“Quo Vadis” RUU Pendidikan Tinggi ?

Oleh:
Ziffany Firdinal

“...Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia...”
Pendahuluan
Cita-cita luhur para pendiri bangsa ini jelas termaktub dalam potongan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagaimana dikutip di atas, salah satu tujuan negara ini merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, pendidikan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas merupakan salah satu cara tercapainya tujuan tersebut. Karena untuk mencapai kemajuan pembagunan nasional, faktor pendidikan merupakan suatu conditio sine qua non.
Selain cita pendirian bangsa, semangat reformasi yang kini tertuang pada UUD 1945 pasca perubahan[1] telah mengukuhkan pendidikan sebagai salah satu Hak Konstitusional,[2] Hak tersebut dikonstruksikan kedalam 2 (dua) kategori,[3] yakni sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, yakni melalui Pasal 28C, ayat (1)[4] dan 28E ayat (1),[5] dan sebagai Hak Konstitusional Warga Negara melalui penjabaran Pasal 31.[6] Ini membawa konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk memenuhinya secara utuh atas pendidikan bagi rakyatnya, terlebihpaham demokrasi konstitusional merupakan konsep negara ini.[7]
Dalam pemenuhan terhadap cita dan kewajiban konstitusionalnya, Indonesia membagi satuan pendidikan kedalam kelompok-kelompok layanan pendidikan yang sebagai penyelenggaranya, yakni, pendidikan jalur formal, nonformal,[8] dan informal[9] pada setiap jenjang dan jenisnya. Pada pendidikan formal, dilakukan secara terstruktur dan berjenjang, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Tulisan singkat ini akan fokus pada arah pendidikan tinggi bagi publik yang merupakan cita luhur bangsa dan hak konstitusional yang dijamin oleh aturan hukum tertinggi Indonesia. Terlebih ketika Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Tinggi kini tengah dibahas oleh Komisi X (sepuluh) DPR-RI sebagai suatu kebutuhan yang “mendesak” bagi payung hukum Perguruan Tinggi di Indonesia.[10]
Landasan Hukum Pendidikan Tinggi di Indonesia
Menilik jauh kebelakang, landasan Hukum Pendidikan Tinggi di Indonesia dimulai dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia,[11] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, yang digantikan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, terakhir undang-undang ini diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, serta sempat dinaungi oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
            Undang-undang tentang BHP yang telah dinyatakan inkonstitusional[12] karena tidak mengikuti rambu-rambu Mahkamah Konstitusi dalam pembuatannya,[13] khusus berkenaan dengan Perguruan Tinggi, inkonstitusionalitasnya secara garis besar dapat dilihat pada beberapa hal, yakni:[14]
1.      Pendidikan tinggi yang seharusnya juga menjadi tugas pemerintah, justru dilaksanakan oleh Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), sehingga berhasil atau tidaknya pendidikan formal di Indonesia akan tergantung kepada kinerja BHPP, bukanlah pemerintah;
2.      Banyak kelemahan baik dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasannya dengan undang-undang lain;
3.      Penyeragaman bentuk perguruan tinggi menjadi badan hukum pendidikan tidak mungkin dilakukan mengingat kemampuan, karakteristik serta kondisi perguruan tinggi yang amat jauh berbeda satu dengan lainnya;
4.      Otonomi perguruan tinggi dalam bentuk BHPP akan berdampak beragam, meskipun ada kemungkinan perguruan tinggi yang mampu untuk menghimpun dana, namun justru akan lebih banyak perguruan tinggi yang tidak mampu karena terbatasnya pasar usaha, modal investasi, serta sumber daya manusia memadai;
5.      Tanggung jawab BHPP untuk mencukupi kebutuhan dana pendidikan tidak ringan karena BHPP harus menanggung biaya yang amat besar, bahkan apabila ternyata kemampuan keuangan dari BHP dalam keadaan sangat jelek tidak tertutup kemungkinan pailit;
