Sengketa Pemilukada

Mengawal Sengketa Pemilukada di MK[1]

Oleh :
Ziffany Firdinal[2]

Mahkamah Konstitusi (MK) hadir setelah perubahan ketiga UUD 1945 di sahkan, lembaga negara ini bertugas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) terkait dengan empat wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya.[3] Hal tersebut membawa konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
Karena konstitusi merupakan hukum tertinggi yang mengatur penyelenggaraan negara yang berdasarkan prinsip demokrasi, maka Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the human rights),[4] sehingga mampu mewarnai cita demokrasi konstitusional[5] yang dianut oleh Indonesia.
Sengketa Pemilukada
Pada mulanya, istilah yang dipakai untuk Pemilihan Kepala Daerah adalah Pilkada dalam perkembangan selanjutnya disebut Pemilukada.[6] Berkaitan dengan sengketa pada Pemilukada, sebenarnya dapat dibagi lagi, yakni pertama, sengketa antar peserta pemilu dan kedua, sengketa peserta dengan Penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sengketa antar peserta pemilukada yakni, calon kepala daerah yang satu dengan yang lain diselesaikan melalui Bawaslu, dalam hal ini Panwaslu Daerah. Ini berdasarkan legitimasi dari Peraturan Bawaslu RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selengkapnya alur penyelesaian sengketa dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber: Lampiran Peraturan Bawaslu RI No. 24 Tahun 2009
Sementara, sengketa antara peserta pemilu dengan KPU, dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) jenis, yakni sengketa selain putusan hasil pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Bila sengketa tersebut berkenaan dengan selain putusan hasil pemilu, maka tempat penyelesaiannya adalah Mahkamah Agung, dalam hal ini PTUN.[7] Namun bila berkaitan dengan sengketa (perselisihan) hasil pemilu, maka yang berwenang adalah Mahkamah Konstitusi.
Bergesernya bandul kekuasaan mengadili sengketa pemilukada[8] yang sebelumnya pada Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, serta hasil perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ditahun 2008.[9]
Urgensi Pengawasan terhadap MK
Menilik pada praktek persidangan di Mahkamah Konstitusi, khususnya pada Sengketa Hasil Pemilu Daerah (PHPU.D).[10] Tidak dapat dipungkiri banyaknya terobosan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga hasil reformasi ini. Terobosan hukum yang dikeluarkan ini tentu saja merupakan dampak langsung dari Moto Lembaga yang menyatakan “Menegakkan Keadilan Substantif”. Namun tidak dapat dipungkiri, terobosan-terobosan hukum haruslah bebas dari segala bentuk Moral Hazard para hakimnya.
            Sebelum UUD 1945 diamandemen, sistem ketatanegaraan kita menganut asas pembagian kekuasaan (division or distribution of power) oleh MPR kepada Presiden dan DPR serta lembaga negara lainnya. Kini setelah amandemen berlangsung sebanyak 4 (empat) tahap, Indonesia menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.[11]
Pertanyaan yang paling mendasar adalah “mengapa pemisahan kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara harus dibungkus dengan saling kontrol dan mengawasi satu sama lain?”, menurut penulis, hal ini diperlukan terkait kecendrungan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dapat saja muncul. Jauh hari Lord Acton mendalilkan bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut pula (Powers tends to corrupt, absolute powers corrupts absolutely). Ini sudah cukup terbukti sepanjang perjalanan bangsa, Soekarno melanggengkan kekuasaanya dengan menyatakan diri sebagai Presiden seumur hidup melalui persetujuan MPRS, serta Soeharto dengan rezim yang hampir setengah abad berkuasa mengakar dengan segala bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotismenya.
Oleh karena itu pemisahan kekuasaan[12] yang dibungkus dengan mekanisme checks and balances merupakan suatu keharusan, mengingat pelbagai ancaman dan resiko penyelewengan kekuasaan sebagaimana diuraikan diatas. Tidak terkecuali, tirani oleh kekuasaan yudikatif (Juristocracy) juga mungkin terjadi.[13] Sehinga lembaga kontrol dan yang mengimbangi Mahkamah Konstitusi haruslah ada, terutama dalam hal pengawasan individu hakim konstitusi. 
Formulasi Pengawasan (Checks and Balances) antara MK dengan KY
Sebagaimana diketahui, tujuan dibentuknya Komisi Yudisial (KY) adalah untuk menunjang Kekuasaan Kehakiman (supporting institution). Walaupun dalam pembahasan di MPR semasa perubahan konstitusi, ide membentuk lembaga ini berkaitan dengan pengawasan hakim di lingkungan Mahkamah Agung (MA).[14] Namun tidak dapat dipungkiri, perkembangan serta dinamika ketatanegaraan yang berjalan selama ini menyiratkan perlunya pengawalan terhadap si pengawal konstitusi ini.[15]
Berkaitan dengan independensi kekuasaan kehakiman, menurut Simon Shetreet sebagaimana yang dikutip Djohansyah menyatakan Independence of Judiciary terbagi atas 4 (empat) kategori yaitu:[16]
1.      Substantive independence (independensi dalam memutus perkara),
2.      Personal independence (jaminan masa kerja dan jabatan),
3.      Internal independence (independensi dari atasan dan jabatan), dan
4.    Coollective independence (partisipasi dalam administrasi dan penentuan budget pengadilan).
Keempat jenis independensi inilah yang tidak dapat disentuh (untouchables) oleh lembaga ataupun kekuasaan yang lainnya.
Sementara, ketika berkaitan dengan integritas hakim, semisal perekrutan serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, maka dapat kawal (diserahkan) kepada KY. Terkait pendisplinan, perlu juga diakomodir mengenai majelis kehormatan hakim konstitusi yang bertugas mengadili hakim konstitusi yang disangkakan telah melanggar kode etik hakim, diharapkan selain hakim-hakim MK,[17] sebaiknya juga mengikutkan KY dalam susunan majelisnya. Hal inilah yang dapat menjadi bentuk checks and balances antara MK dengan KY, sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Bruce Ackerman mengenai “The New Separation of Powers” (Harvard Law Review, 2002).[18]
Kesimpulan
1.      Sengketa Pemilukada sudah tepat diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi, mengingat beban perkara yang teramat menumpuk di Mahkamah Agung serta berbagai hal lain yang memicu dialihkannya kewenangan menyelesaikan perkara ini.
2.      Urgensi pengawalan terhadap Mahkamah Konstitusi, yang dalam hal ini adalah pengawasan dan pendisiplinan terhadap hakim konstitusi demi menjaga integritas amatlah besar, karena para hakim konstitusi merupakan  para penafsir konstitusi yang akan melindungi hak-hak konstitusional warga Negara.
3.      Diperlukan suatu komisi independen yang mampu mengawal yakni Komisi Yudisial.
Saran
1.      Perbaikan norma yang berkaitan dengan sengketa pemilukada ini sebaiknya diperbaiki agar mampu menampung aspirasi demokrasi yang substansial dalam Pemilihan Umum.
2.      Kedepan, diharapkan amandemen UUD 1945 dapat mengakomodir relasi antara Komisi Yudisial dengan kedua lembaga Kekuasaan Kehakiman yang telah ada, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
3.      Serta Pembaharuan secara komprehensif Undang-undang terkait (UU Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial), menjadi hal yang bisa dikatakan mendesak.
TENTANG PENULIS

