Pecah Kongsi, Menggoyang Kabinet


Pecah Kongsi, Menggoyang Kabinet
                                                                               Oleh:
Ziffany Firdinal
Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ. Andalas

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua yang didengungkan pertamakali oleh sekjen partai demokrat (Kamis, 4/2) kian bergejolak. Kabinet nan berusia 100 hari lebih tersebut, bak diterpa badai oleh kepentingan politik. Isu krusial yang bergulir berkisar pada komitmen mitra koalisi pilpres 2009 silam, terkait ‘pecah kongsi’ pada penyelesaian kasus century oleh pansus Hak Angket DPR yang mendekati babak akhir.
Bila melihat konsep ‘tekanan’ yang dilakukan oleh partai koalisi, karena para mitranya kian jauh dari kepentingan ‘bersama’, adalah suatu kewajaran. Mengingat komitmen partai–partai sebagai penyokong pemerintahan 2009-2014 yang dicanangkan dari awal pemerintahan ini terbentuk. Hal ini merupakan dampak dari sistem multipartai yang dianut, ditambah kewenangan DPR yang (dirasa) amatlah besar sebagai ‘batu sandungan’ bagi pemerintah dalam menjalankan tugas da wewenangnya.
 Partai Koalisi dan ‘Jatah’ Menteri
            Suatu hal disayangkan pada sistem presidensial ala Indonesia adalah kepentingan politik yang mewarnai perjalanannya. Hal ini sejalan dengan kewenanngan DPR yang kian membesar (Pascaamandemen UUD 1945) sehingga terciptanya konsep legislative heavy. Konsep dimana kewenangan dewan legislatif (DPR) sangat luas dan kuat, bila dibandingkan dengan pada masa orde baru (UUD 1945 asli) dimana presiden memiliki kekuasaan yang dominan. Otomatis presiden sebagai pemegang kendali kekuasaan pemerintahan harus mampu ‘mengimbangi’ kekuatan di DPR.
Salahsatu kiat yang ditempuh dalam merangkul partai-partai di DPR adalah dengan memberikan ‘jatah’ menteri dalam kabinet, pada masa jabatan suatu presiden. Pemberian ‘jatah’ menteri tersebut bertujuan untuk ‘mengikat’ parpol di DPR. Hal ini dimungkinkan, mengingat hak prerogatif yang dimiliki presiden adalah mengangkat dan memberhentikan menteri, dimana Konsitusi (UUD 1945 saat ini) telah menjaminnya, Pasal 17 ayat (2) menyatakan “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden” serta kewenangan ini dilengkapi pula dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara dalam tatacara pengangkatan menteri tersebut.
Melihat konsep pelaksanaan hak prerogatif yang dimiliki presiden terkait pengangkatan menteri, nyata terlihat usaha presiden untuk ‘merangkul’ DPR. Hal ini dapat dilihat pada susunan kabinet yang ada, yaitu Partai Demokrat sebanyak enam orang, PKS empat orang, PAN tiga orang, Golkar tiga orang, PPP dua orang dan PKB dua orang. Usaha tersebut dituangkan dengan memberikan ‘jatah’ menteri kepada mitra koalisi yang dibangunnya di DPR oleh presiden.
Beberapa pos-pos kementrian yang strategis diisi oleh kader-kader suatu partai politik, sesuai dengan kontrak politik pembentukan koalisi. Hal ini secara tidak langsung telah menodai’ fungsi menteri sebagai pembantu presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Para menteri yang diangkat oleh presiden lebih ditilik sebagai peta kekuatan di dalam lembaga tersebut, ketimbang berdasarkan kemampuannya agar arah kebijakan dan kepentingannya tidak ‘tersandung’ karenanya.
            Walaupun tidak dapat dipungkiri pula, efek luas dari budaya ‘penjatahan’ menteri oleh presiden tersebut telah (dicoba) kurangi dengan memposisikan seorang wakil menteri pada kementrian tertentu (Pasal 10 UU 39/2008). Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, wakil menteri disyaratkan haruslah berasal dari pejabat karir. Namun bila melihat geliat kenyataan yang muncul, peranan wakil menteri justru masih dipertanyakan posisi dan urgensinya. Dampak sistemik dari keadaan yang demikian ialah kurang maksimalnya kinerja pemerintah dalam pemenuhan dan menjalankan aspirasi rakyat.
Wajib menjadi perhatian, di dalam tubuh kementrian negara terdapat menteri-menteri nan ‘spesial’, hal ini disebabkan mereka memiliki kedudukan konstitusional yang berbeda pada UUD 1945. Adalah Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri. Mereka memiliki andil yang sangat penting terkait kondisi yang dibunyikan oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan (dimakzulkan) atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersamasama.
Sehingga menteri-menteri triumvirat (sebutan untuk ketiga menteri tersebut) haruslah bebas dari intervensi politik dalam pengangkatannya. Hal ini terkait bila kondisi kekosongan posisi presiden dan wakilnya, situasi nasional akan sangat labil. Bila salahsatu dari ketiga menteri tersebut telah ‘terkontaminasi’ oleh kepentingan politik, akan menimbulkan dampak yang sukar untuk diperkirakan
Ancam Reshufle
Menilik perjalanan pembentukan kabinet yang diwarnai oleh kepentingan politik tersebut, ‘ancaman’ Reshuffle kabinet oleh partai koalisi terhadap para mitranya adalah hal yang wajar, akibat dari tidak komitnya partai koalisi menyokong kebijakan pemerintah. Usaha ini dilakukan untuk mengingatkan partai-partai yang mulai ‘membelot’ dari arah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dan menjaga koalisi yang terbentuk tidak pecah ke oposisi yang justru ‘mengancam’ pemerintah.
Suatu hal yang patut disayangkan adalah dampak dari “suara sumbang” tersebut. sikap ‘mengancam’ ini dapat diartikan sebagai usaha menyingkirkan prinsip cheks and balances (baca: pengawasan) antara DPR dengan presiden (pemerintah) yang sedang dibangun diatas kerangka demokrasi. Bila hal ini dibiarkan terus berlanjut justru akan memicu munculnya pemeritahan yang mundur kembali kemasa rezim soeharto lalu (baca: otoriter) dimana prinsip saling kontrol antar DPR dan Presiden berubah menjadi hubungan yang cenderung kolutif antara keduanya, menciptakan kesengsaraan dan kekangan.
            Beranjak dari penjabaran diatas, sudah sepatutnya kita meninggalkan sistem ‘penjatahan’ menteri pada kabinet yang ada. Pembenahan harus mulai dimunculkan dari dasar hingga kepuncak permasalahan yang menimbulkan kondisi seperti ini, mulai dari sistem multipartai, celah-celah regulasi yang harus ditutup, serta upaya-upaya nyata dari berbagai elemen masyarakat. Pemberian jabatan menteri pada orang yang benar-benar kredibel, dan berkualitas amatlah diharapkan, sehingga pencapaian target pemerintah dapat memenuhi kesejahteraan rakyat luas dapat terlaksana, tanpa hal tersebut Indonesia tidak akan mampu keluar dari masa transisi pascareformasi ini.

Komentar

Postingan Populer