Prosedur Pembentukan Perda


Prosedur Pembentukan Perda[1]
Oleh:
Ziffany Firdinal (0810112196)[2]

     I.            Pendahuluan
Peraturan Daerah merupakan suatu kebutuhan sebagai salah satu sisi dari ranah pembangunan hukum[3]. Munculnya Perda merupakan jawaban atas kebutuhan regulasi yang “mendaerah”, hal ini sejalan dengan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan). Karakteristik daerah-daerah sangatlah khas, hal ini berkaitan erat dengan kondisi ekosob (Ekonomi, Sosial, Budaya) yang sangat beragam.
Lahirnya pengakuan atas Perda harus diakui merupakan salah satu reduksi dari konsep desentralisasi yang dianut bangsa ini pasca reformasi tahun 1998 silam. Desentralisasi sangatlah perlu ditegakkan, hal ini berkenaan dengan kondisi bangsa yang secara nyata tidak cocok dengan asas sentratistik, dimana seluruh kewenangan berada dipusat pemerintah, sementara kondisi di setiap daerah-daerah sangatlah berbeda. Ketimpangan antar pendapatan di tiap-tiap daerah, serta pengelolaan sumber daya alam yang berat sebelah menyebabkan muncul berbagai polemik yang mengiringi, jika hal ini tetap dibiarkan akan sangat mengancam intregasi Indonesia sebagai negara kesatuan. Dalam perjalanannya, pengakuan Perda sebagai penunjang otonomi daerah merupakan suatu kewajiban. Hal ini berkaitan erat dengan tatanan hukum penunjang pelaksanaan otonomi itu sendiri.
Namun tidak dapat dipungkiri, kenyataan yang ada saat ini sungguh bertolak belakang dengan yang dicita-citakan. Banyaknya Perda yang dibatalkan oleh pemerintah, yaitu 2002 : 19 Perda, 2003 : 105 Perda, 2004 : 236 Perda, 2005 : 126 Perda, 2006 : 114 Perda, 2007 : 173 Perda, 2008 : 229 Perda merupakan suatu bukti adanya masalah dalam pelaksanaan kewenangan dalam membuat regulasi di daerah, dalam hal ini adalah peraturan darah (Perda). Untuk itulah penulis dengan segala keterbatasannya ingin membahas tatacara pembentukan peraturan daerah beserta asas-asasnya, sehingga diharapkan akan mampu menjadi sebuah solusi kecil dalam pembentukan Perda yang sejalan dan singkron dengan peraturan yang lebih tinggi, serta mampu menjawab kebutuhan daerah yang beragam dan sangatlah khas.

  II.            Pembahasan
a.      Tata cara pembentukan Perda (Peraturan Daerah)
Secara garis besar, proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu:
1.      Proses penyiapan rancanagan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkunagn DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).
2.      Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan bersama di DPRD (dengan Pemerintah Daerah)
3.      Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekeretaris Daerah (dimasukkan kedalam lembaran Daerah).
b.      Asas Pembentukan Perda yang Baik (Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004)
Legitimasi perda yang telah dikukuhkan semenjak reformasi bergulir[4], berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 suatu perda memuat seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan pasal 5 (asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik) Undang-undang tersebut, perda haruslah memuat:
                                                             i.      Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
                                                           ii.      Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah bahwa setiap jenis perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk perundang-undangan yang berwenang. Peraturan tsb dapat batal/batal demi hukum bila dibuat oleh pejabat/lembaga yang tidak berwenang.
                                                        iii.      Kesesuaian antara jenis dan muatan, adalah bahwa dalam pembentukan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis perundang-undangananya.
                                                         iv.      Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis
                                                            v.      Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap perundang-undangan dibuat karena benar-benar sibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
                                                         vi.      Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya ; dan
                                                       vii.      Keterbukaan, adalah bahwa dalam proses pembentukan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatanyang seluas-luasnya untuk memberikan masuan dalam proses pembentukan perundang-undangan.

Serta materi muatan Perda haruslah mengandung asas (pasal 6 UU No. 10/2004):
                                                             i.            Pengayoman, adalah bahwa setiap perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat
                                                           ii.            Kemanusiaan, adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan pengayoman hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional
                                                        iii.            Kebangsaan, adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
                                                         iv.            Kekeluargaan, adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai munfakat dalam setiap pengambilan keputusan.
                                                            v.            Kenusantaraan, adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan perundang-undangan yang dibuat didaerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila
                                                         vi.            Bhineka tunggal ika, adalah bahwa materi muatan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
                                                       vii.            Keadilan, adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
                                                    viii.            Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, adalah bahwa materi muatan perundang-undangan tidak boleh berisikan hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
                                                         ix.            Ketertiban dan kepastian hukum, adalah bahwa setiap materi muatan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum; dan /atau
                                                            x.            Keseimbangan, keserasisa, dan keselarasan, adalah bahwa materi muatan setiap perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas sebagaimana dimaksud diatas, perda-perda tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum yang bersangkutan.

III.            Kesimpulan & Saran
Berangkat dari pendahuluan serta pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa:
1.      Pemahaman yang mendalam kepada para pemegang kewenangan terkait sangatlah kurang.
2.      Pengaturan mengenai pembentukan perda telah ada, namun tidak sejalan dengan pelaksanaannya (melihat banyaknya perda yang di batalkan oleh pemerintah)
Penulis juga ingin memberikan masukan berupa saran, sehingga tujuan dari penulisan makalah ini dapat terwujud, yaitu:
a.                   Perlunya pemantapan pemahaman para pemegang kewenangan membentuk perda.
b.                   Perlunya sosialisasi secara maksimal dari pemerintah (tingkat pusat) kepada setiap daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.


[1] Makalah sebagai tugas pengganti Ujian Tengan Semester, Mata Kuliah Hukum Pemda.
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum universitas Andalas.
[3] Menurut Lawrence M. Friedman, pembangunan hukum sekurang-kurangnya harus menyangkut tiga hal, yaitu subtance (isi atau materi hukum), structure (aparat penegak hukum), dan culture (budaya hukum). Berkaitan dengan konsep Perda, hal ini mengacu kepada subtance (isi atau materi hukum).
[4] Bandingkan dengan regulasi yang mengatur peraturan perundangan-undangan sebelum dan setelah reformasi, pada UU No. 1 Th 1950 secara hierarki : Undang - Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri; dan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 :UUD 1945, Tap MPR, Undang - Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan pelaksana lainnya yang terdiri dari: Peraturan Menteri dan Instruksi menteri, dsb; dengan Menurut TAP MPR No. III/MPR/2000 : UUD 1945, Tap MPR, Undang–undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah; dan Menurut UU No. 10 Tahun 2004 : UUD NRI 1945, Undang–undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.

Komentar

Postingan Populer