MK

Mengawal Mahkamah Konstitusi
(Menjaga Integritas Hakim Konstitusi dalam Rangka Melindungi Hak Konstitusional Warga Negara)
Oleh:
Ziffany Firdinal

Hak konstitusional berarti hak-hak yang dijamin ataupun terdapat di dalam UUD 1945 (Konstitusi).[1] Dalam pengertian yang lebih luas, hak-hak konstitusional ini meliputi hak asasi manusia dan  hak konstitusional warga negara.[2] Mahkamah Konstitusi (MK) hadir setelah perubahan ketiga UUD 1945 di sahkan, lembaga negara ini bertugas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) terkait dengan empat wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya.[3] Hal tersebut membawa konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
Karena konstitusi merupakan hukum tertinggi yang mengatur penyelenggaraan negara yang berdasarkan prinsip demokrasi, maka MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the human rights).[4] Pada titik inilah posisi MK sangat penting di dalam ketatanegaraan Indonesia. Pelbagai putusan yang dikeluarkan merupakan perwujudan dari Negara Hukum yang menganut Demokrasi Konstitusional, serta di dalamnya terletak juga perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Namun tidak dapat dipungkiri, dalam melaksanakan kewenangan dan kewajibannya, pasti menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat.
Progresifitas Mahkamah Konstitusi
Sebagai lembaga negara yang bertugas mengawal konstitusi, sepak terjangnya telah dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia. Semenjak kelahirannya pada 13 Agustus 2003[5], MK telah menghasilkan pelbagai putusan yang dapat dikatakan progresif. Salah satunya adalah pengembalian hak untuk dapat dipilih dan memilih para eks Partai Komunis Indonesia (PKI) pada pemilu.[6] Bila dikaitkan dengan konsep diskriminasi,[7] putusan ini merupakan salah satu wujud nyata dari pelaksanaannya.
Selain putusan tersebut, putusan mengenai pembatalan berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 (Perpu No 2 Tahun 2002),[8] merupakan suatu prestasi tersendiri dalam menegakkan hak asasi, dimana seseorang tidak dapat dihukum dengan peraturan yang berlaku surut (non-retroaktif). Kemudian progresifitas MK juga dapat dilihat pada putusan mengani penggunaan KTP dan Pasport untuk memilih pada Pemilu Presiden.[9]
Terakhir kita dapat melihat putusan MK terkait uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada perkara ini diperdengarkan rekaman yang “mengkriminalkan” Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, Pada amar putusannya Mahkamah konstitusi mendalilkan pasal 32 ayat (1) point c yang menyatakan “pimpinan komisi tindak pidana korupsi berhenti atau diberhentikan karena menjadi terdakwa akibat melakukan tindak pidana kejahatan”  bertentangan dengan UUD 1945.[10] Hal ini berhasil menguak kasus kriminalisasi pimpinan KPK yang hingga saat tulisan ini dibuat masih menimbulkan polemik seputar penerbitan SKPP (Surat Keterangan Penghentian Penyidikan) oleh Kejaksaan Agung.
Putusan “Main Hakim Sendiri
Dibalik progresifitas putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak dapat dimungkiri terdapat beberapa putusan yang progresif namun ke arah sebaliknya (lebih buruk). Diantaranya adalah putusan mengenai uji materi UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan mencabut pemberlakuan sifat perbuatan hukum secara materil dalam undang-undang tersebut.[11] Putusan ini dianggap melawan semangat pemberantasan korupsi, mengingat putusan tersebut telah memutus sesuatu yang tidak diminta (ultra petita). Hasil eksaminasi oleh Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat), Fakultas Hukum UGM atas putusan MK ini secara bulat menyatakan MK telah dengan fatal membuat putusan ultra petita.[12]
.Putusan yang paling kontroversial adalah menyangkut kewenangan Komisi Yudisial (KY) terhadap Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA). Putusan perkara uji materil UU KY yang diajukan oleh tiga puluh satu hakim agung tersebut berhasil memangkas kewenangan pengawasan KY terhadap MA secara menyeluruh.[13] Bahkan putusan yang mendapat munfakat bulat para hakim konstitusi tersebut, telah nyata melanggar salah satu asas di dalam hukum acara, bahwa hakim tidak boleh memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal-hal yang terkait dengan dirinya (nemo judex in causa sua),[14] dengan kata lain “main hakim sendiri. Pada putusannya ini majelis hakim menafikan  hakim konstitusi sebagai salah satu objek pengawasan KY, dengan dalil pada penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara KY termasuk pihak yang mungkin terlibat, sehingga dikhawatirkan akan dapat melunturkan independensi hakim konstitusi.[15]
