Permohonan Pengujian Materil Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi


PS: CopyLeft @ Ziffany Firdinal :Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Program Kekhususan Hukum Tata Negara :)

________________________________________________________________________________



Kepada Yang Terhormat,
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6
Jakarta Pusat 10110
Perihal            :Permohonan Pengujian Pasal  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Dengan hormat,
Perkenankanlah kami :
Nama-nama yang berada dibawah ini sebagai pemohon dalam pengujian materiil, Pasal 65, Pasal 74, Pasal 76, Pasal 90 Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang selanjutnya disebut sebagai UU Pendidikan Tinggi.

Pemohon.....

Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohontersebut di atas disebut sebagai Para Pemohon

Dengan ini para pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 5358) (Bukti P-1),terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Bukti P-2).


I.                   PENDAHULUAN
Bahwa cita-cita luhur para pendiri bangsa ini jelas termaktub dalam potongan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945) sebagaimana dikutip di atas, salah satu tujuan negara ini merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, pendidikan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas merupakan salah satu cara tercapainya tujuan tersebut. Karena untuk mencapai kemajuan pembagunan nasional, faktor pendidikan merupakan suatu conditio sine qua non.
Bahwa semangat reformasi yang kini tertuang pada UUD NRI 1945 telah mengukuhkan pendidikan sebagai salah satu Hak Konstitusional. Hak tersebut dikonstruksikan kedalam 2 (dua) kategori, yakni sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, melalui Pasal 28C, ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan 28E ayat (1), yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Bahwa selain sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan:
(1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Bahwa berdasarkan uraian pendahuluan diatas, para pemohon berkesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia berkewajiban untuk memenuhi hak mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi secara utuh kepada seluruh rakyatnya.

II.                KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.      Bahwa Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materil Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 No 5358)terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945), oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai perkara pengujian undang-undang.
2.      Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Sertaberdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut UU MK) menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
3.      Bahwa berdasarkan uraian 1 dan 2 tersebut, para pemohon mengajukan pengujian materil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
III.             KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1.      Bahwa Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatakan bahwa pemohon pengujian Undang-Undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang” yang dalam huruf (a) menyebutkan “perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusionaladalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945”;
2.      Bahwa Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Putusan Nomor 11/PUUV/ 2007 dan putusan-putusan selanjutnya diberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yakni:
                                                         i.            Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
                                                       ii.            Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
                                                     iii.            Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
                                                     iv.            Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;dan
                                                       v.            Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
3.      Bahwa sebagai warga negara Indonesia serta berstatus sebagai Mahasiswa, Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI 1945, dalam hal ini hak memperoleh pendidikan pada umumnya, serta pendidikan tinggi khususnya. Namun hak tersebut terancam hilang ataupun terkikis akibat diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, khususnya akibat hadirnya Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 undang-undang a quo. Dalam hal ini kerugian konstitusional tersebut akan dijabarkan pada bagian pokok-pokok permohonan para pemohon;
4.      Bahwa berdasarkan uraian 1-3 tersebut, para pemohon menyimpulkan bahwa kami memiliki kedudukan hukum dalam melakukan uji materi undang-undang a quo.
5.       

