Menggugat Politisi Senayan

Oleh :
Ziffany Firdinal
(Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ. Andalas)

Elit politik penghuni senayan yang kian terpuruk treputasinya di mata rakyat. Predikat tertinggi bagi lembaga terkorup tahun 2009 versi Transparansi Internasional Indonesia (TII) berhasil ia sandang. Namun apalah daya, angin segar perubahan menuju lebih baik kian jauh dari harapan.
Berbagai tindakan dan tingkah laku mereka justru semakin membuat banyak pihak kecewa. Seharusnya mereka sadar, mendapatkan mandataris rakyat secara langsung adalah suatu tugas yang mulia, seyogianya mereka mampu merepresentasikan amanah yang diemban dan tidak bernegosiasi dengan penguasa demi kepentingan sesaat.
Mulus di garis start
Ibarat di lintasan pacu, kinerja anggota DPR periode ini sungguh mulus di awalnya. Penggunaan hak angket tercepat sepanjang sejarah terhadap kasus century menjadi indikator yang memadai. Namun sangat di sayangkan kasus ini kian terombang-ambing tak tentu arah.
Sungguh disayangkan belakangan ini perangai para anggota dewan kian menjadi-jadi, mulusnya kinerja di awal masa kerja tersebut tertutupi oleh prilaku yang sungguh memalukan. Pada rapat dengar pendapat dengan KPK (29/4) lalu fraksi partai golkar mempermasalahkan Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara dan fraksi partai Demokrat Yusak Yaluwo, Bupati Boven Digul, Papua, masing-masing diduga merugikan negara 31 dan 49 Miliar.
Ulah selanjutnya tidak kalah pelik adalah rencana pembangunan gedung baru yang memakan dana 1,8 Triliun, dengan alasan yang tidak masuk akal. Serta disahkannya APBN-P 2010 (3/5) tanpa rincian program, yang membuka ruang munculnya “mafia” anggaran.
 Walau DPR secara tegas memiliki fungsi anggaran sebagaimana yang tertuang di dalam konstitusi (Pasal 20A point (1) UUD 1945), namun hal ini jelas-jelas merupakan sebuah contoh yang salah dalam menggunakan fungsi tersebut, seolah-olah mereka memicingkan mata terhadap rakyat yang masih terjerat kemiskinan.
Bahkan fungsi yang seharusnya dioptimalisasikan adalah legislasi. Mengingat kita masih harus menambal berbagai kekosongan hukum yang ada serta akibat amandemen konstitusi. Semangat reformasi harus tertuang dalam kerangka hukum yang akan dibangun oleh mereka.
Bila menilik penggunaan fungsi legislasi DPR pada periode silam, kita pasti angkat tangan dengan hasil yang sangat mengecewakan. Dari target 284 yang tercapai hanyalah 193 Undang-Undang, namun capaian pembentukan ini sebagian besar terkait pemekaran wilayah yaitu 65 Undang-undang (PSHK).
Padahal anggaran dalam membentuk sebuah undang-undang mencapai lebih dari 1,2 Miliar. Optimalisasi anggaran ini haruslah sepadan dengan produk hukum yang dihasilkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Justru kini mereka mengancam demokrasi dengan percobaan “membunuh” partai baru, hal ini terkait rencana menaikkan parlementary treshold menjadi 5% dan masuknya muatan pasal yang menyatakan parpol yang  baru lahir tidak boleh menjadi peserta pemilu 2014, tetapi harus mengonsolidasi diri sekurang-kurangnya lima tahun di dalam ruu pemilu, sungguh ironis hal ini menjadi wacana para anggota dewan.
Tersandung parlemen “kedua”
Selain fungsi anggaran dan legislasi, hal yang tidak kalah penting adalah fungsi pengawasan. DPR sebagai pengawas kinerja eksekutif (pemerintah) seharusnya mampu mengeluarkan “taring” tanpa pandang bulu.
Fungsi pengawasan tersebut telah dilengkapi oleh beberapa hak ekslusif berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapatHak  interpelasi digunakan untuk meminta keterangan pada pemerintah terkait kebijakannya. Hak angket digunakan untuk melakukan penyelidikan terkait pelaksanaan suatu undang-undang, maupun kebijakan strategis dari pemerintah.
Terkait hak menyatakan pendapat, merupakan salah satu hak yang sangat ditunggu-tunggu publik untuk dilaksanakan, hal ini menyangkut hasil pansus angket century yang terombang-ambing. Namun sangat disayangkan melirik munculnya Sekber (Sekretariat Bersama) mitra koalisi pemerintah menimbulkan kehawatiran baru akan  “kandasnya” penggunaan hak menyatakan pendapat ini.
Adalah benar “forum” sekber merupakan sarana komunikasi mitra koalisi. Namun tidak dapat di pungkiri, 75% lebih suara DPR berada di dalamnya, dapat dikatakan sekber adalah “parlemen” di luar parlemen. Lobi-lobi penting menyangkut kelanjutan rakyat justru akan di putus disini.
Salah satu hal yang paling ditakutkan publik ialah “bagi-bagi” kekuasaan yang berasal dari dalam Sekber koalisi. Mengingat hak konfirmasi ataupun pertimbangan atas pengangkatan pejabat publik tertentu adalah milik DPR. Lembaga-lembaga negara seperti KPK, KY, Gubernur BI, Hakim Agung, BPK, dan sederet lembaga lain yang strategis terancam independensinya bila dikaitkan dengan hal ini.
Gugatan Rakyat
Kecaman keras terhadap sekber ini merupakan suatu upaya preventif terhadap ancaman “tirani” model baru. Bagi-bagi kekuasaan kepada beberapa pihak tertentu dapat mematikan semangat reformasi dan demokrasi.
Harapan rakyat yang sangat besar kepada para elit di senayan, sudah cukup berbagai prediket buruk melekat dan membumbui perjalanan mereka, hentikanlah  politik bagi-bagi kekuasaan dan anggran yang tidak merakyat itu.  Perjalananmu masih panjang, kini waktunya menunjukkan perubahan yang berarti dan bertajuk “rakyat” sehingga kami merasa tidak salah pilih.

Komentar

Postingan Populer