MUNGKINKAH WANCANA PEMAKZULAN BOEDIONO TERLAKSANA
(TERKAIT PERMASALAHAN CENTURYGATE) ?[1]
Oleh: Ziffany Firdinal (0810112196)[2]

Permasalahan centurygate yang menuai berbagai kecaman dari publik luas dewasa ini harus disikapi dan ditelaah secara lebih luas, bukan hanya berdasarkan persepsi umum semata (yang sedikit banyaknya telah terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis). Permasalahan yang pada mulanya ‘tertahan’ hanya di lingkungan KSSK (Komisi Stabilitas Sistem Keuangan) yang dibentuk berdasarkan Perpu JPSK (Jaring Pengaman Stabilitas Keuangan Nasional, Perpu No 4 Tahun 2008), dan belakangan ini telah menjadi ‘santapan’ publik luas. Kini permasalahan tersebut telah berada ditangan panitia khusus hak angket[3] DPR. Menurut pandangan saya, masalah centurygate ini harus dipisahkan kedalam tiga cara pandang, yaitu alasan sistemik, permasalahan hukum, serta deru politik. Agar tidak salah dalam menanggapi permasalahan ini.
Alasan sistemik
Penetapan bank century dalam kategori sistemik serta keputusan untuk mem-bail outnya bila ditinjau pada saat pengambilan keputusan tersebut sangatlah beralasan. Kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu tergolong dalam keadaan genting, dimana tindakan yang diambil pemerintah sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi nasional. Pemerintah serta bank sentral (BI) tidak bisa bertindak gegabah, bila salah langkah pintu resesi ekonomi nasional akan terbuka. Sebagai contoh nyata, tindakan pemerintah amerika serikat yang tidak mem-bailout Lehman brothers berdampak pada resesi ekonomi nasional disana, serta berimbas pada ekonomi Eropa dan Asia, hal ini berefek domino kepada resesi ekonomi global[4]. Kesalahan dalam mengambik keputusan inilah yang ditakutkan pemerintah, hingga hal ini menjadi dasar dikeluarkannya Perpu No. 3 dan 4 tahun 2008 (Perpu LPS dan JPSK) yang pada saat itu digunakan sebagai dasar hukum pendanaan bank century. Bahkan ada informasi yang menyatakan bila negara tidak membailout century akan timbul kerugian sebanyak 30 Triliun[5]. Situasi pada saat pengambilan keputusan tersebut sungguh tidak bisa disamakan dengan saat ini yang cenderung lebih stabil. Bila dikaji suatu keputusan pada saat ‘genting’ tentu akan timbul pro dan kontra, karena suasana telah cukup jauh dari ‘kegentingan’ tersebut, hal inilah yang harus dipisahkan dari campur baur kepentingan lain yang justru mengaburkan fakta yang ada.
Permasalahan hukum
Permasalahan hukum yang timbul terkait pencairan dana tersebut, disinyalir terjadi berkisar pada dugaan penyelewengan dana, serta dasar hukum suntikan dana ke bank century setelah 18 desember 2008, juga aliran dana dari bank tersebut setelah di bail-out. Hal ini harus di sesegera mungkin di usut. Hak angket DPR yang tinggal menunggu waktu terselesaikan, diharapkan hasil dari pansus hak angket century dapat menjadi awal titik terang dalam melihat permasalahan centurygate ini. Berbagai dugaan pelanggaran hukum harus sesegera mungkin diproses, mengingat masalah ini menjadi sorotan masyarakat belakangan ini, setelah kasus ‘pelemahan KPK’ masih hangat pula. Dalam menyikapi persoalan hukum yang terjadi, selain proses hukum yang harus di laksanakan secepatnya, regulasi baru harus segera mungkin di keluarkan oleh DPR, undang-undang mengenai JPSK (Jaring Pengamanan Stabilitas Keuangan), PPATK, serta berbagai peraturan yang terkait harus segera di revisi. Mengingat ancaman krisis ekonomi global tidak dapat di perkirakan kapan terjadinya, hal ini juga diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang sama kedepannya, kita tidak boleh jatuh kedalam lubang yang sama lebih dari sekali.
Deru Politik
Warna paling kental dari kasus centurygate justru deru politik yang kian menjadi sorotan. Berbagai isu yang muncul menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat, mulai dari isu keterlibatan mantan Kabareskrim Mabes Polri hingga penyaluran dana yang ‘nyangkut’ untuk kampanye pemilu beberapa saat lalu. Berujung kepada munculnya wancana untuk mendesak pemberhentian (pemakzulan) wakil presiden terpilih boediono, menteri keuangan Sri Mulyani, hingga ‘angin sepoi-sepoi’ yang memunculkan isu pemakzulan pada presiden. Masyarakat harus jeli dalam menyikapi deru politik yang mewarnai kasus centurygate ini. Karena tidak dapat dipungkiri warna politis memiliki kepentingan yang sarat dengan keuntungan suatu kelompok tanpa melihat kepentingan umum secara lebih luas.
Wancana Pemakzulan Boediono dan Fakta Hukumnya
‘Pemakzulan’[6] yang berasal dari kata ‘makzul’ yang berarti;berhenti memegang jabatan; meletakkan jabatan (sendiri) sebagai raja; berhenti sebagai raja.[7] Setelah amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan sebanyak 4 (empat) kali oleh MPR-RI terjadi perubahan fundamental mengenai tata cara pemberhentian presiden maupun wakil presiden. Pada sebelum amandemen Presiden dan/atau wakil presiden diberhentikan melalui memorandum pertama dan kedua oleh DPR, bila tahapan kedua memorandum tersebut tidak diindahkan juga oleh presiden, maka DPR dapat meminta MPR untuk melakanakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden. Sistem pemakzulan tersebut lebih menjurus kepada Impeachment (proses dimana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara). Kini setelah amandemen UUD 1945 mekanisme pemakzulan (pemberhentian presiden) mengalami perubahan di dalam prosesnya. MPR tetap diberikan wewenang untuk memberhentikan Presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya, namun dibatasi menurut Undang-Undang Dasar[8]. Mekanisme tersebut bermula pada usulan DPR hanya dengan terlebih dahulu meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadili, memeriksa, memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa, penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden[9]. Mekanisme yang mengikutkan sebuat lembaga pradilan ini dapat pula digolongkan kepada sistem Forum Privelegiatum (lebih tepatnya campuran antara Impeachment dan Forum Privelegiatum). Namun pada akhirnya pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden ini tetap bermuara pada sebuah badan politik (impeachment) yaitu MPR, dan MPR tidak mempunyai kewajiban (secara normatif) untuk mematuhi putusan MK (pada sisi inilah kejanggalan dapat terjadi ).
Beranjak dari hal tersebut, bila di telaah mengenai pemakzulan Boediono selaku Wakil Presiden terpilih (2009-2014) terkait kasus centurygate menurut pendapat saya terlalu prematur untuk diwancanakan. Selain proses hukum yang sedang berjalan serta belum jelasnya fakta-fakta yang didapat terkait kasus ini. Namun bila hasil akhir dari pemeriksaan pansus hak angket century di DPR membuktikan (menelurkan fakta/kausa) yang menyatakan wakil presiden boediono terlibat dalam pelanggaran hukum terkait kasus ini makan wancana pemakzulan dapat terlaksana. Sebaiknya kita kembali ke suatu asas hukum yang dianut oleh negara ini, asas praduga tak bersalah (persumsion of innocence) yang juga telah dilindungi oleh DUHAM[10], kovenan-kovenan internasional[11] serta konstitusi[12] dan perundang-undangan [13]negara indonesia tercinta ini.

