Langkah Awal Memakzulkan (Wakil) Presiden ?


Oleh:
 Ziffany Firdinal
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Rabu lalu (12/1/2011), ketukan palu Hakim Konstitusi menyatakan ketentuan kuorum 75% anggota DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat adalah  inkonstitusional. Mahkamah Kontitusi (MK) mengabulkan permohonan dengan mengkoreksi ketentuan kuorum tersebut menjadi “hanya” 50% plus 1, dengan kata lain membuka pintu pemakzulan.
Putusan MK tersebut merupakan pelepas dahaga di tengah kekeringan perkembangan kasus centurygate. Namun patut diingat, pengajuan hak menyatakan pendapat bukanlah rintangan utama pada jalan menuju pemakzulan (wakil) presiden. Karena pada proses pemakzulan ini warna politis lebih dominan bermain dibandingkan supremasi hukum itu sendiri.




Ancaman Reshuffle
Selang beberapa waktu setelah pembacaan putusan MK tersebut, isu reshuffle secara deras digelontarkan turun menghantui para politisi “pro” pemerintah. Ini kembali membuka memori setahun silam, ketika kabinet indonesia bersatu jilid II belum genap 100 hari, isu reshuffle dikumandangkan oleh sekjen Partai Demokrat, ketika itu Amir Syamsuddin.
Bila tahun lalu yang merongrong pemerintah adalah komitmen pada pelaksanaan hak angket, maka kini, ketika barisan sergab “digoda” untuk pecah melancarkan langkah awal menuju pemakzulan, isu reshuffle kembali menjadi “senjata” andalan untuk mengancam. Bila ditarik benang merah pada dua kejadian ini, yang muncul adalah komitmen koalisi seolah-olah diuji dengan blunder isu perombakan kabinet.
Sidang paripurna pada hari Rabu (3/3/2010) menyepakati Opsi C yang menyatakan bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun bermasalah. Sebanyak 325 anggota dari 537 anggota yang hadir memilih Opsi C tersebut, sedangkan yang menyatakan proses prosedur bailout tidak bermasalah, atau Opsi A dipilih oleh 212 anggota DPR. Penyelesaian akhir yang ditunggu hampir setahun telah berlalu, penyelesaian diranah penegak hukum belum dirasakan maksimal, kini terbukanya kembali “jalan masuk” ke palu yudikatif bagi (wakil) presiden oleh MK menjadi harapan akan adanya penyelesaian terhadap hasil pansus hak angket tersebut.
Menariknya, koalisi kini berbaris pada sekretariat gabungan (setgab) 422 kursi atau dengan kata lain lebih dari 75% anggota parlemen, tentu saja barisan “parlemen kedua” ini diatas kertas mampu menghadang keinginan membuktikan kebenaran  Opsi C tersebut. Dan bukan tidak mungkin, langkah awal menuju pemakzulan ini menjadi semacam tawar-menawar bagi reshuffle kabinet kedepannya.
Pemakzulan, Masih Jauh?
Kalaupun langkah tersebut berhasil diambil DPR, perjalanan panjang menuju pemakzulan (wakil) presiden masih menemui berbagai hambatan. Menurut ketentuan Pasal 7A UUD 1945, DPR dapat mengajukan pendapat kepada MK apabila terdapat dugaan presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Merupakan kewajiban hukum bagi DPR untuk membuktikan pendapatnya tersebut, apalagi MK telah resmi mengatur hukum acara pengajuan pendapat DPR ini pada PMK NO 19 Tahun 2009 lalu.
Bila berkenaan dengan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, suap, dan tindak pidana berat lainnya tentu saja tolak ukurnya jelas, Undang-undang dan sederet peraturan lainnya secara jelas telah menguraikannya. Senada dengan itu, pendapat tidak memenuhi syarat sebagai presiden maupun wakil presiden pengaturannya jelas tertuang pada Pasal 6 UUD 1945 serta undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sayangnya, bila dibawakan pada centurygate yang notabenenya “berlangsung” sebelum (wakil) presiden menjabat, menjadi mentah kembali untuk menjadi klausul pelanggaran hukum, ataupun ketidakmampuan memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden. Solusi sederhana yang dapat diambil adalah karena “perbuatan tercela”.
Berdasarkan tafsir undang-undang  MK (No.24 Tahun 2003) perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden maupun wakil presiden. Walaupun kebijakan bailout dilakukan “sebelum” masa jabatan, apabila terbukti, hal ini jelas-jelas dapat merendahkan martabat (wakil) presiden dan memenuhi “unsur” perbuatan tercela tersebut.
Kewajiban bagi MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut dalam kurun waktu sembilan puluh hari, sementara amar putusan pemakzulan presiden ini hanya ada tiga jenis, yaitu: tidak dapat diterima, menyatakan membenarkan pendapat DPR, dan menyatakan permohonan ditolak.
Proses pemakzulan hanya dapat terus berjalan ke MPR bila amar putusan MK membenarkan pendapat DPR tersebut.

Langkah Awal Memakzulkan
Ketika amar putusan berhasil memuluskan pendapat DPR tersebut ke MPR, jalan terjal dan berliku akan ditemui akibat MPR tidak memiliki “kewajiban” memenuhi isi putusan MK tersebut. Serta menilik konfigurasi MPR yang sebahagian besar () merupakan politisi (DPR), sementara pada perorangan (DPD) merupakan minoritas(1/3), tentu saja “politisasi” terhadap pemakzulan amat mungkin terjadi, ditambah lagi dengan dibukanya pintu kesempatan (wakil) presiden untuk memberikan “penjelasan” atas pendapat DPR semula.
Memang benar dominasi warna politis tidak dapat dihindari pada jalan panjang pemakzulan (wakil) presiden ini, politik bargaining (tawar-menawar) amat mungkin terjadi ditengah tarik ulur kepentingan politik dalam lingkaran kekuasaan yang ada. Akan tetapi, tidak mungkin perjalanan panjang dapat ditempuh tanpa sebuah langkah awal yang berpihak pada kepentingan rakyat, jadi bagaimana DPR ?

Padang Ekspres, Jum'at 21 Januari 2010

Komentar

Postingan Populer