*      Biodata
o   Nama                                       : Ziffany Firdinal
o   Jenis Kelamin                           : Laki-Laki
o   Alamat                                     : Jl Palinggam Baru No.15, Kec Padang Selatan, Padang
o   No. Tlp/Hp                              : 085274766016
o   E-Mail                                     : zivan08@gmail.com
o   Blog                                        : http://ziffan.blogspot.com/

*      Riwayat Pendidikan
o   SD                                           : SD N Percobaan 05 Bukittinggi
  (2002)
o   SMP                                        : SMP N 3 Bukittinggi (2005)
o   SMA                                       : SMA N 4 Bukittinggi (2005)
: SMA N 1 Kalianda, Lampung, Selatan(2006)
: SMA N 1 Binamu, Jeneponto, Sulsel (2008)
o   Pendidikan Tinggi                       : Fakultas Hukum Universitas Andalas (2008 - Sekarang)

*      Organisasi, Prestasi Akademik dan Lainnya
o   Peneliti Muda pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (2009-Sekarang)
o   Koordinator Gerakan Mahasiswa Demokrasi (GMD) Fakultas Hukum Universitas Andalas (2009-Sekarang)
o   Ketua Umum KPT (Komunitas Pelajar Turatea) Periode 2007-2008
o   Litbang UKMF LPPI (Lembaga Pengkajian dan Penulisan Ilmiah) Fakultas Hukum Unand (2008-2009)
o   Asisten Peneliti pada Putusan Hakim, Kerjasama PUSaKO (Pusat Studi Konstitusi) Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan KY (Komisi Yudisial)  Republik Indonesia (2009 & 2010)
o   Staf Persidangan Jarak jauh PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) anggota DPR, DPD, DPRD Sumatera Barat 2009, PHPU.D (Perselisihan Hasil Pemilu Daerah) Sumatera Barat 2010
o   Juara I Lomba Essa Kritis Mahasiswa Nasional Sciencesational UI 2010