[1]Diserahkan sebagai Tugas Hukum Lembaga Negara, tulisan ini merupakan sanduran dari artikel yang saya muat pada personal website saya (http://www.zivan.co.cc/), judul asli adalah ‘menilik kasus centurygate.
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas.
[3] Pasal 77 UU No 27 Tahun 2009 (UU Tentang MPR,DPR,DPD,DPRD).
[4] Sumber: http://www.belajarforex.com/ artikel ‘Subprime Mortgage, Bailout, dan Ancaman Depresi Global.
[5] Sumber Kompas.com artikel ‘century tidak disuntik negara bakal rugi 30 T’ diakses pada 9 september 2009
[6] Denny Indrayana,S.H., LL.M, PhD, Mendesain Presidensial yang Efektif, Bukan “Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”, Makalah di sampaikan pada pertemuan Ahli Hukum Tata Negara”Melanjutkan Perubahan UUD Negara RI 1945”, Bukittinggi, 2007.
[7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999. Hal. 620.
[8] Lihat Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen
[9] Lihat pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen
[10] Lihat Pasal 11 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 11 ayat (1)
[11] Sebagai contoh, lihat kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (sipol) Pasal 14 ayat (2)
[12] Secara Normatif tertuang pada pasal 28D ayat (1)
[13] UU HAM Pasal 18 ayat (1), serta KUHAP (Kitab Undang-Undang Acara Pidana)

Komentar

Postingan Populer