Membungkam Demo(krasi) di Lumbung Aspirasi

Oleh
Ziffany Firdinal
(Koordinator Gerakan Mahasiswa Demokrasi (GMD) Fakultas Hukum Universitas Andalas)

Sungguh ironis, “sarang” demokrasi justru membungkam suara untuk beraspirasi, dengan menahan laju para aktivis kampus Universitas Andalas yang bersuara demi kepentingan khalayak luas. Ketika “periuk nasi” bernama dana PI (Pengembangan Institusi) diusik oleh sekelompok mahasiswa, justru penjatuhan sanksi disiplin yang mereka terima.
Sanksi pengurangan beban SKS, pencabutan hak menerima basiswa, serta pembekuan kepengurusan organisasi kemahasiswaan dijatuhkan berdasarkan Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Nomor 135/XIV/D/FHUK-2010.
            Padahal alasan kuat para aktivis tersebut berdemo adalah kebijakan universitas yang sungguh tidak memihak para calon mahasiswa baru. Uang “paksa” yang harus dikeluarkan oleh para orang tua tidaklah sedikit, bahkan mencapai Rp.25.000.000,-/orang. Selain kebijakan yang ditentang, transparansi pengalokasian dana amat jauh dari yang diharapkan, senjata hukum yang baru berlaku efektif beberapa bulan lalu (Keterbukaan Informasi Publik) tak menggubris pimpinan kampus untuk memperterang penggunaan dana ini.

            Jika dikaitkan dengan konteks Hak Asasi Manusia dan tingkat perekonomian masyarakat saat ini, kebijakan dan “pembungkaman” ini justru tergolong pelanggaran HAM, dan yang paling pelik pelanggaran ini dilakukan oleh sebuah institusi pendidikan.

Ada apa dengan PI?
            Amat disayangkan institusi pendidikan seperti Universitas Andalas tidak transparan perihal dana PI ini. Padahal negara telah membuka ruang berkenaan dengan kebebasan informasi, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) telah mengukuhkan kebebasan memperoleh informasi, lalu mengapa informasi pengalokasian serta realisasi anggaran ini tidak dapat diperoleh?

            Padahal, menurut UU KIP tersebut Informasi Publik adalah “informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan diterima oleh suatu badan publik”, sementara Universitas Andalas termasuk kedalam badan publik yang dimaksud oleh UU KIP tersebut.

Dalam asas-asas keterbukaan informasi pada undang-undang ini, setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap penggunanya, merupakan kewajiban dari badan publik untuk menyediakan informasi yang diminta secara cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.

Walaupun dalam memperoleh informasi publik ini dapat dikecualikan agar bersifat “rahasia”. Namun hal ini haruslah sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum terkait konsekuensi yang timbul akibat dari tebukanya informasi tersebut.

Pertanyaan yang muncul adalah “ada apa dengan dana PI ?” apakah informasi terkait dana ini bersifat “rahasia”?, dari segi kepatutan dan kepentingan umum menurut penulis tidaklah dapat menyebabkan informasi ini tertutup. Bahkan sekalipun kita menilik pada undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9 Tahun 2009) yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Kontitusi, prinsip transparansi dan akuntabelitas tetap harus ada di dalam pengelolaan dana oleh kampus.

Kami sungguh menyayangkan sikap petinggi kampus yang malah terkesan menutupi informasi yang berkaitan dengan dana PI ini, bahkan beberapa orang aktivis serta organisasi mahasiswa diberikan sanksi yang “kelewat” batas.

“Pelanggaran” HAM
            Satu hal yang perlu dipahami bersama, dalam konteks Hak Asasi Manusia, mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak mendasar yang harus dipenuh oleh negara.  Hak mendapatkan pendidikan adalah termasuk hak ekonomi, sosial, budaya (berdasarkan UU No. 11 Tahun 2005, tentang rativikasi International Covenant on Economic, Social and CulturalRights).

Negaralah yang menjamin terselenggaranya pendidikan bagi setiap rakyatnya, termasuk pendidikan tinggi kepada semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan cara yang layak, dan khususnya secara cuma-cuma secara bertahap(pasal 13 ayat (2) huruf c kovenan ekosob), terlebih konstitusi sendiri juga menjamin terlaksananya hak atas pendidikan ini dengan menyatakan “setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan”(Pasal 31 UUD 1945). Sayangnya kebijakan dana pengembangan institusi ini jauh dari konsep pemenuhan hak ini.

Hak mengeluarkan pendapat (termasuk berdemonstrasi) juga merupakan hak dasar yang harus dilindungi oleh negara, hal ini tergolong kedalam hak sipil dan politik (berdasarkan UU No. 12 tahun 2005, tentang rativikasi International Covenant On Civil And Political Rights, Pasal 19), norma hukum tertinggi negara ini juga melindungi hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan (Pasal 28 UUD 1945)

Sungguh ironis sekali jika membayangkan kampus yang menjadi muara para akademisi serta praktisi-praktisi HAM mampu mengelontorkan kebijakan serta sanksi yang tidak masuk akal tersebut, kampus adalah “lumbungnya” aspirasi, kenapa justru menahan laju demokrasi yang diwujudkan dengan demonstrasi secara damai tanpa kekerasan?,  oleh karena itu hal ini haruslah ditinjau, bahkan sedapat mungkin ditarik kembali.

Saya teringat salah satu syair yang digaungkan oleh Wiji Thukul, salah satu penyair yang lantang melawan kediktatoran rezim orde baru “apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menggangu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!”, karena kami sungguh prihatin atas perbuatan membungkam demo(krasi) di lumbung aspirasi ini!

Komentar

Postingan Populer