Salah satu akibat hukum dari pencabutan UU BHP adalah hilangnya dasar hukum yang mewadahi Badan Hukum Milik Negara (BHMN)[15] dalam masa tansisi menuju BHPP. Terlebih putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bentuk badan hukum pendidikan terhadap Perguruan Tinggi Negeri adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dalam artian konstitusional sepanjang istilah “Badan Hukum Pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu, dalam hal ini termasuk status BHMN.[16]
“Quo Vadis” RUU Pendidikan Tinggi
Tidak dapat dipungkiri, otonomi perguruan tinggi merupakan kebutuhan yang amat mendasar, namun otonomi (kemandirian) kampus ini tidak berarti lepasnya tanggung jawab negara (pemerintah) terhadap pemenuhan pendidikan tinggi yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Bila dikritisi sesara lebih seksama, pengundangan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi[17] merupakan kebutuhan yang tidak terelakkan, namun amat disayangkan, beberapa ketentuan yang terdapat di dalamnya justru amat bertentangan dengan cita-cita luhur negara ini dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan cenderung inkonstitusional.
Mulai dari bagian menimbang dalam pembentukan RUU tersebut, tidak sedikitpun menyinggung urgensi Perguruan Tinggi Negeri berbentuk badan hukum, yang sedianya menjadi muatan di dalamnya, padahal bentuk badan hukum tersebut cenderung lebih bercirikan sikap etatisme pemerintah terhadap pemenuhan hak masyarakat terhadap pendidikan tinggi, serta jauh dari cita negara demokrasi konstitusional yang dianut karena bentuk badan hukum terhadap perguruan tinggi negeri telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain dari bagian menimbang, pada bagian mengingat juga hanya bertenggerkan pada ketentuan Pasal 20 mengenai fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah[18] dan Pasal 31 mengenai pendidikan di UUD 1945, seolah-olah menelantarkan ketentuan lain yang amat berkaitan dengan pemenuhan hak masyarakat terhadap pendidikan tinggi, yakni Pasal Pasal 28C, ayat (1) dan 28E ayat (1) UUD 1945 yang berkaitan dengan pendidikan sebagai bahagian dari Hak Asasi Manusia, dimana negara berkewajiban untuk memenuhinya.
Pada ketentuan mengingat juga tampak “keegoisan” DPR dan Pemerintah dalam fungsi legislasi, karena tidak dapat dipungkiri dalam fungsi legislasi yang termaktub dalam UUD 1945, selain DPR dan Pemerintah, Dewan Perwakilan Daerah (DPD)[19] juga memiliki hak dalam membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan, ketika 3 (tiga) lembaga negara ini secara bersama-sama merumuskan masa depan pendidikan tinggi, harapan yang diemban adalah dihasilkannya produk hukum komprehensif,[20] kerena keterwakilan pada lembaga-lembaga negara tersebut secara konsepsual lebih aspiratif.[21]
Pada bagian materi muatan rancangan undang-undang tersebut, selain polemik terkait dimunculkannya kembali status perguruan tinggi negeri yang berbadan hukum, penerimaan mahasiswa yang belakangan ini menjadi masalah tetap dibiarkan mengambang. Penerimaan mahasiswa baru yang memiliki 3 (tiga) pintu masuk, yakni melalui penerimaan secara nasional (SNMPTN), penelusuran minat dan bakat (PMDK), dan lainnya yang sejenis. Tidak adanya ketentuan porsi bagi masing-masing jalur masuk tersebut cenderung merugikan calon mahasiswa, jamak diketahui bahwa porsi penerimaan mahasiswa baru melalui SNMPTN cenderung berkurang pada tiap tahunnya.[22]
Permasalahan lain yang juga amat mendasar adalah, tidak singkronnya antara pendanaan perguruan tinggi yang secara redaksional Pasal 82 ayat (1) merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, tetapi sangat timpang dengan ketentuan lain yang memberikan ruang kepada mahasiswa untuk menanggung paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional perguruan tinggi.[23] Selain itu terdapat pula ruang lain penerimaan dari orang tua mahasiswa yang tidak ditentukan porsinya, sehingga secara tidak langsung beban kepada mahasiswa dan orang tuanya amatlah besar.[24]
