Penegakan Hukum Berlalu Lintas



Meningkatkan Penegakan Hukum Berlalu Lintas di Kota Padang
(Mengimplementasikan Teori Lawrence M. Friedman tentang Subtance, Structure, dan Culture pada Penegakan Hukum Berlalu Lintas di Kota Padang)[1]
Oleh:
Ziffany Firdinal[2]

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).[3] Oleh sebab itu, hal ini membawa konsekuensi pada penyelenggaraan negara yang harus berlandaskan hukum yang berlaku, termasuk pada penegakan hukum berlalu lintas dimana segala aturan yang berlaku menjadi landasan bagi aparat penegak hukum untuk melaksanakan kewajiban dan wewenangnya. Termaktub dengan jelas pada landasan filosofis pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan[4] bahwa pembangunan dan intregrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 setelah perubahan merupakan peran strategis dari lalu lintas dan angkutan jalan.
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan lalu lintas di Indonesia kian pesat, jumlah kendaraan yang semakin meningkat tidak dibarengi dengan kapasitas jalan yang memadai. Bahkan fakta telah menyatakan  di Indonesia dari tahun 2008 sampai 2009 telah terjadi peningkatan angka kecelakaan, yaitu dari 18 ribu menjadi 19 ribu kasus, penyumbang terbesar angka kecelakaan tersebut didominasi oleh kendaraan roda dua yaitu sebanyak 70%.[5] Di Sumatera Barat sendiri pertumbuhan kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor meningkat drastis. Pada tahun 2007 jumlah kendaraan yang tercatat di Rektorat Lantas Polda Sumbar hanya 829.062, ditahun 2009 meningkat menjadi 1.107.728 sepeda motor.[6] Khusus di Kota Padang, angka kecelakaan yang tercatat (dilaporkan) juga ikut meningkat yaitu 433 kasus pada tahun 2007 dan 598 kasus pada tahun 2008.[7]
Bila ditilik pada tataran normatif,[8] sistem hukum yang hendak dibangun oleh undang-undang tentang lalu lintas dan angkutan jalan ini sangatlah mumpuni jika dibawakan pada kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kontemporer. Namum sistem hukum yang hendak dibangun tersebut merupakan bagian kecil dari pembangunan hukum sebagaimana yang diutarakan oleh Lawrence M. Friedman, menurutnya ranah pembangunan hukum sekurang-kurangnya harus menyangkut tiga hal pokok yaitu subtance, structure, dan culture. Berkaitan dengan  structure, dan culture inilah hukum tersebut berjalan secara empiris dan dirasakan di tengah masyarakat.[9] Ketiga hal yang menjadi hal pokok inilah yang penulis akan utarakan sebagai solusi bagi penegakan hukum berlalu lintas pada umumnya dan khususnya di Kota Padang.

