Redesain Kejaksaan?


Oleh:
Ziffany Firdinal
(Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas)

Khalayak ramai tengah menyaksikan salah satu ujung tombak penegakan hukum dinegeri ini digempur oleh berbagai masalah. Korps Adhyaksa atau biasa dikenal dengan Kejaksaan adalah lembaga tersebut, mulai dari masalah SKPP Candra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto yang menuai kontroversi, hingga legalitas Jaksa Agung digugat oleh seorang tersangka kasus korupsi baru-baru ini.
Janji manis berjudul “reformasi” ditubuh kejaksaan hingga kini tidak dapat dirasakan secara bernas oleh publik. Menurut pandangan saya, dibutuhkan solusi yang progresif untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga ini, bila perombakan internal tidak mumpuni hasilnya, maka meredesain korps adhyaksa dalam struktur ketatanegaraan bisa menjadi solusi alternatif bagi pemecahan masalah ini.
Dari sejarah hingga ke daerah
Bila ingin mengkaji awal mula struktur kejaksaan bisa seperti saat ini maka kita dapat menilik dari sisi historis, formulasi kejaksaan yang berada di bawah naungan presiden adalah warisan rezim orde lama. Kejaksaan yang ketika itu dibawahi oleh Mahkamah Agung direnggut “paksa” oleh Soekarno akibat kerenggangan hubungan politisnya dengan pihak militer.
Melalui undang-undang nomor 15 dan 16 tahun 1961 struktur kejaksaan disusun secara hirarkis, bersistem komando dengan kepala kompinya Jaksa Agung, sementara pengangkatan pimpinan jaksa tersebut diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Peninggalan rezim orde lama inilah yang diteruskan oleh pemerintahan setelahnya.
Sistem komando yang diterapkan oleh presiden pada masa itu, bertujuan agar kejaksaan dapat lebih “kooperatif” dengan pemerintah(baca: penguasa). Sehingga sangat wajar struktur seperti ini menjadi pendukung kekuasaan orde baru yang bertahan hampir setengah dari umur negara ini.
Ironisnya, ketika gaung kemerdekaan yudisial ditabuh pada masa reformasi, persoalan ini belum juga berhasil disentuh. Hal ini terbukti dengan aturan yang menyelimuti kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004) tetap berjiwa “komando” oleh presiden. Akibatnya, celah (loophole) tercemarnya kemandirian lembaga ini oleh intervensi presiden tetap terbuka dengan lebar.  
Hal lain yang amat membahayakan independensi kejaksaan, utamanya di daerah adalah forum muspida yang ada. Di dalam forum ini tergabung kepala daerah dan unsur penegak hukum termasuk kejaksaan.
Muspida yang terdiri dari Kepala Daerah, Ketua DPRD dan unsur penegak hukum termasuk Kajati dan Kajari (bahkan termasuk pimpinan kepolisian dan ketua pengadilan setempat). Hal ini beresiko menanggalkan kredibelitas penegakan hukum di daerah, karena (oknum) pemerintahan daerah termasuk objek yang harus diawasi oleh aparat penegak hukum, serta berpotensi melakukan tindak pidana.
Kedekatan-kedekatan “emosional” yang muncul akibat forum ini adalah penyumbang utama tumpulnya penegakan hukum terhadap oknum pemerintahan daerah. Walaupun tidak dapat dielakkan, frekuensi mutasi jabatan bagi pejabat penegak hukum di daerah relatif cepat adalah tanggapan terhadap polemik tersebut, namun siapa yang menjamin kedekatan “emosional” baru tidak akan lebih kilat terjalin?
Redesain kejaksaan?
Lawrence M. Friedman menyatakan, ranah pembangunan hukum sekurang-kurangnya harus menyangkut tiga hal pokok yaitu subtance, structure, dan culture. Bila dikaji berdasarkan prioritas, maka saya lebih condong ke pembenahan materi hukum itu sendiri (baca:subtance), karena aparatur (baca:structure) dan budaya hukum (baca:culture).  Akan “dipaksa” mengikuti sistem yang dibentuk oleh materi hukum tersebut.
Bila dikaitkan dengan redesain kejaksaan, hal ini berkaitan erat dengan wadah yang menjadi cetak biru kejaksaan, yaitu undang-undang yang membentuknya. Sebagai constitutionally important state institution (Jimly Asshiddiqie) sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945 pasal 24 ayat (3), tergolong badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, hak untuk mendesainnya berada pada pembentuk undang-undang, oleh karena itu materi hukum yang akan dibentuk bermula dari sini.
Desain kejaksaan yang baru sangat diharap berjiwa independen, Ide untuk mengeluarkan kejaksaan dari rumpun eksekutif yang bergulir semenjak reformasi berlangsung  haruslah dipertimbangkan kembali untuk dilaksanakan.
Sebagai contoh, Bank Sentral (BI) berhasil dikeluarkan dari lingkaran presiden (kabinet), bahkan Panglima TNI dan Ketua POLRI-pun berhasil “dilunakkan” dalam pengangkatannya, DPR diberi hak konfirmasi perihal pengangkatan para pejabat ini. Bahkan Komisi Pemberantasan tindak pidana Korupsi (KPK) yang hanya menangani perkara korupsi diberikan kedudukan sebagai komisi independen, sementara Kejaksaan yang mempunyai kewenangan lebih tetap berada di bawah bayangan pemerintah (presiden).
Konstruksi KPK yang independen dibentuk demi menjaga kredibilitas dalam menangani perkara, karena tidak dapat dipungkiri (oknum) pemerintah memiliki kemungkinan yang besar untuk berbuat korupsi, lalu bagaimana dengan kejaksaan?
Konsep komisi independen seperti KPK, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, dan lainnya merupakan formulasi ketatanegaraan yang tepat untuk desain baru kejaksaan saat ini. Syarat utamanya adalah pemberhentian pimpinan yang hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang, tidak seperti sekarang yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, karena jelas-tegas merupakan bagian dari eksekutif.
Selain desain komisi independen, perlu juga dilakukan pengaturan terkait jabatan muspida yang dipegang oleh pimpinan kejaksaan di daerah. Karena dalam hal ini, kemerdekaan jaksa di daerahlah yang dipertaruhkan. Namun berbagai ulasan diatas tidak akan menuai hasil bila Pemerintah bersama DPR enggan meredesain kejaksaan secara progresif.

Komentar

Postingan Populer