IV.              POKOK-POKOK PERMOHONAN
                                            i.            ArgumentasiInkonstitusionalitasPasal 65 ayat (1) Sepanjang Frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4) UU Nomor 12 Tahun 2012
1.      Bahwa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak konstitusional, sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945, pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa “....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia....;
2.      Bahwa selain dari pembukaan UUD NRI 1945, ketentuan PasalPasal 28C, ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan 28E ayat (1), yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” serta sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.:
3.      Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan oleh Perguruan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hak konstitusional tersebut oleh negara, dalam hal ini oleh Pemerintah c.q Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional;
4.      Bahwa Perguruan Tinggi Negeri sejatinya merupakan milik publik, namun, ketika berstatus badan hukum, maka nilai yang muncul adalah privatisasi yang jauh dari marwahnyamemenuhi kepentingan umum, dalam hal ini memenuhi hak atas pendidikan tinggi;
5.      Bahwa frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum pada ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang secara utuh menyatakan “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.” Telah membuka ruang untuk suatu Perguruan Tinggi Negeri memiliki status badan hukum;
6.      Bahwa ruang hadirnya Perguruan Tinggi Negeri yang berbadan hukum tersebut telah nyata ditutup oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. dengan amar putusan konstitusional bersyarat atas ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) yang konstitusional sepanjang frasa“badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu;
7.      Bahwa antara frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum pada ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dengan UUD NRI 1945, serta ditiadakannya syarat kondisional konstitusional pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 terkait ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara nyatafrasa tersebut inkonstitusional menurut para pemohon;
8.      Bahwa ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan tinggi ayat (3) yang menyatakan “PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan;f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dang. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.”sertaayat (4) yang menyatakan “Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.”merupakan penjelasan lebih lanjut dari frasa “atau dengan membentuk PTN badan hukum pada ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang secara nyata inkonstitusional, maka secara mutatis mutandisayat (3) dan (4) juga inkonstitusional.
                                         ii.            ArgumentasiInkonstitusionalitas Pasal 74 UU Nomor 12 Tahun 2012
1.      Bahwa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak konstitusional, sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945, pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa “....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia....;
2.      Bahwa selain dari pembukaan UUD NRI 1945, ketentuan Pasal Pasal 28C, ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan 28E ayat (1), yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” serta sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.:
3.      Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan oleh Perguruan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hak konstitusional tersebut oleh negara, dalam hal ini oleh Pemerintah c.q Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional;
4.      Bahwa Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi secara redaksional menyatakan “PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. ”
5.      Bahwa ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi tersebut telah membuka ruang dikriminasi terhadap calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik rendah dan tidak mampu, hal ini sangat bertentangan dengan cita mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menistakan keberadaan pendidikan itu sendiri yang sejatinya membuat ‘si tidak tahu” menjadi “tahu” akan ilmu pengetahuan dan lainnya. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 28Dayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.;
6.      Bahwa ketentuan tersebut juga merupakan bentuk pengingkaran negara atas kewajibannya untuk memenuhi hak konstitusional setiap warga negaranya, dengan tidak memandang ‘pintar’ ataupun ‘bodoh’ disisi potensi akademik;
7.      Bahwa berdasarkan argumentasi 1-6 tersebut, telah nyata inkonstitusionalitas Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi karena bertentangan dengan ketentuan alinea keempat pembukaan, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), serta Pasal 31 UUD NRI 1945.
                                       iii.            Argumentasi Inkonstitusionalitas Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan ayat (2) huruf (c)
1.      Bahwa pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak konstitusional, sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945, pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa “....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia....;
2.      Bahwa selain dari pembukaan UUD NRI 1945, ketentuan Pasal Pasal 28C, ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan 28E ayat (1), yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” serta sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.:
3.      Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan oleh Perguruan tinggi. Perguruan Tinggi Negeri merupakan salah satu bentuk pelaksanaan hak konstitusional tersebut oleh negara, dalam hal ini oleh Pemerintah c.q Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional;
4.      Bahwa frasa “peraturan akademik” pada ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang secara utuh menyatakan “Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.” Menimbulkan ketidakpastian hukum, karena peraturan akademik pada setiap Perguruan Tinggi tentunya dibentuk sendiri-sendiri (tidak serentak) dan ruang untuk membedakan pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi terbuka lebar. Karena Peraturan akademik dibentuk oleh senat Universitas yang sejatinya berbeda ditiap-tiap Universitas. Oleh karenanya Inkonstitusional menurut para pemohon, karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 28Dayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.;
5.      Bahwa seharusnya frasa “peraturan akademik” tersebut diganti dengan peraturan perundang-undangan yang mengikat kepada seluruh Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia, semisal Peraturan Pemerintah, ataupun peraturan pelaksana lainnya, hal ini guna menciptakan kepastian hukum serta melindungi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi agar tidak dibeda-bedakan ditiap Perguruan Tinggi.
6.      Bahwa ketentuan Pasal 76 ayat (2) huruf (c) yang menyatakan “pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.” Sebagai salah satu sarana pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi merupakan bentuk lain dari pengingkaran kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Oleh karenanya bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 31 UUD NRI 1945, dalam artian inkonstitusional menurut para pemohon.
                                       iv.            Argumentasi Inkonstitusionalitas Pasal 90 UU Nomor 12 Tahun 2012
1.      pendidikan, khususnya pendidikan tinggi merupakan hak konstitusional, sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945, pada alinea keempat pembukaannya, dinyatakan bahwa “....Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia....;
2.      Bahwa selain dari pembukaan UUD NRI 1945, ketentuan Pasal Pasal 28C, ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan 28E ayat (1), yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” serta sebagai Hak Asasi Manusia, pendidikan juga merupakan Hak Konstitusional Warga Negara berdasarkan ketentuan Pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.;
3.      Bahwa Pelaksanaan dari hak atas pendidikan tinggi tersebut dilaksanakan oleh Perguruan tinggi;
4.      Bahwa ketentuan Pasal 90 menyatakan:
(1)  Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)  Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3)  Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)  Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.       memperoleh izin Pemerintah;
b.       berprinsip nirlaba;
c.       bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d.       mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
(5)  Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendukung kepentingan nasional.
(6)  Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
5.      Bahwadengan hadirnya ruang bagi Perguruan Tinggi Asing untuk membuka ‘cabang’ di Indonesia akibat ketentuan Pasal 90 tersebut, akan menimbulkan dampak swastanisasi pendidikan tinggi. Hal ini amat mungkin terjadi karena ‘brand’ yang mereka bawa, kami sangat khawatir dengan analogi ‘Harvard cabang Padang berbanding Universitas Andalas’ yang menurut logika kami dapat terjadi kedepannya dengan konstruksi pasal a quo.
6.      Bahwa mayoritas masyarakat akan lebih memilih ‘Harvard cabang Padang’ jika dibandingkan dengan Universitas Andalas, baik dikarenakan ketenaran Perguruan Tinggi tersebut, ataupun alasan lainnya. Hal ini akan membuka jalan swastanisasi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Karena masyarakat yang memiliki ‘daya beli’ tinggilah yang akan mampu mengecap pendidikan disana. Prinsip nirlaba yang diwajibkan oleh huruf (b) ayat (4) pasal 90 undang-undang a quo menurut para pemohon tidak akan menahan tingginya laju biaya pendidikan, dengan alas nama biaya operasional, praktikum, praktikim, dan lainnya secara logis bisa berkonsep -nir-laba.
7.      Bahwa bentuk swastanisasi pendidikan tinggi yang amat mungkin tercipta akibat hadirnya Perguruan Tinggi Asing karena konstruksi Pasal 90 ini akan menimbulkan diskriminasi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi antar masyarakat ekonomi mapan dengan yang sebaliknya, hal ini tentu saja bertentangan secara tegas dengan Pasal 28Dayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” olehkarenaituparapemohonmenyimpulkanketentuanPasal a quo inkonstitusional.
V.                 PETITUM
Primer
1.      Menerima dan mengabulkan seluruh Permohonan para Pemohon;
2.      Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 5358) bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.      Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa atau dengan membentuk PTN badan hukum” serta ayat (3) dan (4), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa “Peraturan Akademik” dan ayat (2) huruf (c), dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2012, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 No 5358)tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
4.      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara RepublikIndonesia sebagaimana mestinya;
Subsidair
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, Kami mohon putusan yang seadil-adilnya
-ex aequo et bono-


Pesan Penutup: Berkas Permohonan ini saya kerjakan berdasarkan masukan dan saran dari para pemohon, pada mulanya saya akan ikut mengajukan JR ke MK, namun ketika berkas ini masuk, ditolak oleh Majelis Hakim Konstitusi atas bergabungnya saya sebagai salah satu pemohon :) 


Komentar

Postingan Populer