Subtance, Structure, Culture Hukum dalam Berlalu Lintas
            Pertama, Subtance (substansi) hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan mengenai lalu lintas. Berdasakan landasan keluarnya pengaturan baru mengenai lalu lintas di tahun 2009 silam, hal ini tidak luput dari perkembangan serta dinamika keadaan yang berkembang di tengah masyarakat, ini dapat dilihat dalam penjelasan undang-undang tersebut bahwa lalu lintas dan angkutan jalan amat sentral dalam memegang peran untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban yang berimbas pada pembangunan ekonomi dan pengembangan iptek, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.[10]
Berbagai pengaturan serta peristilahan baru muncul pada peraturan tersebut, seperti dibentuknya wadah yang merepresentasikan kepentingan para pemangku kebijakan dalam hal ini instansi-instansi pemerintah, akademisi, dan masyarakat kedalam badan ad hoc yakni Forum Lalu Lintas.[11] Adanya upaya terpadu dalam bentuk Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota.[12] Dimunculkannya managemen dan rekayasa lalu lintas,[13] managemen kebutuhan lalu lintas,[14] pusat kendali sistem informasi dan komunikasi lalu lintas,[15] diharuskannya agar pembagunan mempunyai analisis dampak lalu lintas[16] dan pengaitan isu lingkungan yang memang menjadi permasalahan yang cukup sensitif dibicarakan baik ditingkat global maupun regional. Serta pemberian sanksi yang jelas dan tegas, baik dari segi sanksi pidana maupun administratif.
Bila dikaji dan ditelaah secara garis besar, perkembangan pembangunan hukum dalam hal ini substansi ataupun pengaturan mengenai lalu lintas amatlah mampu menjawab kebutuhan akan berlalu lintas yang lebih baik. Namun hal tersebut merupakan bentuk hukum yang ideal yang direncanakan. Sementara dalam tataran pelaksanaan dilapangan beberapa aspek penting juga harus mampu dibentuk.
Kedua, structure (struktur) hukum ialah aspek yang perlu diperhatikan sebagai pendukung substansi hukum yang telah dibuat untuk diidealkan tersebut, dalam hal ini dapat dimaknai sebagai aparatur penegak hukum[17] serta sarana dan prasarana. Bila dikaitkan dengan pembangunan aparatur, hal ini lebih kepada peningkatkan integritas para penegak hukum yaitu kepolisian. Para polisi yang menjalankan tugas dalam penegakan hukum berlalu lintas haruslah memiliki sikap dan prilaku yang baik, serta memiliki bekal kompetensi yang memadai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Berbagai solusi seperti peningkatan wawasan dapat dilaksanakan secara terprogram dan sistematis, bisa dimulai dari jenjang perekrutan serta pelatihan-pelatihan keprofesian terjadwal. Selain wawasan dan kemampuan praktis hal yang sangat penting adalah kesejahteraan yang memadai, program-program pemerintah harus mampu memenuhi hal ini. Remunerasi ditubuh institusi merupakan suatu kewajiban disertai pengawasan terhadap pelaksanaannya secara akuntabel, serta amat perlu didorong untuk melanjutkan reformasi birokrasi.
Selain aparatur, dalam struktur hukum yang akan dibangun juga meliputi sarana dan prasarana sebagai implikasi dari pelaksanaan peraturan-perundang-undangan terkait, undang-undang ini memperkenalkan hadirnya teknologi informasi dalam tertib berlalu lintas. Peluang modernisasi dalam penegakan hukum ini dapat diapresiasikan sebagai langkah maju, namun tentu saja peluang ini harus mampu ditangkap dan dilaksanakan dengan baik. Infrastruktur seperti CCTV (Close Circuit Television) di tempat-tempat yang strategis merupakan salah satu bentuk realisasinya.
Selain moderenisasi, pembangunan jalan, terminal, sarana penyeberangan, maupun perencanaan tata kota yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan demi menjaga keberlangsungan lalu lintas yang memadai siring perkembangan dan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor. Satu hal yang perlu menjadi cacatan bagi kita semua, bahwa penyelenggara jalan yang dalam hal ini adalah dinas pekerjaan umum dapat dituntut apabila terjadi kecelakaan yang diakibatkan oleh rusaknya sarana dan prasarana jalan tersebut.[18]
Implementasi analisis dampak lalu lintas[19] pada seluruh pembangunan yang akan dilaksanakan di kota Padang merupakan suatu kewajiban dan bila melihat pada landasan berlakunya analisis dampak lalu lintas ini meliputi setiap rencana  pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur[20] yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. [21]