Selain beberapa hal tersebut di atas, ketentuan mengenai pendanaan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta) dari pemerintah sangatlah minim. Berkaitan dengan bantuan biaya investasi dan operasional, hanya bila terdapat program kerjasama dengan kementerian dan lainya, walaupun tidak dapat dipungkiri peluang mahasiswa pada perguruan tinggi swasta untuk mendapatkan beasiswa mulai terbuka.[25] Terlebih jika ditelaah kembali, konsep nirlaba (non-provit) yang ditawarkan oleh rancangan undang-undang sangat tidak relevan dengan tujuan pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat, karena melirik dari pengalaman 6 perguruan tinggi yang tergolong BHMN, terdapat kecenderungan untuk membebani pendanaan masyarakat yang kian membesar.[26]
Mengembalikan Marwah Pendidikan Tinggi
Sebagaimana disinggung pada bagian awal tulisan ini, bahwa faktor pendidikan merupakan suatu conditio sine qua non untuk mencapai kemajuan pembagunan nasional dan otonomi kampus merupakan kebutuhan untuk menjawab tantangan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi agar dapat bersaing ditingkat global. Namun otonomi yang justru dibutuhkan bukanlah berkaitan dengan status badan hukum maupun kemampuan untuk berwirausaha/investasi walaupun dengan konsep nirlaba yang mendasarinya. Pemahaman terhadap onomi kampus seharusnya lebih kepada kemandirian dalam bidang pengembangan keilmuan, dimana kreatifitas dan kebebasan perguruan tinggi untuk mengungkapkan kebenaran ilmiah tidak boleh dicampuri oleh siapapun.
Selain kemandirian dalam bidang pengembangan keilmuan, dari segi penggunaan dana -bukan pendanaan- juga penting, perguruan tinggi membutuhkan anggaran yang fleksibel untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Dalam hal ini, melepas birokrasi keuangan dari pengolaan dana perguruan tinggi negeri menjadi sangat penting, konsep ini sedapat mungkin dikhususkan dalam ketentuan perundang-undangan kedepan. Tidak seperti cetak biru (blue print) RUU Pendidikan tinggi saat ini, dimana lebih bertitik tolak pada pendanaan perguruan tinggi yang harus dicari(-cari) sendiri dalam bentuk badan usaha maupun portofolio, jujur harus diakui dalam berwirausaha tidak selamanya akan memperoleh laba, kalau justru merugi siapa yang harus bertanggung jawab?
Pendanaan perguruan tinggi juga sebisa mungkin diperoleh dari bidang kerjasama,[27] sudah sepatutnya penelitian dan pengkajian ilmiah yang menjadi roh perguruan tinggi dapat “dijual” pada pihak luar (badan usaha, pemerintah, lembaga negara,dsb). Berkaitan dengan tata kelola dan managemen perguruan tinggi juga seharusnya dibebaskan pada perguruan tinggi, mengingat karakteristik dan kondisi perguruan-perguruan tinggi yang notabenenya berada di daerah amatlah beragam, hal ini juga menjadi kunci penting penigkatan mutu pendidikan tinggi.
Beberapa uraian diatas menjadi penting dituangkan kedalam suatu bentuk undang-undang, dalam hal ini Undanng-Undang Tentang Pendidikan Tinggi, agar perguruan tinggi dapat kembali pada marwahnya sebagai garda terdepan perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap menjadi milik publik dan bukanlah privat, tentu saja dalam pembahasannya harus mencerminkan ciri undang-undang yang berkelanjutan.[28]
Kesimpulan
1.      Pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi merupakan hak konstitusional bagi seluruh rakyat Indonesia, terlebih merupakan salah satu bentuk pelaksanaan cita-cita pendirian negara ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga merupakan tanggung jawab negara dalam memenuhinya. Sehingga, perlu dituangkan kedalam undang-undang.
2.      Bentuk badan hukum tertentu terhadap perguruan tinggi negeri adalah inkonstitusioal, karena hal ini lebih mencerminkan semangat etatisme terhadap hak memperoleh pendidikan bagi masyarakat.
3.      Otonomi Perguruan Tinggi harus dimaknai sebagai kemandirian penuh dalam berekspresi dan kreatifitas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta pengelolaan dana yang bebas dari kerumitan birokrasi agar lebih fleksibel sehingga peningkatan mutu pendidikan tinggi dapat tercapai.
4.      Pendanaan sebagaimana dicanangkan oleh RUU Pendidikan Tinggi merupakan suatu bentuk lepas tangan negara (pemerintah) dalam pemenuhan hak memperoleh Pendidikan Tinggi oleh rakyat Indonesia.
5.      Kesetaraan antara perguruan tinggi negeri dan yang dibentuk oleh masyarakat, baik dibidang otonomi, pendanaan adalah suatu keharusan.

