
Argumentasi Inkonstitusionalitas
Pasal 74 UU Nomor 12 Tahun 2012
1. Bahwa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak
konstitusional, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 , pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa
“....Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan
Kebagsaan Indonesia....”;
2. Bahwa selain dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 , ketentuan Pasal Pasal
28C, ayat (1) yang menyatakan
“Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.”
dan 28E ayat (1),
yang menyatakan:
“Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.”
serta sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak
Konstitusional Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Inonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.”
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.”
(4) “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”:
3.
Bahwa Pelaksanaan
dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan oleh Perguruan tinggi.
Perguruan Tinggi Negeri merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hak
konstitusional tersebut oleh negara, dalam hal ini oleh Pemerintah c.q
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional;
4. Bahwa Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi secara redaksional menyatakan:
“PTN wajib mencari dan menjaring calon
Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara
ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk
diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang
diterima dan tersebar pada semua Program Studi. ”
5. Bahwa ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi tersebut telah membuka ruang dikriminasi terhadap calon
mahasiswa yang memiliki potensi akademik rendah dan tidak mampu, hal ini sangat
bertentangan dengan cita mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menistakan
keberadaan pendidikan itu sendiri yang sejatinya membuat ‘si tidak tahu”
menjadi “tahu” akan ilmu pengetahuan dan lainnya. Hal ini jelas sangat
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28Dayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Inonesia Tahun 1945 yang
menyatakan “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.”;
6. Bahwa ketentuan tersebut juga merupakan bentuk pengingkaran negara atas
kewajibannya untuk memenuhi hak konstitusional setiap warga negaranya, dengan
tidak memandang ‘pintar’ ataupun ‘bodoh’ disisi potensi akademik. Berdasarkan
uraian Opening Statement Pemerintah
tidak menjawab pengingkaran Negara ini, begitu halnya dengan Dewan Perwakilan
Rakyat yang serta merta mendiskriminasikan warga negara yang memiliki potensi
akademik kurang untuk mengacap pendidikan tinggi;
7. Bahwa berdasarkan argumentasi 1-6 tersebut, telah nyata
inkonstitusionalitas Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi karena bertentangan dengan ketentuan alinea keempat
pembukaan, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), serta
Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945 .
iii.
Argumentasi
Inkonstitusionalitas Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan
ayat (2) huruf (c)
1. Bahwa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak
konstitusional, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 , pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa:
“....Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan
Kebagsaan Indonesia....”;
2. Bahwa selain dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 , ketentuan Pasal Pasal
28C, ayat (1) yang menyatakan:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.”
Dan 28E ayat (1), yang menyatakan :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.”
Serta sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak
Konstitusional Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Inonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.”
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.”
(4) “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”:
3. Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan
oleh Perguruan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan hak konstitusional tersebut oleh negara, dalam hal ini oleh
Pemerintah c.q Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional;
4. Bahwa frasa “peraturan akademik”
pada ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi yang secara utuh menyatakan:
“Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau
perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara
ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.”
Menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena peraturan akademik pada setiap Perguruan Tinggi tentunya
dibentuk sendiri-sendiri (tidak serentak) dan ruang untuk membedakan pemenuhan
hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi terbuka lebar. Karena Peraturan
akademik dibentuk oleh senat Universitas yang sejatinya berbeda ditiap-tiap
Universitas. Oleh karenanya Inkonstitusional menurut para pemohon, karena bertentangan
dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”;
5. Bahwa berdasarkan Opening
Statement Pemerintah, tidak menanggapi hal ini ketidakpastian hukum terkait
frasa “Peraturan Akademik” ini, namun
Dewan Perwakilan Rakyat menanggapi dengan bantahan bahwa frasa ‘Peraturan Akademik’ mengacu pada program
studi yang diambil oleh mahasiswa yang tentunya akan berbeda di setiap
perguruan tinggi, menurut kami, pandangan tersebut tidak dapat dijadikan tafsir
yang benar, karena secara utuh ketentuan tersebut menyatakan bahwa :
Pemerintah, Pemerintah daerah,
dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu
secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
Secara utuh, kewajiban pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu justru bersandar pada peraturan
akademik, karena frasa “sesuai dengan”
makna kata ‘sesuai’ berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) adalah : 1 pas; 2
cocok; 3 serasi 4 sepadan; 5 seimbang 6
selaras; 7 semufakat; 8 sama; sejalan; 9 sama; tidak bertentangan10 cocok; 11 baik sekali; 12
bergantung pada; 13 sejalan;
Dalam artian, pemenuhan kewajiban
pemenuhan ha mahasiswa yang kurang mampu akan menjadikan Peraturan Akademik
sebagai acuan pokok. Dengan kenyataan pembentukan Peraturan Akademik dibentuk
oleh Universitas, yang sejatinya berbeda-beda baik berdasarkan kondisi
geografis maupun sosial yang ada, tentu akan menimbulkan perbedaan pengaturan.
Perbedaan pengaturan yang sangat mungkin muncul inilah yang akan membuka ruang
ketidak pastian hukum sehingga bertentangan dengan undang-undang dasar.
6. Bahwa seharusnya frasa “peraturan
akademik” tersebut diganti dengan peraturan perundang-undangan yang
mengikat kepada seluruh Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia, semisal
Peraturan Pemerintah, ataupun peraturan pelaksana lainnya, hal ini guna
menciptakan kepastian hukum serta melindungi hak mahasiswa yang kurang mampu
secara ekonomi agar tidak dibeda-bedakan ditiap Perguruan Tinggi.