Ketentuan mengenai analisis dampak lalu lintas tersebut harus memuat sekurang-kurangnya beberapa hal, yakni analisis bangkitan dan tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, simulasi kinerja Lalu Lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan, rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak,   tanggung jawab Pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak, dan rencana pemantauan dan evaluasi.
Hasil analisis dampak Lalu Lintas tersebut menjadi salah satu syarat bagi pengembang untuk mendapatkan izin Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah menurut peraturan perundang-undangan, dan yang melakukan analisis dampak lalu lintas tersebut dilakukan oleh lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat dan harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam hal ini adalah instansi yang membidangi Jalan, instansi yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.[22]
   Ketiga, aspek lain yang tidak kalah penting adalah membangun culture (budaya) berhukum yang  memadai di tengah masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, suap menyuap yang terjadi dilapangan oleh oknum polisi dan masyarakat juga berdasarkan inisiatif dari para pelanggar. Permasalahan ini sedapat mungkin ditekan dengan upaya peneguran yang didahulukan sebelum penindakan dilaksanakan. Sebagai contoh, bila seseorang melanggar ketentuan untuk menghidupkan lampu utama pada siang hari langsung ditilang, orang tersebut akan terkejut dan sedapat mungkin mengelak (dengan cara “halus”/mencoba dengan uang damai), sedapat mungkin upaya penyadaran dilakukan pada tataran ini, sebaiknya diutamakan teguran lisan yang disertai penyuluhan langsung mengenai ketentuan baru tersebut, serta berbagai bentu nyata lainnya.
Selain itu, bayangan yang muncul di tengah masyarakat berkaitan dengan penyelesaian masalah, khususnya pelanggaran lalu lintas akan semakin rumit bahkan “dirumit-rumitkan”. Upaya yang dapat ditempuh oleh kepolisian semisal memotong birokrasi yang cenderung berbelit-belit serta memperbaiki citra buruk yang muncul di tengah masyarakat. Serta berbagai penyuluhan langsung dengan mengupayakan program-program yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat misalnya program “polisi sahabat anak”, “polisi sahabat mahasiswa”, “polisi sahabat masyarakat”, dan lainnya.
Kesimpulan
Dalam penegakan hukum berlalu lintas, tiga aspek pokok yang harus diperhatikan oleh para pemangku kepentingan, yaitu pertama, substansi, kedua struktur hukum yang akan dibentuk, serta ketiga, budaya hukum yang harus ditingkatkan. Bila menilik pada substansi hukum yang telah dibentuk dalam hal ini Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mampu menjadi payung hukum bagi penegakan hukum berlalu lintas, namun harus diingat pembangunan hukum yang diidealkan tersebut harus juga menyentuh pada tingkatan struktur hukum yang dalam hal ini aparat dan sarana prasarana pendukung, serta membangun budaya hukum yang memadai di tengah masyarakat.
Saran
            Solusi yang dapat penulis sampaikan untuk mengimplementasikan gagasan meningkatkan penegakan hukum berlalu lintas yang melingkupi pengembangan substansi, struktur, dan budaya hukum dalam berlalu lintas yakni:
1.      Perlunya peran aktif pemerintah dalam hal melengkapi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam hal ini membentuk peraturan pelaksana sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang tersebut, semisal membuat peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan analisis dampak lalu lintas.
2.      Perlunya peningkatan wawasan yang dilaksanakan secara terprogram dan sistematis, dimulai dari jenjang perekrutan serta pelatihan-pelatihan keprofesian terjadwal bagi para aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah para polisi terkait.
3.      Perlunya peningkatan sarana dan prasarana sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Yaitu  menghadirkan teknologi informasi dalam tertib berlalu lintas. Infrastruktur seperti CCTV (Close Circuit Television) di tempat-tempat yang strategis,  Pembangunan jalan, sarana penyebrangan yang berkelanjutan, serta keharusan agar implementasi analisis dampak lalu lintas pada seluruh pembangunan yang akan dilaksanakan di kota Padang dapat dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan pemerintah pusat maupun daerah, serta instansi-instansi terkait.
4.      Mengutamakan penyadaran berlalu lintas dalam penegakan hukum, serta menindak tegas tanpa pandang bulu terhadap para pelanggar.
5.      Melakukan berbagai penyuluhan dan pembersihan “citra” buruk tentang polisi yang berkembang di masyarakat. Selain itu, penegakan hukum berlalu lintas haruslah tidak pandang bulu dan tegas sehingga mampu menciptakan kepatuhan di tengah masyarakat.