Saran
1.      Kedepannya, pengundangan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Tinggi diharapkan dapat menjawab akses pendidikan bagi masyarakat secara keseluruhan dan tetap berada pada sektor publik bukan privat.
2.      Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Tinggi harus ditelaah secara komprehensif, serta dalam proses pembahasannya selain antara DPR dan Pemerintah juga harus melibatkan DPD dan publik sehingga lebih aspiratif.























Daftar Pustaka
Kamus
Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Garner , Bryan A., Black’s Law Dictonary 7 (Seventh) Edition, West Publishing Company, 1999.

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Buku
Abdul Mukthir Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekjen MKRI 2006, Kon Press.

Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum Demokratis, Jakarta : Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2008.

Saldi Isra, Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial, Jakarta, Rajawali Press, 2010.

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Jakarta, Rajawali Pers, 2010,

Laporan Kajian Strategi Pendanaan Pendidikan Tinggi, Oleh Direktorat Agama dan Pendidikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Tahun 2010
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Perkara Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009

Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006
Website
http://www.dpr.go.id/id/ruu/kesejahteraan-rakyat/Komisi10/136/RUU-TENTANG-PENDIDIKAN-TINGGI/, diakses pada 3 September 2011 pukul 07.45 WIB.

Mendiknas Hapus Jalur Mandiri di PTN” pada : http://www.antaranews.com/berita/242141/mendiknas-hapus-jalur-mandiri-di-ptn, di akses pada 5 September 2011

Rancangan Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang Tentang Perguruan Tinggi (versi akhir tahun 2010) sumber: www.dpr.go.id

Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Tinggi (versi Juli 2011) sumber: www.dpr.go.id


