Pencucian Uang

Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Perbankan[1]
(Tinjauan Komparatif Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)

Oleh:
Ziffany Firdinal[2]
(0810112196)

Pendahuluan
Tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) merupakan salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime). Istilah pencucian uang (Money Laundering) muncul ketika Al Capone salah satu mafia besar di Amerika Serikat pada tahun 1920-an memulai bisnis tempat cuci otomatis (Laundromats). Bisnis ini ia pilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyeludupan minuman keras sebagai hasil usaha legal. Menariknya, Al Capone tidak dituntut atas kejahatan tersebut, namun dipenjara karena melakukan penggelapan pajak.[3]
Sebelum tahun 1986,[4] tindakan pencucian uang ini tidak tergolong sebagai kejahatan. Bahkan Praktek kegiatan pencucian uang ini tidak lagi sesederhana yang dilakukan oleh Al Capone, pencucian uang dilakukan antara lain melalui jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk melakukan investasi yang melibatkan banyak pihak, tidak hanya bersifat domestik namun juga antar negara.[5] Hal ini memicu kekhawatiran internasional terhadap perkembangan kejahatan ini, pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung di dalam G7 (Group 7) melahirkan The Financual Action Task Force (FATF) on Money Laundering yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perUndang-Undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank.
Indonesia sendiri “sempat” terdaftar sebagai salah satunegara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, hingga Februari 2005 setelah FATF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pimpinan instansi yang menangani money laundering, serta Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriuasan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering. Patut digaris bawahi Indonesia telah memiliki payung hukum terhadap tindak pidana pencucian uang ini semenjak tahun 2002, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan Nomor 25 Tahun 2003, dan terakhir pada 2010 diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Pengganti kedua Undang-Undang sebelumnya).

Kaitan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Perbankan
Menurut Zulkarnain Sitompul,[6] kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki resiko yang sangat besar. Resiko tersebut antara lain:
  1. 1.      Resiko operasional,
  2. 2.      Resiko hukum,
  3. 3.      Resiko terkonsentrasinya transaksi, dan
  4. 4.      Resiko reputasi.

Ia juga menyatakan bahwa keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
  • a.      Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box;
  • b.      Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/giro;
  • c.      Penukaran pecahan uang hasil perbuatan ilegal;
  • d.     Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;
  • e.      Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;
  • f.       Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan
  • g.      Pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Belum lagi dengan berlakunya sistem RTGS (Real Time Gross Settlement), maka dalam hitungan detik pemindahan dana hasil kejahatan dapat dilakukan, ditambah penggunaan media elektronis dalam proses transfer (electronic funds transfer) akan lebih menyulitkan bila penempatan dana dinegara yang secara ketat menerapkan ketentuan rahasia bank seperti di Swiss, semisal penggunaan layanan nomor rekening istemewa (nostro account) yang mengidentifikasikan nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk melakukan transaksi, dalam hal ini bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksinya.
Payung Hukum Baru Bagi Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No 8 Tahun 2010)
Tepatnya pada 22 Oktober 2010, pengundangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan. Menurut penjelasan Undang-Undang ini, telah mengubah sedikitnya 15 (lima belas) materi muatan yang ada pada regulasi sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (tentang Tindak Pidana Pencucian Uang) dan 25 Tahun 2003 (tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002) yakni:[7]
1.      Redefenisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian uang;
Pada Undang-Undang sebelumnya defenisi pencucian uang adalah “Perbuatan menempatkan, mentranfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.[8] Sementara pada Undang-Undang ini, “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.[9] Dapat dilihat bahwa perubahan baru ini memperlebar definisi yang ada sehingga mampu menaungi perkembangan pencucian uang yang kian pesat.
2.      Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
Perluasan dan penambahan sanksi serta dilengkapinya undur-unsur tindak pidana pada Undang-Undang baru ini, dapat dilihat pada pemberian sanksi per-jenis tindak pidana serta unsur-unsur yang diperluas agar dapat mencakupi perkembangan tindak pidana pencucian ini.[10]
3.      Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan administratif;
Pengaturan baru mengenai penjatuhan sanksi pidana dan administratif (bagi korporasi yang terbukti melakukan pencucian uang) ini dapat dilihat pada pasal 7 ayat (2) yang menyatakan “selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pengumuman putusan hakim; b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c. Pencabutan izin usaha; d. Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; e. Perambasan aset untuk negara; dan/atau f. Pengambilan korporasi oleh negara. Bila dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya sanksi administratifnya lebih luas karena hanya mencantumkan penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.[11]
4.      Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa;
Hal ini tercermin dari munculnya penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Custemer Rule).[12] Pada pengaturan sebelunya hanya berupa ketentuan Identitas Nasabah yang jelas pada setiap tingkat transaksi pada Penyedia Jasa Keuangan.[13]
5.      Perluasan Pihak pelapor
Pada Undang-Undang baru ini pihak pelapor meliputi 2 (dua) kategori yakni Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang, dan/atau Jasa Lain.[14] Sementara pada Undang-Undang sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa Keuangan.[15]
6.      Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
Jenis laporan yang dilakukan pada Undang-Undang baru ini meliputi dua jenis yaitu oleh Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia barang dan/atau Jasa.[16] Sementara pada Undang-Undang sebelumnya hanya terdiri dari Penyedia Jasa Keuangan.[17] Hal ini juga diikuti dengan ketentuan baru transaksi yang dikecualikan untuk dilaporkan yakni: transaksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan dengan Pemerintah dan Bank Sentral, transaksi untuk membayar gaji atau pensiun, dan transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK sementara pada Undang-Undang sebelumnya meliputi: transaksi antar bank,transaksi dengan pemerintah, transaksi dengan bank sebntral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.