Padang 23 Desember 2010



Ziffany Firdinal

















Daftar Pustaka
Kamus
Basiang, Martin, The Contemporary Law Dictionary, Red & White Publisher, 2008
Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (lembaran negara republik indonesia tahun  2009 nomor  96, Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025)

Website







[1] Diajukan pada perlombaan Essay Kritis Mahasiswa Se-Kota Padang “Gagagasan Untuk Lalu Lintas Kota Padang yang Lebih Baik” Satlantas Polresta Padang dan Genta Andalas.
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
[3] Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan (amandemen), kini hal tersebut kembali ditegaskan oleh UUD 1945 pasca amandemen 1999-2002, tepatnya pada pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
[4] Undang-undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menurut pertimbangan yang diutarakan pada penggantian undang-undang tersebut, lalu lintas dan angkutan jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan pada saat ini, lebih lanjut dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
[5] Lihat “Angka Kecelakaan Lalu Lintas Meningkat”  http://berita.liputan6.com/sosbud/200906/234785/Angka.Kecelakaan.Lalu.Lintas.Tahun.Ini.Meningkat, diakses pada 16 Desember 2010.
[6] Lihat “Apel Besar Tertib Lalu Lintas diikuti 1000 Peserta” pada: http://www.padang.go.id/v2/content/view/2534/142/, diakses pada 16 Desember 2010.
[7] Lihat “Banyaknya Kecelakaan Lalu Lintas di Kota Padang” pada: http://www.padang.go.id/v2/content/view/2252/160/, diakses 16 Desember 2010.
[8] Dalam peristilahan lain, hal ini dapat disandingkan dengan law in Book (Das Sollen) ataupun hukum dalam tataran teori/yang diinginkan.
[9] Dalam peristilahan lain, hal ini dapat disandingkan dengan law in Action (Das Sein) ataupun hukum dalam tataran pelaksanaan/berjalannya hukum dilapangan.
[10] Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025 Tahun 2009), yang berbunyi “Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam  rangka  mendukung  pembangunan  ekonomi  dan  pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.” hlm.1.
[11] Pembentukan Forum Lalu Lintas didasari oleh pasal13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[12] Pembuatan  Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan didasari oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[13] BAB V Penyelenggaraan, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.  
[14] BAB XI Lalu Lintas, Bagian Ketujuh, Pasal 133 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 
[15] BAB XVI Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Luntas dan Angkutan Jalan bagian ke 3 pusat kendali sistem informasi Pasal 259
[16]  BAB XI Lalu Lintas, Bagian Kedua, Pasal 99-101 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[17] Pada essay ini, aparatur yang dimaksud adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, hal ini berkaitan dengan kewenangan pembinaan penegakan hukum berlalu lintas oleh Polri sebagaimana dimaksud pada pasal (3) huruf (e) Bab IV Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
[18]Lebih lanjut dapat dilihat pada: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/12/08/1137096/Jalan.Rusak..Bisa.Tuntut.Pengelola., diakses pada 23 Desember 2010.
[19] Lihat catatan kaki ke 16.
[20] Yang dimaksud dengan “pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur” adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan atau perluasan lantai bangunan atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Menarik untuk ditelaah lebih lanjut bahwa analisis dampak lalu lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Lebih lanjut dapat dilihat pada Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025 Tahun 2009).
[21] Yang dimaksud dengan “pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur” adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan atau perluasan lantai bangunan atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Analisis dampak lalu lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Lebih lanjut dapat dilihat pada Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025 Tahun 2009).
[22] Lihat penjelasan pasal 100 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025 Tahun 2009).

Komentar

Postingan Populer