Separation of Power dibungkus Checks and Balances
Sebelum UUD 1945 diamandemen, sistem ketatanegaraan kita menganut asas pembagian kekuasaan (division or distribution of power) oleh MPR kepada Presiden dan DPR serta lembaga negara lainnya. Kini setelah amandemen berlangsung sebanyak 4 (empat) tahap, Indonesia menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.[16]
Pertanyaan yang paling mendasar adalah “mengapa pemisahan kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara harus dibungkus dengan saling kontrol dan mengawasi satu sama lain?”, menurut penulis, hal ini diperlukan terkait kecendrungan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dapat saja muncul. Lord Acton mendalilkan bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut pula (Powers tends to corrupt, absolute powers corrupts absolutely). Hal ini sudah cukup terbukti sepanjang perjalanan bangsa ini, Soekarno melanggengkan kekuasaanya dengan menyatakan diri sebagai Presiden seumur hidup melalui persetujuan MPRS, serta Soeharto dengan rezim yang hampir setengah abad berkuasa mengakar dengan segala bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotismenya.
Oleh karena itu pemisahan kekuasaan[17] yang dibungkus dengan mekanisme checks and balances merupakan suatu keharusan, mengingat pelbagai ancaman dan resiko penyelewengan kekuasaan sebagaimana diuraikan diatas. Tidak terkecuali, tirani oleh kekuasaan yudikatif (Juristocracy) juga mungkin terjadi.[18] Sehinga lembaga kontrol dan yang mengimbangi MK harus ada, terutama dalam hal pengawasan individu hakim konstitusi.  
Gagasan Terhadap Bentuk Checks and Balances antara MK dengan KY
Sebagaimana diketahui, tujuan dibentuknya Komisi Yudisial (KY) adalah untuk menunjang Kekuasaan Kehakiman (supporting institution). Walaupun dalam pembahasan di MPR semasa perubahan konstitusi, ide membentuk lembaga ini berkaitan dengan pengawasan hakim di lingkungan Mahkamah Agung (MA).[19] Namun tidak dapat dipungkiri, perkembangan serta dinamika ketatanegaraan yang berjalan selama ini menyiratkan perlunya pengawalan terhadap si pengawal konstitusi ini.[20]
Berkaitan dengan independensi kekuasaan kehakiman, menurut Simon Shetreet sebagaimana yang dikutip Djohansyah menyatakan Independence of Judiciary terbagi atas 4 kategori yaitu:[21] Substantive independence (independensi dalam memutus perkara), Personal independence (jaminan masa kerja dan jabatan), Internal independence (independensi dari atasan dan jabatan), dan Coollective independence (partisipasi dalam administrasi dan penentuan budget pengadilan). Keempat jenis independensi inilah yang tidak dapat disentuh (untouchables) oleh lembaga ataupun kekuasaan yang lainnya. Sementara, ketika berkaitan dengan integritas hakim, semisal perekrutan serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, maka dapat kawal (diserahkan) kepada KY. Terkait pendisplinan, perlu juga diakomodir mengenai majelis kehormatan hakim konstitusi yang bertugas mengadili hakim konstitusi yang disangkakan telah melanggar kode etik hakim, diharapkan selain hakim-hakim MK,[22] sebaiknya juga mengikutkan KY dalam susunan majelisnya. Hal inilah yang dapat menjadi bentuk checks and balances antara MK dengan KY, sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Bruce Ackerman mengenai “The New Separation of Powers” (Harvard Law Review, 2002).[23]
Kesimpulan
1.      Urgensi pengawalan terhadap Mahkamah Konstitusi, yang dalam hal ini adalah pengawasan dan pendisiplinan terhadap hakim konstitusi demi menjaga integritas amatlah besar, karena para hakim konstitusi merupakan  para penafsir konstitusi yang akan melindungi hak-hak konstitusional warga Negara.
2.      Diperlukan suatu komisi independen yang mampu mengawal yakni Komisi Yudisial.
Saran
1.      Kedepan, diharapkan amandemen UUD 1945 dapat mengakomodir relasi antara Komisi Yudisial dengan kedua lembaga Kekuasaan Kehakiman yang telah ada, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi).
2.      Serta Pembaharuan secara komprehensif Undang-undang terkait (UU Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial), menjadi hal yang bisa dikatakan mendesak.