7. Bahwa
ketentuan Pasal 76 ayat (2) huruf (c) yang menyatakan “pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau
memperoleh pekerjaan.” Sebagai salah satu sarana pemenuhan hak mahasiswa
yang kurang mampu secara ekonomi merupakan bentuk lain dari pengingkaran
kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pendidikan, khususnya pendidikan
tinggi. Pada titik ini, Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat tidak
mengutarakan argumentasi sanggahan atas bentukpengingkaran ini. Oleh karenanya
para pemohon berkesimpulan ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan Pasal
28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Inonesia Tahun 1945 , dalam artian inkonstitusional menurut para
pemohon.
iv.
Argumentasi
Inkonstitusionalitas Pasal 90 UU Nomor 12 Tahun 2012
1. Bahwa Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak
konstitusional, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 , pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa:
“....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia....”;
2. Bahwa selain
dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945 ,
ketentuan Pasal Pasal 28C, ayat (1)
yang menyatakan:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
dan 28E ayat (1), yang menyatakan:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
serta
sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga
Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Inonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.”
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.”
(4) “Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”;
3. Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan
oleh Perguruan Tinggi Negeri yang merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hak
konstitusional tersebut oleh negara, dalam hal ini oleh Pemerintah c.q
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional;
4. Bahwa ketentuan Pasal 90 menyatakan:
(1) Perguruan
Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Perguruan
Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah
menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan
Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Perguruan
Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.
memperoleh izin Pemerintah;
b.
berprinsip nirlaba;
c.
bekerja sama dengan Perguruan
Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d.
mengutamakan dosen dan tenaga
kependidikan warga negara Indonesia.
(5) Perguruan
Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung
kepentingan nasional.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
5. Bahwa dengan hadirnya ruang bagi Perguruan Tinggi Asing untuk membuka
‘cabang’ di Indonesia akibat ketentuan Pasal 90 tersebut, akan menimbulkan
dampak swastanisasi pendidikan tinggi. Hal ini amat mungkin terjadi karena ‘brand’ yang mereka bawa, kami sangat
khawatir dengan analogi ‘Harvard cabang Padang berbanding Universitas Andalas’
yang menurut logika kami dapat terjadi kedepannya dengan konstruksi pasal a quo.
6. Bahwa mayoritas masyarakat akan lebih memilih ‘Harvard cabang Padang’
jika dibandingkan dengan Universitas Andalas, baik dikarenakan ketenaran
Perguruan Tinggi tersebut, ataupun alasan lainnya. Hal ini akan membuka jalan
swastanisasi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Karena masyarakat yang
memiliki ‘daya beli’ tinggilah yang akan mampu mengecap pendidikan disana.
Prinsip nirlaba yang diwajibkan oleh huruf (b) ayat (4) pasal 90 undang-undang a quo menurut para pemohon tidak akan
menahan tingginya laju biaya pendidikan, dengan alas nama biaya operasional,
praktikum, praktikim, dan lainnya secara logis bisa berkonsep -nir-laba, di
Perguruan Tinggi Negeri sendiri hal ini muncul, sebagai contoh, kami membayar
biaya pratikum dan bus kampus setiap
semesternya, dan biaya-biaya operasional tambahan lainnya, semisal sumbangan
wajib dan biaya-biaya dalam mengikuti proses perkuliahan.
7. Bahwa Pemerintah tidak memberikan argumentasi bantahan terhadap
inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 90 undang-undang a quo, sebaliknya Dewan Perwakilan Rakyat mendalilkan sebaliknya,
dengan ketentuan Pasal 73 ayat (5) yang menyatakan “penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis
dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial” serta Pasal 63 huruf (c)
undang-undang a quo, yang menyatakan bahwa “otonomi pengelolaan perguruan tinggi
bersifat nirlaba” mementahkan argumentasi kemungkinan komersialisasi
Pendidikan Tinggi sebagaimana didalilkan oleh para pemohon.
Namun
perlu dipertegas disini, yang kami maksud komersialisasi pendidikan tinggi yang
amat mungkin tercipta akibat hadirnya Perguruan Tinggi Asing karena konstruksi
Pasal 90 ini akan menimbulkan diskriminasi pendidikan, khususnya pendidikan
tinggi antar masyarakat ekonomi mapan dengan yang sebaliknya, hal ini tentu
saja bertentangan secara tegas dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Inonesia Tahun 1945 yang
menyatakan “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.” Oleh karena itu para pemohon menyimpulkan ketentuan Pasal
a quo inkonstitusional.
V.
PENUTUP
Berdasarkan
uraian yang kami kemukakan di atas, sebagai kesimpulan Pengujian Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Nomor Perkara
111/PUU-X/2012. Kami para pemohon tetap kukuh pada petitum awal yakni :
Primer
1.
Menerima dan mengabulkan seluruh Permohonan para Pemohon;
2. Menyatakan
bahwa ketentuan Pasal 65 ayat
(1) sepanjang frasa “atau dengan
membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat
(1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik”
dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2012 No 5358) bertentangan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan
bahwa ketentuan Pasal 65 ayat
(1) sepanjang frasa “atau dengan
membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat
(1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik”
dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 5358) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat dengan segala akibat hukumnya;
4.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Subsidair
Apabila Majelis Hakim berpendapat
lain, Kami mohon putusan yang seadil-adilnya
-ex aequo et bono-
Hormat Kami,
Para
Pemohon
Komentar
Posting Komentar