[1] Disampaikan pada Seminar Mahasiswa Nasional “Menoropong  Masa Depan Pemilukada di Indonesia”, Kamis 19 Mei 2011 yang  diadakan oleh IMA-HTN Fakultas Hukum Jember.
[2] Mahasiswa dan Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
[3] Empat wewenang yang dimiliki adalah:  mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya dibrikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Serta Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
[4] Mahkamah Konstitusi RI, Menuju Peradilan Modern & Terpercaya, Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI,(Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 28.
[5] Perubahan Ketiga terhadap Pasal 1 ayat (2) mengukuhkan konsep demokrasi konstitusional di Indonesia, selengkapnya berbunyi ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
[6] Pilkada yang semula diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah lebih menonjolkan rezim pemilu kepala daerah ke daerah, bukanlah sebagai pemilihan umum sebagaimana diatur selanjutnya melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007, pengukuhan rezim pemilukada pada pemilu selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Perubahan UU Pemda). Lebih jauh menilik kebelakang, awal mula bergesernya Pemilihan Kepala Daerah dari rezim Pemerintahan Daerah ke rezim Pemilihan umum adalah implikasi dari Putusan MK No. 72-73/PUU/2004,.
[7] Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2010, sebelumnya putusan KPU yang berkaitan dengan pemilu tidak dapat digugat ke PTUN, namun sesuai perkembangan, ketentuan tersebut dicabut sebagai “pelunakan” dari ketentuan pasal 2 point (7) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (Perubahan pertama atas UU PTUN Nomor 5/1986) yang menyatakan “Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.” Tidak termasuk kategori keputusan Tata Usaha Negara yang dapat di gugat diPTUN
[8]   Sengketa Hasil Pemilihan Umum.
[9] Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
[10] Untuk membedakan antara sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum biasa (Pemilu Presiden/ DPR/ DPD/DPRD) dengan Pemilihan Kepala Daerah, dalam register Perkaranya MK menggunakan penamaan PHPU.D.
[11] Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : MKRI dan Pusat Studi Hukum tata Negara FH UI, 2004), hlm. 58.
[12] Lembaga negara dalam hal ini termasuk juga Komisi Independen, sebagaimana dikutip oleh Denny Indrayana, Bruce Ackerman, “The New Separations of Powers” dalam The Harvard Law Review, menulis bahwa di Amerika Serikat ada sistem pemisahan kekuasaan baru yang melingkupi Presiden, DPR, Senat, MA dan Komisi-komisi Independen (Independen agencies). Dicontohkannya adalah Federal Reserve Bank, yang saling kontrol dan saling imbang dengan cabang-cabang kekuasaan  eksekutif, legislatif, dan yudikatif, Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor,( Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008), hlm. 61.
[13]Perihal Juristrocracy dapat dilihat pada makalah Zainal Arifin Mochtar “Menggarap Penegakan Hukum Demi Demokrasi, Di Antara Diskursus Juristocracy Vs Demokrasi” pada seminar “Penguatan Kewenangan dan Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Demokrasi Konstitusional di Indonesia” Padang, 22 Oktober 2010.
[14]Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negarta Republik Indonesia tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman. (Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi, 2008), hlm. 413-467.
[15] Penulis menyimpulkan hal ini dari beberapa sesi seminar “Penguatan Kewenangan dan Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Demokrasi Konstitusional di Indonesia” Padang, 22 Oktober 2010, pada seminar tersebut, Bambang Widjajanto menyatakan perlunya lembaga penyeimbang (cheks and balances) bagi Mahkamah Konstitusi, Zainal Arifin Mochtar juga menyatakan bahaya Juristocracy yang menggantikan demokrasi kita, dalam satu kesempatan beliau mengatakan “mahkamah konstitusi bukanlah tuhan, begitupula dengan hakim-hakimnya, mereka bisa saja salah dan khilaf suatu ketika”, serta penulis berkesempatan bertanya pada I Dewa Gede palguna (mantan hakim konstitusi) mengenai ide pengawasan eksternal terhadap MK, beliau setuju dan menyatakan hal ini amatlah penting untuk diakomodir, baik dalam UUD 1945 Maupun Undang-Undang.
[16] Djohansyah h, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2008) , hlm. 137.
[17] Sebelum diteruskan ke Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi diputus terlebih dahulu oleh Panel Etik yang anggota keseluruhannya sebanyak 3 (tiga) orang hakim konstitusi, pada saat dibentuk, Majelis Kehormatan Konstitusi ini dibentuk dengan komposisi 2 (dua) orang hakim konstitusi yang berasal dari panel etik, seorang mantan hakim agung atau hakim konstitusi, seorang guru besar hokum, serta seorang mantan ketua lembaga Negara. Pada saat ini, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dibentuk berdasarkan pasal 23 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, pada pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10 Tahun 2006, serta kode etiknya dikukuhkan kedalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2006.
[18] Lihat catatan kaki ke 12 mengenai kemungkinan checks and balances antara KY dengan MK.

Komentar

Postingan Populer