[1]Istilah hak konstitusional (constitutional right) Perlu dibedakan dengan hak legal (Legal rights) dimana hal ini dilindungi oleh peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945 (subordinate legislations). Menurut Black Law Dictonary 7 edition, halaman 307 berarti “A right guaranteed by a constitution”. Istilah ini juga diartikan sama oleh Abdul Mukthir Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekjen MKRI 2006, Kon Press), hlm. 140.
[2]Hak asasi manusia (the human rights) berlaku pada seluruh orang, termasuk warga negara asing yang berada di teritorial Indonesia, semenjak dicangkokkan kedalam UUD 1945, hak asasi manusia ini mendapat pengakuan sebagai hak konstitusional bagi seluruh orang. Selain HAM, terdapat pula hak warga negara (the citizen’s rights) yang diakui oleh konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) semisal hak warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, dan hal ini tidak berlaku terhadap non warga negara. Jadi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara adalah hak konstitusional. Lebih lanjut lihat Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum Demokratis,( Jakarta : Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2008) , hlm. 547-548.
[3]Empat wewenang yang dimiliki adalah:  mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya dibrikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Serta Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar
[4] Mahkamah Konstitusi RI, Menuju Peradilan Modern & Terpercaya, Dalam Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI,(Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 28.
[5] Pengundangan Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003).
[6] pada putusan terhadap uji materil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 60 huruf g (Perkara No. 011-017/PUU-I/2003). Bila ditinjau dari segi perlindungan HAM, putusan ini secara tidak langsung mengakui akan adanya hak sipil dan politik yang diakui oleh UUD 1945. Pasal 60 huruf (g) yang berbunyi “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya” merupakan Persyaratan Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
[7] Menurut Saldi Isra, Undang-Undang Dasar 1945 tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Reformasi Hukum tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,(Padang : Andalas University Pers, 2006), Hlm. 180.
[8] Perpu ini disetujui oleh DPR dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2003, namun Undang-Undang ini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan Nomor 013/PUU-I/2003.
[9] Lebih lanjut dapat dilihat pada putusan Nomor 102/PUU-VII/2009.
[10] Ketentuan yang dilanggar adalah ketentuan mengenai hak sipil dan politik, (pasal 28D ayat (1)), dimana kepastian hukum dijamin oleh HAM, Lebih lanjut dapat dilihat pada putusan Nomor 133/PUU-VII/2009
[11] Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,(Jakarta : LP3ES, 2007), hlm. 100.
[12] Ibid, hlm. 101.
[13] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
[14] Loc. Cit, hlm. 100.
[15] Lebih lanjut dapat dilihat pada Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor,( Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008), hlm. 56-68.
[16] Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : MKRI dan Pusat Studi Hukum tata Negara FH UI, 2004), hlm. 58.
[17] Lembaga negara dalam hal ini termasuk juga Komisi Independen, sebagaimana dikutip oleh Denny Indrayana, Bruce Ackerman, “The New Separations of Powers” dalam The Harvard Law Review, menulis bahwa di Amerika Serikat ada sistem pemisahan kekuasaan baru yang melingkupi Presiden, DPR, Senat, MA dan Komisi-komisi Independen (Independen agencies). Dicontohkannya adalah Federal Reserve Bank, yang saling kontrol dan saling imbang dengan cabang-cabang kekuasaan  eksekutif, legislatif, dan yudikatif, Negeri Para Mafioso… Op. Cit. hlm. 61.
