KEWAJIBAN DI DALAM HAM


Perubahan Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) yang terjadi sebanyak 4 (empat) kali[1] semasa reformasi bergulir, meliputi lebih dari 300% telah menjadi dasar pijakan baru di dalam bernegara. Tidak ketinggalan, isu yang sangat krusial seperti hak asasi manusia (HAM), ditampung kedalam satu Bab khusus mengenai HAM[2]. Hak-hak dasar yang diakui secara universal kini mendapatkan pengakuan yang kuat oleh negara, hak inipun menjadi hak konstitusional (constitutional right)[3] yang dijamin oleh hukum tertinggi.
HAM di dalam UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik; hak ekonomi, sosial, dan budaya; hak atas pembangunan dan hak khusus lain; serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) yang meliputi hak untuk hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Pengaturan inipun berhasil diturunkan kedalam perundang-undangan dibawahnya, instrumen HAM yang umum berhasil dikeluarkan oleh negara ini yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM[4], serta berbagai undang-undang lain yang melengkapi[5]. Secara teoritis (law in books), pengaturan ini dapat dikatakan sudah sanggup dan mencukupi bagi perlindungan terhadap HAM, namun tidak dapat dipungkiri didalam pelaksanaannya (law in actions) pelbagai aturan yang mengikat ini tidak dapat dirasakan sebagaimana mestinya.
Dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM ini seharusnya juga mempertimbangkan keseimbangan antara hak asasi dan kewajiban asasi. Merupakan keharusan, bahwa beriring dengan munculnya hak, maka kewajiban akan timbul pula. Sebagaimana yang ditetapkan oleh pasal 28J ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Oleh karena itulah Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pembatasan tersebut dapat dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Karena tidak dapat dipungkiri, pelanggaran HAM cenderung dilihat sebagai pertentangan vertikal antara negara dengan warga negara. Seolah-olah yang dapat melakukan pelanggaran hanyalah subyek yang berkaitan dengan negara (state actor). Kemungkinan pelanggaran HAM oleh aktor non negara (non-state actors) kurang mendapat perhatian padalahal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[6] pada 1998.
Upaya pemajuan, perlindungan, dan penegakkan HAM tidak dapat dilakukan hanya dengan mengedepankan aspek pemantauan dan penindakan semata. Karena tidak dapat dipungkiri masyarakat tidak akan mampu berkata suatu hal itu salah ataupun benar bila tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh. Sudah merupakan kepastian “ketidaktahuan” merupakan pintu menuju penindasan, oleh karena itu kami merasa perlunya dicarikan solusi nyata untuk menyudahi polemik yang berkepanjangan ini.
             Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi ini harus disudahi, dan hal tersebut harus dimulai dengan membangun kesadaran tentang apa yang benar dan salah ditengah masyarakat. Upaya Pendidikan dan pemasyarakatan amat diperlukan untuk memperluas tumbuhnya kesadaran HAM, yaitu kesadaran untuk menghargai manusia dan kemanusiaan sebagai wujud karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mengakui prinsip kemanusiaan yang beradab berdasarkan UUD 1945


[1] Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai dilakukan oleh MPR-RI mulai tahun 1999 hingga 2002, perubahan tersebut dilakukan sebanyak 4 tahan (amandemen).
[2] Ketentuan ini termaktub mulai dari pasal 28A hingga 28J, bila dibandingkan dengan undang-undang dasar yang lama (sebelum perubahan) hanya terkandung secara eksplisit dalam 7 Pasal saja yaitu Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), Pasal 34. Bahkan seorang pakar semisal Harun Alrasid, UUD 1945 itu sama sekali tidak memberikan jaminan apa pun mengenai hak-hak asasi manusia, menyatakan bahwa pengaturan mengenai HAM ini hanya terkandung pada muatan pasal 29 ayat (2) mengenai kebebasan beragama, sementara hak-hak yang lainnya merupakan hak warga negara (the citizen’s rights), lebih lanjut bisa dilihat pada
[3] Pengakuan HAM di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen telah menjadikannya resmi sebagai hak konstitusioanal setiap orang. Perlu dibedakan HAM (the human rights) dengan hak warga negara (the citizen’s rights), karena  HAM bersifat mengikat secara internasional (tanpa memandang status kewarganegaraan dan sebagainya), sementara hak warga negara hanya mengikat kepada orang yang berstatus sebagai warga negara (Indonesia). Lebih lanjut dapat dilihat pada Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, halaman 616-617.
[4] Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 ini lebih dahulu disahkan sebelum pengaturan mengenai HAM di kukuhkan di UUD 1945, tepatnya pada tahun 2000 perihal HAM ini dicangkokkan kedalam bab khusus di UUD 1945, dan yang menjadi rujukan isi amandemen(mengenai HAM) adalah undang-undang ini.
[5] Undang-undang lain semisal, UU Pengadilan HAM, UU Perlindungan Anak, UU Ratifikasi berbagai Kovenan internasional semisal Ekosob, Sipol dan lain sebagainya.
[6] Diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1998 dengan resolusi 53/144.

Komentar

Postingan Populer