7.      Penataan mengenai pengawasan kepatutan;
Bila pada Undang-Undang sebelumnya tidak didapati sanksi bagi pihak pelapor terkait pelaporan transaksi mencurigakan, maka pada Undang-Undang baru ini terdapat ketentuan tersebut, yakni pada Bagian Keempat, Pengawasan Kepatutan di BAB IV mengenai Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan, Ketentuan pasal 31 hingga 34, Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 ini. 
8.      Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda Transaksi;
Pemberian kewenangan pada pihak pelapor untuk menunda transaksi merupakan ketentuan baru yang tidak terdapat pada Undang-Undang sebelumnya. Ketentuan ini memberikan kewenangan pihak pelapor untuk menunda transaksi selama maksimal 5 (lima) hari berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang baru ini, dan harus melaporkan pada PPATK dalam kurun waktu maksimal 1x24 jam terhitung penundaan transaksi tersebut dilakukan.
9.      Perluasan kewenangan direktorat jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
Pada undang-undang baru ini dilakukan perluasan direktorat jenderal Bea dan Cukai untuk meminta informasi mengenai pembawaan uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau dalam bentuk instrumen lain yang senilai paling sedikit 100.000.000 (seratus juta rupiah).  Serta ketantuan denda (administratif) sebesar 10% apabila orang yang membawa tersebut tidak melaporkan ataupun melaporkan tidak dengan jumlah sebenarnya pada Bea dan Cuakai.[18]
10.  Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
Ketentuan mengenai pemberian kewenangan penyidikan pada penyidik tindak pidana asal merupakan suatu terobosan baru dalam pemberantasan pencucian uang, dalam ini berarti hasil korupsi yang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lainnya dapat tetap diselesaikan oleh penyidik yang tersebut sesuai dengan kewenangannya tersebut.[19]
11.  Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
Bila pada undang-undang sebelumnya instansi yang dapat menerima hasil analisis dan pemeriksaan PPATK hanya Kejaksaan dan Kepolisian,[20] maka dengan ketantuan baru dapat diberikan pada KPK.[21]
12.  Penataan kembali kelembagaan PPATK
Kelembagaan PPATK kembali disusun ulang oleh undang-undang baru ini, struktur serta “konsistensi”-nya sebagai lembaga independen kembali dikukuhkan dengan kehadiran Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan “PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun” serta pembenahan struktur organisasi dan keuangan pada undang-undang ini. Namun tidak dapat dipungkiri “nafas” independensi tersebut seolah-olah ditahan oleh ketentuan Pasal 53 yang menyatakan kepala dan wakil kepala PPATK diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Karena dalam khasana teoritis suatu lembaga negara yang dikonstruksikan independen, pimpinan lembaga negara tersebut tidak dapat semena-mena diberhentikan ataupun diangkat oleh satu cabang keuasaan (dalam hal ini Presiden) namun melalui proses cheks and balances oleh cabang kekuasaan lain (dalam hal ini DPR/Parlemen) serta proses tersebut haruslah dikukuhkan dalam Undang-Undang yang terkait.
13.  Penambahan kewenangan PPATK termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi;
Penambahan beberapa kewenangan baru pada PPATK termasuk ketentuan mengenai penghentian sementara transaksi yang mencurigakan oleh lembaga ini dapat ditemui dalam undang-undang baru ini.[22]