[18]Perihal Juristrocracy dapat dilihat pada makalah Zainal Arifin Mochtar “Menggarap Penegakan Hukum Demi Demokrasi, Di Antara Diskursus Juristocracy Vs Demokrasi” pada seminar “Penguatan Kewenangan dan Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Demokrasi Konstitusional di Indonesia” Padang, 22 Oktober 2010.
[19]Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negarta Republik Indonesia tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman. (Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi, 2008), hlm. 413-467.
[20] Penulis menyimpulkan hal ini dari beberapa sesi seminar “Penguatan Kewenangan dan Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Demokrasi Konstitusional di Indonesia” Padang, 22 Oktober 2010, pada seminar tersebut, Bambang Widjajanto menyatakan perlunya lembaga penyeimbang (cheks and balances) bagi Mahkamah Konstitusi, Zainal Arifin Mochtar juga menyatakan bahaya Juristocracy yang menggantikan demokrasi kita, dalam satu kesempatan beliau mengatakan “mahkamah konstitusi bukanlah tuhan, begitupula dengan hakim-hakimnya, mereka bias saja salah dan khilaf suatu ketika”, serta penulis berkesempatan bertanya pada I Dewa Gede palguna (mantan hakim konstitusi) mengenai ide pengawasan eksternal terhadap MK, beliau setuju dan menyatakan hal ini amatlah penting untuk diakomodir, baik dalam UUD 1945 Maupun Undang-Undang.
[21] Djohansyah h, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2008) , hlm. 137.
[22] Sebelum diteruskan ke Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi diputus terlebih dahulu oleh Panel Etik yang anggota keseluruhannya sebanyak 3 (tiga) orang hakim konstitusi, pada saat dibentuk, Majelis Kehormatan Konstitusi ini dibentuk dengan komposisi 2 (dua) orang hakim konstitusi yang berasal dari panel etik, seorang mantan hakim agung atau hakim konstitusi, seorang guru besar hokum, serta seorang mantan ketua lembaga Negara. Pada saat ini, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dibentuk berdasarkan pasal 23 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, pada pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10 Tahun 2006, serta kode etiknya dikukuhkan kedalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2006.
[23] Lihat catatan kaki ke 16 mengenai kemungkinan checks and balances antara KY dengan MK.
Daftar Pustaka
Kamus
Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Garner , Bryan A., Black’s Law Dictonary 7 (Seventh) Edition, West Publishing Company, 1999.
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Buku
Asshidiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Asshidiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2008.
Fadjar, Abdul Mukthir, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2006.
Indrayana, Denny, Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2008.
Isra, Saldi,  Reformasi Hukum tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Padang:  Andalas University Pers, 2006.
Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negra Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2007.
Mahkamah Konstitusi RI, Menuju Peradilan Modern & Terpercaya, dalam Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi , 2006.
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negarta Republik Indonesia tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi, 2008.
Masyarakat Transparansi Indonesia, Di Balik Palu Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2005.

Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 mengenai Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman terakhir dicabut dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Terorisme
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Terhadap Pelaku Kasus Bom Bali  
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Perkara Nomor: 011/PUU-I/2003
Putusan Perkara Nomor: 013/PUU-I/2003
Putusan Perkara Nomor: 003/PUU/-IV/2006
Putusan Perkara Nomor: 005/PUU-IV/2006
Putusan Perkara Nomor: 102/PUU-VII/2009
Putusan Perkara Nomor: 133/PUU-VII/2009

            

Komentar

Postingan Populer