[1] Perubahan UUD 1945 dilakukan pada Tahun 1999-2002, amandemen ini merupakan salah satu amanah reformasi 1998.
[2] Istilah hak konstitusional (constitutional right) Perlu dibedakan dengan hak legal (Legal rights) dimana hal ini dilindungi oleh peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945 (subordinate legislations). Menurut Black Law Dictonary 7 edition, hlm. 307 berarti “A right guaranteed by a constitution”. Istilah ini juga diartikan sama oleh Abdul Mukthir Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekjen MKRI 2006, Kon Press), hlm. 140.
[3] Hak asasi manusia (the human rights) berlaku pada seluruh orang, termasuk warga negara asing yang berada di teritorial Indonesia, semenjak dicangkokkan kedalam UUD 1945, hak asasi manusia ini mendapat pengakuan sebagai hak konstitusional bagi seluruh orang. Selain HAM, terdapat pula hak warga negara (the citizen’s rights) yang diakui oleh konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) semisal hak warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, dan hal ini tidak berlaku terhadap non warga negara. Jadi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara adalah hak konstitusional. Lebih lanjut lihat Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum Demokratis,( Jakarta : Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 547-548.
[4] Bunyi Pasalnya adalah Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
[5] Bunyi Pasalnya adalah Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
[6] Ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Ayat (3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” ayat (4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”dan ayat (5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
[7] Dinyatakan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
[8] Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
[9] Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
[10] Lebih lanjut dapat dilihat pada: http://www.dpr.go.id/id/ruu/kesejahteraan-rakyat/Komisi10/136/RUU-TENTANG-PENDIDIKAN-TINGGI/, diakses pada 3 September 2011 pukul 07.45 WIB
[11] Tertuang pada Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550 dan Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550, Namun dalam pencarian literatur penulis tidak dapat menemukan isi peraturan tersebut, satu-satunya rujukan penulis terhadap undang-undang ini alah ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 mengenai pencabutan kedua Peraturan ini.
[12] Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, lebih lanjut dapat dilihat pada : Putusan Perkara Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan .
[13] Berdasarkan pertimbangan hukum pada Putusan Nomor 021/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi mewajibkan pembentuk Undang-Undang BHP agar mengindahkan rambu-rambu berukut : 1) Aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea Keempat Pembukaan), kewajiban negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan Pasal 31 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5), serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28C Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945; 2). Aspek filosofis yakni mengenai cita-cita untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada termasuk yang diselenggarakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, serta aspek yuridis yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan badan hukum; 3). Aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik; dan 4). Aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian di dalam pembentukan undang-undang mengenai badan hukum pendidikan, agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.
[14] Lebih lanjut dapat dilihat pada Pendapat Mahkamah Konstitusi padaPutusan Perkara Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009
[15] Setelah sempat berlakunya UU BHP ini, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum yang mewadahi BHMN dicabut berdasarkan Ketentuan Penutup, Pasal 221 point (a) dan (i) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
[16] Demi menjaga status BHMN tersebut dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tersebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, dan dalam hal ini hanya sekedar melaksanakan fungsi pendidikan.
[17] Sebelumnya bernama RUU Tentang Perguruan Tinggi.
[18] Menurut Saldi Isra, Walaupun dinyatakan fungsi legislasi adalah kewenangan DPR, namun ketentuan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah menjadikan posisi kedua lembaga negara ini sejajar dan sama kuat dalam fungsi ini. Lihat Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial (Jakarta, Rajawali Press, 2010).
[19] Ketentuan pada Pasal 22D UUD 1945 menyatakan DPD dapat memberikan masukan terhadap rancangan undang-undang, dan di dalamnya termasuk tentang pendidikan.
[20] Komprehensif dalam hal ini harus memiliki karakter berkelanjutan, dimana dalam pembentukannya diarahkan kepada kehidupan bermasyarakat, konsistensi dan kepercayaan, menurut Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik (Jakarta, Rajawali Pers, 2010), hal ini dapat diwujudkan melalui 3 (tiga) hal, Pertama,perlunya perencanaan pembentukan undang-undang melalui Naskah Akademis; Kedua,adanya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang; Ketiga, perlu kesesuaian antara materi muatan dengan persyaratan pembentukan undang-undang.
[21] Lebih aspiratif dalam hal ini, DPR mewakili kepentingan politis, Pemerintah mewakili kepentingan pelaksana, dan DPD mewakili kepentingan Daerah. Menjadi penting ketika berbicara pendidikan tinggi juga harus mempertimbangkan aspirasi daerah, karena notabenenya perguruan-perguran tinggi berada di daerah dan para anggota DPD tentu lebih paham mengenai kondisinya.
[22] Lihat “Mendiknas Hapus Jalur Mandiri di PTN” pada : http://www.antaranews.com/berita/242141/mendiknas-hapus-jalur-mandiri-di-ptn, di akses pada 5 September 2011
[23] Terkait biaya operasional, ketentuan lebih lanjut merujuk pada pasal 79 ayat (2), namun sangat tidak relevan dengan penjabaran Biaya Operasional yang dimaksud, pasal tersebut hanya menyinggung perihal Standar nasional pendidikan tinggi dan standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi.
[24] Berdasarkan ketentuan Pasal 83 ayat(1) RUU Pendidikan Tinggi menyatakan “PTN dapat memperoleh sumbangan pendidikan dari: a. mahasiswa; b. orang tua mahasiswa; dan/atau c. donatur”, sehingga terdapat pemisahan yang jelas antara uang masuk dari Mahasiswa dan Orang tuanya.
[25] Pasal 68 ayat (1) RUU Pendidikan Tinggi menyatakan “PTS dapat menerima bantuan biaya investasi dan biaya operasional apabila mendapat penugasan khusus Kementerian untuk melaksanakan program tertentu dari: a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; c. instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat.“ dan ayat (3) yang menyatakan bahwa “Mahasiswa PTS yang memenuhi syarat berhak memperoleh beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dari:a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah; c. instansi atau lembaga lain yang tidak mengikat.
[26] Berdasarkan Data dari Laporan Kajian Strategi Pendanaan Pendidikan Tinggi, Oleh Direktorat Agama dan Pendidikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Tahun 2010, sumber Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri yang berasal dari masyarakat dari Tahun 2006-2009 adalah: Universitas Sumatera Utara (57,70%), Universitas Indonesia (54,10%), Universitas Gajah Mada (59,85%), Universitas Pendidikan Indonesia (43,14%), Institut Teknologi Bandung (36,02%), dan Institut Pertanian Bogor (37,66%). Perlu dicatat bahwa dana yang berasal dari Pemerintah sebagian besar merupakan pembayaran Gaji dan Tunjangan Dosen dan Pegawai Negeri Sipil yang berada pada perguruan tinggi tersebut, sehingga secara tidak langsung sangatlah minim penunaian kewajiban negara dalam pemenuhan hak terhadap pendidikan (Tinggi) karena selain dari pemerintah, perolehan dana pendidikan juga berasal dari Bantuan dan Kerjasama oleh Universitas (kecuali USU). Bahkan penjabaran grafik kenaikan pendanaan yang berasal dari Masyarakat kian naik pada 5 (lima) PT BHMN pada rentang waktu 2006-2009, kecuali untuk IPB yang pada tahun 2009 mengalami penurunan.
[27] Hal ini telah diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi, tepatnya pada ketentuan Pasal 82 ayat (2) yang menyatakan “Selain dari Pemerintah, pendanaan PTN dan PTN Khusus dapat berasal dari hasil kerja sama antara PTN dan PTN Khusus dengan pemerintah daerah dan/atau dengan dunia usaha.
[28] Lihat kembali catatan kaki ke 20, perihal Asas-Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Komentar

Postingan Populer