Sukarnya Memakzulkan (Wakil) Presiden


Sukarnya Memakzulkan (Wakil) Presiden
Oleh:
Ziffany Firdinal
Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Univ. Andalas
Wacana pemakzulan yang kian mewarnai situasi politik di indonesia seharusnya lebih ditilik secara lebih mendalam. Konsep pemakzulan yang dianut oleh negara ini, bila dilihat dari perspektif konstitusi (UUD 1945 pasca amandemen) hanya dapat dilaksanakan bila presiden/wakil presiden terbukti melanggar konstitusi. Pemakzulan yang digaung-gaungkan akan muncul terkait penyelidikan panitia khusus hak angket DPR mendekati kesimpulan akhir, seharusnya lebih dicerna secara objektif.
Pemberhentian presiden yang diatur oleh UUD 1945 pasca amandemen telah mampu (hampir) keluar dari permasalahan mendasar negara ini, intervensi politik. Negara hukum yang ditegaskan oleh konstitusi berhasil memaksa pelanggaran hukum sebagai ‘batu sandungan’ utama kekuasaan (wakil) presiden, selain beberapa hal lain tentunya. Serta konsep negara hukum tersebut juga dikukuhkan dengan adanya peradilan khusus terkait proses pemakzulan ini, walaupun pada akhirnya kepentingan politiklah yang menjawab.
DPR, pengumpan ‘bola’ ke MK
Ibarat pertandingan bola, pengumpan utama pada proses pemakzulan kepala negara dan pemerintahan adalah DPR, lembaga politik ini menjadi pembuka jalan proses pemakzulan presiden. DPR mengajukan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi terkait dugaan presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Sukarnya pengajuan pendapat DPR dalam proses pemakzulan ini dapat dilihat dari ketentuan kourum yang ada. Minimal 2/3 dari anggota DPR harus menyetujui pada sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 pula dari jumlah keseluruhan anggotanya. Bila dilihat keadaan saat ini (menerawang konfigurasi politik di DPR), justru oposisi di DPR sangatlah minoritas diibandingkan mitra koalisi presiden nan ‘gemuk’, nyata dirasa sulitnya proses awal ini dapat terjadi.
Jika nantinya DPR berhasil (secara objektif) mengajukan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi rintangan selanjutnyapun menanti. DPR harus mampu membuktikan pendapatnya tersebut, bila berkenaan dengan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, suap, dan tindak pidana berat lainnya tentu saja tolak ukurnya jelas, Undang-undang dan sederet peraturan lainnya secara jelas telah menguraikannya. Hal ini senada dengan pendapat tidak memenuhi syarat sebagai presiden maupun wakil presiden, pengaturannya jelas tertuang pada pasal 6 UUD 1945 serta undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden.
Namun yang jadi permasalahan adalah pembuktian pendapat DPR yang menyatakan presiden telah melakukan perbuatan tercela, didalam tafsir UU MK (No.24/Tahun2003) perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden maupum wakil presiden. Tolak ukur perbuatan tercela ini sangatlah kabur, tergantung sudut pandang apa yang dipakai. Sebagai contoh, tindakan presiden amerika barack obama menunduk kepada raja jepang (dalam konteks menghormati kebudayaan setempat) dapat dipandang merendahkan martabat kepala negara dalam artian sempit. Sehingga pembuktian pendapat DPR dalam hal ini sangat debatable, karena kausa perbuatan tercela ini dapat diartikan berbeda oleh siapa saja.
Mahkamah Konstitusi berkewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut dalam kurun waktu sembilan puluh hari. Tentu saja hal ini bertujuan agar stabilitas politik nasional tidak terlalu tergaduh. Putusan Mahkamah Konstitusi perihal pemakzulan presiden ini hanya ada tiga jenis, yaitu: tidak dapat diterima, menyatakan membenarkan pendapat DPR, dan menyatakan permohonan ditolak. Proses pemakzulan ini hanya dapat terus berjalan ke MPR (melaksanakan sidang istimewa) hanya bila amar putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR atas pendapatnya terkait pelanggaran konstitusi presiden
MPR, eksekutor (sekaligus) penjaga gawang
Bila amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan membenarkan pendapat DPR, maka lembaga legislatif tersebut menyelenggarakan sidang paripurna guna meneruskan usulan pemberhentian (wakil) presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Serta merupakan kewajiban bagi MPR untuk menyelenggarakan sidang guna memutuskan usulan DPR tersebut, paling lambat tiga puluh hari setelah usulan DPR tersebut diterimanya.
Proses pemakzulan presiden maupun wakil presiden di MPR ternyata memiliki kelemahan yang cukup fatal, perihal kewenangannya dalam memutus usulan DPR tersebut. Dominasi kepentingan politik tidak terelakkan disini, dengan komposisinya yang terdiri dari DPR (parpol) dan DPD (perorangan) yang sangat tidak seimbang, keanggotaan DPD yang kurang dari 1/3 dari keseluruhan anggota MPR membuat mayoritas suara kembali berpihak kepada politik yang terang-terang memiliki tujuan dari kepentingan kolektif sesaat. Hal ini diakibatkan tidak diwajibkannya MPR ‘mematuhi’ putusan MK yang menyatakan sependapat dengan DPR, serta keharusan kourum 2/3 persetujuan dan keharusan 3/4 anggota hadir dalam sidang yang memberikan kesempatan presiden maupun wakil presiden menyampaikan ‘penjelasan’ dalam rapat paripurna MPR.
Tidak konsistennya tatacara pemakzulan presiden di Indonesia, sebagaimana telah diutarakan diatas dapat mengakibatkan hilangnya supermasi hukum yang dijunjung tinggi oleh negara ini. Walaupun pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwah ”Negara Indonesia adalah negara hukum” namun bila melihat kenyataan yang ada dalam proses pemberhentian presiden ini, nyata terlihat ‘cacatnya’ hukum sebagai panglima kita, amandemen Undang-Undang Dasar merupakan suatu keharusan, dengan tujuan meminimalisir celah-celah hukum yang ada.

Komentar

Postingan Populer