14.  Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan
Hukum acara pada pemeriksaan tindak pidana pencucian uang ini dilakukan secara lebih komprehensif, hal ini dapat dilihat pada ketentuan baru dari Pasal 68 sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang baru ini dengan ketentuan Pasal 30 sampai Pasal 38 undang-undang nomor 15 tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
15.  Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
Pengaturan yang lebih rigid mengenai penyitaan harta kekayaan yang bersal dari tindak pidana dalam kasus pencucian uang dapat ditemui pada undang-undang baru ini. Ketentuan mengenai pengajuan keberatan bagi pihak yang berkepentingan terhadap harta kekayaan yang disita merupakan ketentuan baru dalam undang-undang ini, dimana pada undang-undang lama tidak ditemui.
Kesimpulan
1.      Tindak pidana pencucian uang dengan perbankan memiliki kaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan, dalam hal ini Perbankan menjadi salah satu objek tindak pidana pencucian uang serta dalam penyelesaian tindak pidana pencucian uang amat membutuhkan jasa Perbangkan dalam kaitannya sebagai salah satu instrumen penting penerapan anti pencucian uang.
2.      Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah mampu menutupi celah-celah (loop hole) yang ada sebelumnya pada perangkat hukum sebelumnya. Namun tidak dapat dipungkiri masih terdapat kelemahan dalam undang-undang ini, semisal penataan kelembagaan PPATK yang dikonstruksikan independen namun ternyata berbenturan dengan posisi pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala PPATK oleh Presiden.  

Saran
1.      Kesiapan aparatur penegak hukum dan budaya masyarakat yang anti-pencucian uang perlu dimaksimalkan, mengingat kedua hal ini merupakan kunci penting dalam penegakan hukum. Hal ini sejalan dengan teori Laurence M. Friedman tentang penegakan hukum yang minimal melingkupi tiga hal pokok, yakni: Substance, Structure, dan Culture.
2.      Dalam hal menutupi kelemahan yang ada pada kelembagaan PPATK ini perlu dilakukan Executive Review, Legislative Review, ataupun Yudisial Review terkait ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala PPATK pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 ini.




Padang, 14 Februari 2011



Daftar Bacaan:
ü  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
ü  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
ü  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang.
ü  Makalah: Tindak Pidana Perbankan dan Pencucian Uang (Money Laundering) oleh: Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., L.LM.
ü  Makalah: Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) oleh: Sie Infokum Ditama Binbangkum Polri.


[1] Essai ini sebagai pengganti ujian tengah semester mata kuliah Hukum Perbankan, semester ganjil, tahun ajaran 2010/2011.
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas.
[3] Lebih lanjut dapat dilihat pada makalah: Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), oleh: Sie Infokum Ditama Binbangkum Polri, hlm. 1.
[4] Sebelum pengundangan Money Laundering Central Act, di Amerika Serikat.
[5][5] Berdasarkan pengakuan seorang mafia obat bius Meyer Lansky, Sie Infokum Ditama Binbangkum Polri, Loc. Cit., hlm. 1.
[6] Makalah: Tindak Pidana Perbankan dan Pencucian Uang (Money Laundering), disampaikan seminar perbankan, Padang, 19 Mei 2003.
[7] Lihat pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164 Tahun 2010
[8] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002
[9] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang.
[10] Dapat dilihat pada BAB II tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dari Pasal 3 sampai pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, bandingkan dengan ketentuan sebelumnya pada pasal 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 Jo Undang-Undang nomor 25 tahun 2003.
[11] Ketentuan ini dapat dilihat pada pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
[12] Dapat dilihat pada: Bagian Kedua dari BAB IV tentang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang.
[13] Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
[14] Pada Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 ini yang dimaksud dengan pihak pelapor adalah Penyedia jasa keuangan yakni: bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi,kustodian, wali amanat, perposasan sebagai penyedia jasa giro, pedagang valuta asing, penyenggara alat pembayaran menggunakan kartu, penyelenggaraan e-money dan/atau e-wallet, koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam, pegadaian, perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan berjangka komoditi, atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang, serta b. Penyedia barang dan/atau jasa lain, yakni: perusahaan properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang barang seni dan antik, dan balai lelang. (pasal 17 ayat (1) dan (2))
[15] Penyedia jasa keuangan pada Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 Jo Undang-Undang nomor 25 adalah: setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun , perusahaan asuransi, dan kantor pos.
[16] Lihat pasal 23 Undang-Undang nomor 8 tahun 2010
[17] Lihat pada pasal 13 Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang nomor 25 tahun 2003
[18] Lihat ketentuan BAB V tentang Pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia yakni pasal 34 hingga pasal36 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang
[19] Lihat pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tidak Pidana Pencucian Uang.
[20] Lihat pada pasal 26 point g yang berbunyi “melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kejaksaan san Kepolisian”.
[21] Hal ini dapat disimpulkan dengan kewenagan penyidik asal untuk melakukan penyidikan, dalam hal ini bila terkait korupsi maka informasi PPATK dapat diberikan pada KPK.
[22] Lihat pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang, bandingkan dengan ketentuan pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Komentar

Postingan Populer